Pembisuan yang Membius
loading...
A
A
A
Kohesivitas adalah ikatan yang terbentuk akibat banyaknya kesamaan. Makin banyak kesamaan, maka makin tinggi kohesivitas. Kesamaan dapat bersumber dari latar belakang budaya, sosiodemografis, minat ataupun perhatian pada sesuatu. Ini tentu saja mempercepat pembentukan saling memahami antara satu anggota dengan anggota lain dalam kelompok. Sayangnya, dalam mekanisme pengambilan keputusan, kohesivitas justru sering jadi penyebab kegagalan dalam mempertimbangkan alternatif keputusan.
Saat ada anggota kelompok yang punya pendapat beda, akan muncul tekanan yang kuat untuk taat. Perbedaan ditekan hingga melahirkan kebisuan. Akibatnya, kelompok cenderung berpikiran sama, tidak punya pendapat berlawanan. Adanya ide-ide yang baru yang mungkin lebih baik, tidak sempat tampil. Ini lantaran ditindas oleh obsesi memelihara kekompakan.
Kegagalan invasi Amerika ke Teluk Babi Kuba tahun 1961, maupun kegagalan peluncuran pesawat ulang alik Challanger 1986 sering dijadikan sebagai contoh kasus kegagalan pemgambilan keputusan akibat adanya groupthink ini.
Hari ini, ketika interaksi antarmanusia makin beralih pada medium digital, mekanisme pembisuan ala ketiga teori di atas, masih berlaku. Malah frekuensinya lebih sering dan intensitasnya kian kerap. Media digital punya kekuatan berlipat-lipat, dibanding media konvensional, membangun pengaruh.Lagi pula, media ini dimiliki banyak kalangan, asal punya akses pada internet.
Di ruang-ruang media sosial, dapat dengan mudah disaksikan adanya kelompok-kelompok yang punya tujuan tertentu maupun beda pendapat, berwacana memanfaatkan medium gratis ini. Interaksi yang sesungguhnya wajar dan sehat. Yang disayangkan, ketika adu wacana berujung pada pembisuan. Muncul kelompok yang terpaksa harus bungkam, karena pendapatnya ditindas.
Jika diamati seksama, ada berbagai modus yang melahirkan pembisuan pendapat. Ada kelompok dengan tujuan tertentu, yang menggunakan mekanisme bahasa menyebut tujuannya mulia, sehingga harus didukung pihak lain. Sedangkan, terhadap pendapat yang berlawanan, akan disematkan tudingan dengan mekanisme bahasa pula. Sebutannya, “tak sensistif gender”, “SJW”, “pansos” dan lainnya.
Implikasinya, pihak yang beda memilih bisu ala Muted Group Theory. Ini lantaran tak nyaman dengan bahasa yang disematkan padanya. Sedangkan penggiringan opini ala Spiral of Silence, sering muncul dalam perang #tagar, tanda pagar. Mekanisme ini dipandang sehat, manakala kedua pihak mengemukakan pendapatnya secara argumentatif, dan pelakunya adalah pemilik akun organik.
Permainan jadi berubah, ketika opini mayoritas yang muncul menindas, dilakukan bots. Tampak banyak pendapat sejenis, tapi tak organik. Muncul kesan adanya dukungan mayoritas yang memaksa pemilik pendapat minoritas diam. Sedangkan upaya membangun ketaatan pada kelompok yang didasarkan kohesivitas, ala teori Groupthink, jadi bahasan akhir minggu ini. Terhadap anggota kelompok masyarakat yang beda pendapat, didisiplinkan lewat tekanan.
Entah pelaku tekanan adalah kelompok yang pendapatnya dikritisi atau pihak lain. Namun implikasinya, publik luas jadi enggan berpendapat. Harusnya diperhitungkan matang, aneka pembisuan lewat media sosial ini, mengancam terbiusnya kegairahan berpendapat. Tentu akan rugi, jika pendapat berkualitas, malah tertindas.
Saat ada anggota kelompok yang punya pendapat beda, akan muncul tekanan yang kuat untuk taat. Perbedaan ditekan hingga melahirkan kebisuan. Akibatnya, kelompok cenderung berpikiran sama, tidak punya pendapat berlawanan. Adanya ide-ide yang baru yang mungkin lebih baik, tidak sempat tampil. Ini lantaran ditindas oleh obsesi memelihara kekompakan.
Kegagalan invasi Amerika ke Teluk Babi Kuba tahun 1961, maupun kegagalan peluncuran pesawat ulang alik Challanger 1986 sering dijadikan sebagai contoh kasus kegagalan pemgambilan keputusan akibat adanya groupthink ini.
Hari ini, ketika interaksi antarmanusia makin beralih pada medium digital, mekanisme pembisuan ala ketiga teori di atas, masih berlaku. Malah frekuensinya lebih sering dan intensitasnya kian kerap. Media digital punya kekuatan berlipat-lipat, dibanding media konvensional, membangun pengaruh.Lagi pula, media ini dimiliki banyak kalangan, asal punya akses pada internet.
Di ruang-ruang media sosial, dapat dengan mudah disaksikan adanya kelompok-kelompok yang punya tujuan tertentu maupun beda pendapat, berwacana memanfaatkan medium gratis ini. Interaksi yang sesungguhnya wajar dan sehat. Yang disayangkan, ketika adu wacana berujung pada pembisuan. Muncul kelompok yang terpaksa harus bungkam, karena pendapatnya ditindas.
Jika diamati seksama, ada berbagai modus yang melahirkan pembisuan pendapat. Ada kelompok dengan tujuan tertentu, yang menggunakan mekanisme bahasa menyebut tujuannya mulia, sehingga harus didukung pihak lain. Sedangkan, terhadap pendapat yang berlawanan, akan disematkan tudingan dengan mekanisme bahasa pula. Sebutannya, “tak sensistif gender”, “SJW”, “pansos” dan lainnya.
Implikasinya, pihak yang beda memilih bisu ala Muted Group Theory. Ini lantaran tak nyaman dengan bahasa yang disematkan padanya. Sedangkan penggiringan opini ala Spiral of Silence, sering muncul dalam perang #tagar, tanda pagar. Mekanisme ini dipandang sehat, manakala kedua pihak mengemukakan pendapatnya secara argumentatif, dan pelakunya adalah pemilik akun organik.
Permainan jadi berubah, ketika opini mayoritas yang muncul menindas, dilakukan bots. Tampak banyak pendapat sejenis, tapi tak organik. Muncul kesan adanya dukungan mayoritas yang memaksa pemilik pendapat minoritas diam. Sedangkan upaya membangun ketaatan pada kelompok yang didasarkan kohesivitas, ala teori Groupthink, jadi bahasan akhir minggu ini. Terhadap anggota kelompok masyarakat yang beda pendapat, didisiplinkan lewat tekanan.
Entah pelaku tekanan adalah kelompok yang pendapatnya dikritisi atau pihak lain. Namun implikasinya, publik luas jadi enggan berpendapat. Harusnya diperhitungkan matang, aneka pembisuan lewat media sosial ini, mengancam terbiusnya kegairahan berpendapat. Tentu akan rugi, jika pendapat berkualitas, malah tertindas.
(dam)