Pembisuan yang Membius

Jum'at, 19 Juni 2020 - 07:53 WIB
loading...
Pembisuan yang Membius
Dr Firman Kurniawan S, pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org. Foto/Istimewa
A A A
PADA relasi antarmanusia, peristiwa bungkam-membungkam, bisu-membisukan, bukan perkara baru. Ilmu komunikasi yang teori-teorinya banyak bersumber dari ilmu-ilmu sosial lain, mencetuskan berbagai penjelasan, cara kerja sistematis yang berakibat pada diamnya seseorang atau kelompok. Beberapa di antaranya Muted Group Theory, Spriral of Silence dan Groupthink.

Muted Group Theory merupakan karya Edwin Ardener dan Shirley Ardener, 1975. Keduanya adalah antropolog sosial Inggris yang tertarik pada struktur dan hierarki sosial. Ketertarikan Duo Ardener ini berawal dari dicarinya penjelasan tentang kecenderungan etnografer yang hanya bicara dan mendengarkan pria.

Dijelaskannya, kelompok pria yang ada di bagian atas hierarki sosial, menentukan sistem komunikasi suatu budaya. Kelompok di bawahnya, perempuan, kaum miskin dan orang kulit berwarna harus mengikuti sistem komunikasi yang dikembangkan kelompok pria tersebut.

Amatan Ardener dilakukan lebih jauh oleh Cheris Kramerae, Barrie Thorne, dan Nancy Henley, 1978. Mereka mengamati penggunaan bahasa untuk gender perempuan. Fokusnya terutama pada bahasa, yang menyudutkan, mengancam hingga mendomestikasi perempuan. Akibat harus menggunakan sistem bahasa berperspektif pria, perempuan tak punya bahasa yang nyaman untuk mengungkap pengalamannya. Perempuan membisu. Pilih bungkam.

Kebungkaman wanita merupakan pasangan dari ketulian pria. Sesungguhnya perempuan maupun anggota kelompok bawah tetap bicara. Tapi karena jatuh pada telinga yang tuli, mereka berhenti untuk mengemukakan pendapatnya. Suatu mekanisme pembisuan yang sistematis.

Sedangkan Spiral of Silence, merupakan sistematisasi penjelasan dari ilmuwan politik Jerman, Elisabeth Noelle-Neuman, 1947. Dalam mekanisme pembentukan opini, proses diawali oleh hadirnya pendapat, dengan beragam perspektif. Katakanlah pendapat tentang masakan di suatu rumah makan yang baru dibuka, di sebuah kota.

Penilaian tentang makanan rumah makan itu, bisa berangkat dari spektrum enak sampai sangat enak. Tergantung selera. Namun ketika media massa hadir dengan kekuatan yang besar, bekerja terus menerus menyuarakan opini mayoritas, pemilik opini minoritas pilih sembunyikan pendapatnya. Pilihan ini ditempuh, lantara adanya risiko isolasi oleh pendapat mayoritas.

Bisa dalam bentuk cercaan, perundungan, tekanan pada pendapat. Lewat mekanisme kerjanya ini, media membungkam opini minoritas, khawatir pada isolasi. Keanekaan pendapat, perlahan berubah jadi keheningan. Mengerucut, menyesuaikan pada opini mayoritas. Karenanya, ilmuwan komunikasi tahu persis, opini mayoritas bukanlah pendapat terbaik. Melainkan mekanisme pembisuan akibat khawatir pada isolasi.

Sedangkan penjelasan peristiwa komunikasi lain, yang pada ujungnya melahirkan kebisuan adalah Groupthink Theory. Teori ini dikembangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Irving Janis, 1971. Secara utuh, teori ini membicarakan tentang gejala psikologis yang dialami anggota kelompok pengambil keputusan.

Dalam kelompok, terutama yang ukurannya kecil, seringkali anggota-anggotanya berhubungan baik satu sama lain. Para anggota kelompok, saling mengenal. Berkumpulnya anggota kelompok yang saling kenal, tak jarang didorong oleh kohesivitas yang tinggi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4079 seconds (0.1#10.140)