Jalan Panjang Keterwakilan Perempuan dalam Politik
loading...
A
A
A
Mira Permatasari
Direktur The Yudhoyono Institute
TANGGAL 21 April merupakan salah satu hari bersejarah bagi kaum perempuan di Indonesia. Di hari itulah, setiap tahunnya kaum perempuan diingatkan kembali akan perjuangan seorang perempuan dari Jepara bernama Kartini tentang kesetaraan, hak- hak dan emansipasi perempuan, yang dulu sangat tabu dibicarakan. Ratusan tahun sejak berpulangnya Kartini, pemikirannya tidak pernah usang dimakan zaman. Pemikirannya tak hanya menggerakkan jiwa perempuan untuk terus bergerak dari waktu ke waktu, namun juga berhasil mendobrak pakem-pakem lama yang sarat dengan cara pandang kuno dan kolot tentang keberadaan dan peran perempuan.
Kini semakin marak perempuan yang terjun ke politik. Tidak sedikit perempuan Indonesia yang bertengger di parlemen menyuarakan dengan lantang hak-hak aspirasi perempuan. Tercatat pada hasil Pemilu Legislatif 2019, per Januari 2021 ada sekitar 123 legislator perempuan atau setara dengan lebih dari 21% yang berhasil melenggang ke Senayan dari total anggota legislator. Angka yang cukup baik dan jauh meningkat dari pemilu sebelumnya, meskipun masih tetap di bawah target 30%.
Menurut catatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah. Berdasarkan data dari World Bank (2019), Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen.
Kita juga tidak bisa menampik kenyataan, di sana-sini masih saja terdapat ketidakadilan dan diskriminasi bagi perempuan dalam berpolitik. Berdasarkan hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada pemilu legislatif, calon legislatif perempuan masih saja terkendala mendapatkan nomor urut atas. Padahal, itu semua sudah tertampung secara hukum dalam zipper system yang mensyaratkan setidaknya terdapat satu calon perempuan dari tiga calon yang ada berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017.
Bentuk diskriminasi lainnya yang sering terjadi adalah adanya anggapan perempuan merupakan warga kelas dua atau hanya gula-gula di kancah politik. Tidak jarang kita membaca berita, ada perlakuan seksis atau kekerasan verbal politisi laki-laki yang mendegradasi politisi perempuan. Alih-alih beradu argumentasi dan gagasan yang sarat akan substansi, namun penampilan fisik politisi perempuan yang justru jadi perhatian.
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA, 2018) menyatakan bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam politik juga diakibatkan oleh adanya faktor budaya, stereotype, marginalisasi, subordinasi dan beban ganda yang tak terelakkan. Ini merupakan fenomena puncak gunung es yang harus segera diatasi.
Begitu pula dengan persoalan implementasi atas regulasi tentang minimal 30% representasi perempuan dalam UU. Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pertanyaannya adalah, apakah benar-benar regulasi tersebut diimplementasikan untuk keterwakilan suara dan aspirasi perempuan? Ataukah ini semua hanya untuk memenuhi kuota semata? Padahal, sejatinya keterwakilan perempuan dalam politik akan memuat perspektif dan hak-hak perempuan yang dapat berkontribusi pada pembuatan keputusan politik yang lebih inklusif, setara dan adil, serta berpihak bagi perempuan.
Beberapa studi menemukan bahwa kehadiran perempuan dalam representasi politik memang mampu mengubah agenda, perdebatan dan produk hasil legislatif (Carroll 2001; Gray 2002; Swers 2002). Partisipasi aktif perempuan dalam politik niscaya akan mampu meningkatkan kesejahteraan perempuan, karena dianggap bisa mewakili dan mengawal isu-isu serta agenda pembangunan nasional.
Namun pada kenyataannya, data aktual menunjukkan bahwa masih terdapat fenomena paritas gender, di mana perempuan masih kurang terwakili dalam politik. Sehingga produk- produk kebijakan yang dihasilkan masih lekat dengan nuansa patriarkal. Padahal dengan tidak melibatkan perempuan dalam pembuatan kebijakan, sama saja dengan tindakan pengabaian dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi (Mansbridge 1999; Phillips 1995; Young 2000).
Literasi Politik Perempuan
Pekerjaan rumah bangsa ini bukan hanya semata-mata pada terbukanya akses bagi perempuan Indonesia dalam berpolitik, namun juga kita tetap harus memastikan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik tidak hanya untuk memenuhi kuota semata. Lebih dari itu, ini merupakan perwujudan dari semangat kesetaraan dan keberdayaan perempuan untuk mengambil bagian dalam proses politik, pengambilan keputusan strategis dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Sehingga produk-produk kebijakan politik dan publik yang dihasilkan lebih adil dan ramah bagi perempuan. Karena sejatinya yang paling memahami perempuan hanyalah perempuan sendiri. Women’s problems need women’s solutions. Untuk itu, peran aktif dan literasi politik perempuan Indonesia harus terus digelorakan.
Di sisi lain, perempuan juga harus dapat membuktikan kualitasnya untuk terjun ke politik. Tidak semata-mata mengejar kuantitas saja. Bahwa kesempatan yang ada bukanlah hasil pemberian namun karena memiliki kapasitas, kualitas dan kapabilitas yang mumpuni. Partisipasi perempuan dalam politik merupakan sesuatu yang juga harus direbut dan diperjuangkan. Perempuan sendiri yang harus menciptakan kesempatan dan peluang itu, dan tidak hanya bergantung dari keadaan. Semangat ini yang sejatinya menjadi napas perjuangan Kartini yang berupaya untuk tidak menyerah di tengah lingkungan yang kondusif bagi dirinya saat itu. Itu semua hanya bisa dicapai jika perempuan Indonesia terus bermimpi besar, mengejar dan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Selain itu, diperlukan upaya ekstra seluruh elemen bangsa untuk membangun kesadaran atas keberpihakan dan keadilan gender dalam politik. Political will pemerintah pusat dan daerah juga diperlukan untuk mampu menciptakan iklim yang kondusif dan inklusif bagi terciptanya akses seluas-seluasnya bagi perempuan dalam berpartisipasi aktif dalam politik. Ini hanya dapat dibangun dengan pendidikan dan literasi politik yang berimbang tentang kesetaraan perempuan dalam politik. Ini semua membutuhkan upaya lintas generasi untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan. Hanya dengan ini fenomena gunung es yang terjadi di benak masyarakat dapat dipecahkan.
Perjuangan Kartini belum usai. Masih terbentang jalan panjang keterwakilan perempuan dalam politik. Mari memaknai hari bersejarah ini bukan dengan seremoni memakai kebaya semata. Kartini-kartini masa kini masih harus terus berjuang menjadi “the voice of the voiceless” di tengah keterbatasan akses, ketimpangan dan kesempatan politik, agar Kartini-kartini masa depan bisa menikmati hasilnya. Hanya dengan kemauan keras, komitmen kuat dan rasa saling menguatkan sesama perempuanlah jalan panjang ini dapat kita carikan solusinya bersama.
“Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama bekerja mengubah keadaan yang tak terderita ini.” (Kartini).
Direktur The Yudhoyono Institute
TANGGAL 21 April merupakan salah satu hari bersejarah bagi kaum perempuan di Indonesia. Di hari itulah, setiap tahunnya kaum perempuan diingatkan kembali akan perjuangan seorang perempuan dari Jepara bernama Kartini tentang kesetaraan, hak- hak dan emansipasi perempuan, yang dulu sangat tabu dibicarakan. Ratusan tahun sejak berpulangnya Kartini, pemikirannya tidak pernah usang dimakan zaman. Pemikirannya tak hanya menggerakkan jiwa perempuan untuk terus bergerak dari waktu ke waktu, namun juga berhasil mendobrak pakem-pakem lama yang sarat dengan cara pandang kuno dan kolot tentang keberadaan dan peran perempuan.
Kini semakin marak perempuan yang terjun ke politik. Tidak sedikit perempuan Indonesia yang bertengger di parlemen menyuarakan dengan lantang hak-hak aspirasi perempuan. Tercatat pada hasil Pemilu Legislatif 2019, per Januari 2021 ada sekitar 123 legislator perempuan atau setara dengan lebih dari 21% yang berhasil melenggang ke Senayan dari total anggota legislator. Angka yang cukup baik dan jauh meningkat dari pemilu sebelumnya, meskipun masih tetap di bawah target 30%.
Menurut catatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah. Berdasarkan data dari World Bank (2019), Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen.
Kita juga tidak bisa menampik kenyataan, di sana-sini masih saja terdapat ketidakadilan dan diskriminasi bagi perempuan dalam berpolitik. Berdasarkan hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada pemilu legislatif, calon legislatif perempuan masih saja terkendala mendapatkan nomor urut atas. Padahal, itu semua sudah tertampung secara hukum dalam zipper system yang mensyaratkan setidaknya terdapat satu calon perempuan dari tiga calon yang ada berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017.
Bentuk diskriminasi lainnya yang sering terjadi adalah adanya anggapan perempuan merupakan warga kelas dua atau hanya gula-gula di kancah politik. Tidak jarang kita membaca berita, ada perlakuan seksis atau kekerasan verbal politisi laki-laki yang mendegradasi politisi perempuan. Alih-alih beradu argumentasi dan gagasan yang sarat akan substansi, namun penampilan fisik politisi perempuan yang justru jadi perhatian.
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA, 2018) menyatakan bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam politik juga diakibatkan oleh adanya faktor budaya, stereotype, marginalisasi, subordinasi dan beban ganda yang tak terelakkan. Ini merupakan fenomena puncak gunung es yang harus segera diatasi.
Begitu pula dengan persoalan implementasi atas regulasi tentang minimal 30% representasi perempuan dalam UU. Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pertanyaannya adalah, apakah benar-benar regulasi tersebut diimplementasikan untuk keterwakilan suara dan aspirasi perempuan? Ataukah ini semua hanya untuk memenuhi kuota semata? Padahal, sejatinya keterwakilan perempuan dalam politik akan memuat perspektif dan hak-hak perempuan yang dapat berkontribusi pada pembuatan keputusan politik yang lebih inklusif, setara dan adil, serta berpihak bagi perempuan.
Beberapa studi menemukan bahwa kehadiran perempuan dalam representasi politik memang mampu mengubah agenda, perdebatan dan produk hasil legislatif (Carroll 2001; Gray 2002; Swers 2002). Partisipasi aktif perempuan dalam politik niscaya akan mampu meningkatkan kesejahteraan perempuan, karena dianggap bisa mewakili dan mengawal isu-isu serta agenda pembangunan nasional.
Namun pada kenyataannya, data aktual menunjukkan bahwa masih terdapat fenomena paritas gender, di mana perempuan masih kurang terwakili dalam politik. Sehingga produk- produk kebijakan yang dihasilkan masih lekat dengan nuansa patriarkal. Padahal dengan tidak melibatkan perempuan dalam pembuatan kebijakan, sama saja dengan tindakan pengabaian dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi (Mansbridge 1999; Phillips 1995; Young 2000).
Literasi Politik Perempuan
Pekerjaan rumah bangsa ini bukan hanya semata-mata pada terbukanya akses bagi perempuan Indonesia dalam berpolitik, namun juga kita tetap harus memastikan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik tidak hanya untuk memenuhi kuota semata. Lebih dari itu, ini merupakan perwujudan dari semangat kesetaraan dan keberdayaan perempuan untuk mengambil bagian dalam proses politik, pengambilan keputusan strategis dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Sehingga produk-produk kebijakan politik dan publik yang dihasilkan lebih adil dan ramah bagi perempuan. Karena sejatinya yang paling memahami perempuan hanyalah perempuan sendiri. Women’s problems need women’s solutions. Untuk itu, peran aktif dan literasi politik perempuan Indonesia harus terus digelorakan.
Di sisi lain, perempuan juga harus dapat membuktikan kualitasnya untuk terjun ke politik. Tidak semata-mata mengejar kuantitas saja. Bahwa kesempatan yang ada bukanlah hasil pemberian namun karena memiliki kapasitas, kualitas dan kapabilitas yang mumpuni. Partisipasi perempuan dalam politik merupakan sesuatu yang juga harus direbut dan diperjuangkan. Perempuan sendiri yang harus menciptakan kesempatan dan peluang itu, dan tidak hanya bergantung dari keadaan. Semangat ini yang sejatinya menjadi napas perjuangan Kartini yang berupaya untuk tidak menyerah di tengah lingkungan yang kondusif bagi dirinya saat itu. Itu semua hanya bisa dicapai jika perempuan Indonesia terus bermimpi besar, mengejar dan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Selain itu, diperlukan upaya ekstra seluruh elemen bangsa untuk membangun kesadaran atas keberpihakan dan keadilan gender dalam politik. Political will pemerintah pusat dan daerah juga diperlukan untuk mampu menciptakan iklim yang kondusif dan inklusif bagi terciptanya akses seluas-seluasnya bagi perempuan dalam berpartisipasi aktif dalam politik. Ini hanya dapat dibangun dengan pendidikan dan literasi politik yang berimbang tentang kesetaraan perempuan dalam politik. Ini semua membutuhkan upaya lintas generasi untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan. Hanya dengan ini fenomena gunung es yang terjadi di benak masyarakat dapat dipecahkan.
Perjuangan Kartini belum usai. Masih terbentang jalan panjang keterwakilan perempuan dalam politik. Mari memaknai hari bersejarah ini bukan dengan seremoni memakai kebaya semata. Kartini-kartini masa kini masih harus terus berjuang menjadi “the voice of the voiceless” di tengah keterbatasan akses, ketimpangan dan kesempatan politik, agar Kartini-kartini masa depan bisa menikmati hasilnya. Hanya dengan kemauan keras, komitmen kuat dan rasa saling menguatkan sesama perempuanlah jalan panjang ini dapat kita carikan solusinya bersama.
“Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama bekerja mengubah keadaan yang tak terderita ini.” (Kartini).
(bmm)