Keyakinan Pemerintah dan DPR Gelar Pilkada Tak Diimbangi Keseriusan Dukungan Anggaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyatakan, pilkada 2020 lanjutan merupakan keputusan 'tripartit' tiga pihak, yaitu KPU, Pemerintah, dan DPR. Ketiga lembaga itu memutuskan Pilkada serentak 2020 digelar pada 9 Desember 2020 dan proses tahapan kembali dimulai KPU dan Bawaslu sejak 15 Juni 2020.
Menurut Titi, keputusan untuk tetap menyelenggarakan pilkada di masa pandemi virus Corona (COVID-19) diambil di tengah berbagai keraguan terhadap kemampuan para pihak dalam menyelenggarakan pilkada serta berbagai dorongan agar pilkada ditunda ke 2021 dengan berbagai pertimbangan kesiapan regulasi, ketersediaan anggaran, kapasitas petugas, maupun penerimaan publik.
Namun menurut dia, dalam perjalanannya para pihak kurang mampu menunjukkan komitmen kesiapannya tersebut melalui berbagai pemenuhan instrument dan berbagai prasyarat yang diperlukan. (Baca juga; Pilkada 2020, Jari Tak Lagi Dicelup ke Tinta tapi Ditetes )
"Misalnya saja, anggaran hingga hari ini belum kunjung terealisasi dan masih sebatas mengandalkan pendanaan APBD yang notabene juga tidak semua Pemda punya kemampuan untuk itu," ujar Titi saat dihubungi SINDOnews, Jumat (19/6/2020).
"Lalu regulasi juga terkait pengaturan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi yang kerap disebut protokol pilkada new normal juga belum kunjung disahkan karena menunggu konsultasi dengan DPR dan Pemerintah. Fasilitas alat pelindung diri pun belum tersedia meski tahapan sudah berjalan," imbuh Titi.
Sehingga menurut Titi, pelaksanaan di lapangan sepenuhnya mengandalkan kemampuan dan kapasitas penyelenggara di daerah untuk mendapatkan dukungan dari anggaran daerah, dan kemampuan menggunakan daya dukung personal masing-masing.
"Ini tentu sangat tidak konsisten dengan keyakinan Pemerintah, DPR, dan KPU bahwa mereka siap menyelenggarakan pilkada lanjutan 2020," ujarnya. (Baca juga; Kemendagri Serahkan DP4 Tambahan Pemilih Pemula Pilkada 2020 Sebanyak 456.256 )
Dalam catatan lembaganya, terang Titi, kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa indikator kesiapan yang dijanjikan oleh para pembuat kebijakan, khususnya Pemerintah sama sekali tidak kongkret dalam realisasinya. Sehingga praktek di lapangan menjadi penuh simpang siur utamanya soal regulasi, anggaran, termasuk juga kepastian penguatan kapasitas untuk petugas pelaksana di lapangan.
"Maupun ketidakpastian sosialisasi pilkada kepada publik sebagai pemenuhan hak masyarakat untuk tahu dan mendapatkan informasi kepemiluan yang memadai," bebernya.
Lebih lanjut Titi mengatakan, akhirnya terlihat dalam perkembangannya bahwa keyakinan pemerintah atas kemampuan dan kesiapan dalam memfasilitasi pilkada lanjutan 2020 tidak diikuti keseriusan dalam memberikan daya dukung dan fasilitasi yang diperlukan, khususnya yang berkaitan dengan anggaran.
Sesuatu yang notabene sangat krusial bagi kepentingan memenuhi tata kelola penyelenggaraan pilkada sesuai dengan protokol kesehatan penanganan COVID-19. "Dan ini sangat mengkhawatirkan, baik dari sisi ancaman terhadap kualitas pilkada dan mutu demokrasi lokal kita, maupun adanya kerentanan tinggi adanya potensi petugas dan pemilih yang bisa terpapar COVID-19 akibat pilkada yang tidak konsisten menerapkan protokol kesehatan," ujarnya.
Dia menambahkan, merujuk perkembangan pelaksanaan berbagai tahapan hingga saat ini belum menunjukkan kesiapan untuk mampu menyelenggarakan pilkada dengan protokol kesehatan dan penanganan COVID-19.
"Akibat belum siapnya regulasi, anggaran yang belum berkepastian, dan penguatan kapasitas petugas yang masih belum meyakinkan telah dilakukan dengan optimal," pungkasnya.
Menurut Titi, keputusan untuk tetap menyelenggarakan pilkada di masa pandemi virus Corona (COVID-19) diambil di tengah berbagai keraguan terhadap kemampuan para pihak dalam menyelenggarakan pilkada serta berbagai dorongan agar pilkada ditunda ke 2021 dengan berbagai pertimbangan kesiapan regulasi, ketersediaan anggaran, kapasitas petugas, maupun penerimaan publik.
Namun menurut dia, dalam perjalanannya para pihak kurang mampu menunjukkan komitmen kesiapannya tersebut melalui berbagai pemenuhan instrument dan berbagai prasyarat yang diperlukan. (Baca juga; Pilkada 2020, Jari Tak Lagi Dicelup ke Tinta tapi Ditetes )
"Misalnya saja, anggaran hingga hari ini belum kunjung terealisasi dan masih sebatas mengandalkan pendanaan APBD yang notabene juga tidak semua Pemda punya kemampuan untuk itu," ujar Titi saat dihubungi SINDOnews, Jumat (19/6/2020).
"Lalu regulasi juga terkait pengaturan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi yang kerap disebut protokol pilkada new normal juga belum kunjung disahkan karena menunggu konsultasi dengan DPR dan Pemerintah. Fasilitas alat pelindung diri pun belum tersedia meski tahapan sudah berjalan," imbuh Titi.
Sehingga menurut Titi, pelaksanaan di lapangan sepenuhnya mengandalkan kemampuan dan kapasitas penyelenggara di daerah untuk mendapatkan dukungan dari anggaran daerah, dan kemampuan menggunakan daya dukung personal masing-masing.
"Ini tentu sangat tidak konsisten dengan keyakinan Pemerintah, DPR, dan KPU bahwa mereka siap menyelenggarakan pilkada lanjutan 2020," ujarnya. (Baca juga; Kemendagri Serahkan DP4 Tambahan Pemilih Pemula Pilkada 2020 Sebanyak 456.256 )
Dalam catatan lembaganya, terang Titi, kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa indikator kesiapan yang dijanjikan oleh para pembuat kebijakan, khususnya Pemerintah sama sekali tidak kongkret dalam realisasinya. Sehingga praktek di lapangan menjadi penuh simpang siur utamanya soal regulasi, anggaran, termasuk juga kepastian penguatan kapasitas untuk petugas pelaksana di lapangan.
"Maupun ketidakpastian sosialisasi pilkada kepada publik sebagai pemenuhan hak masyarakat untuk tahu dan mendapatkan informasi kepemiluan yang memadai," bebernya.
Lebih lanjut Titi mengatakan, akhirnya terlihat dalam perkembangannya bahwa keyakinan pemerintah atas kemampuan dan kesiapan dalam memfasilitasi pilkada lanjutan 2020 tidak diikuti keseriusan dalam memberikan daya dukung dan fasilitasi yang diperlukan, khususnya yang berkaitan dengan anggaran.
Sesuatu yang notabene sangat krusial bagi kepentingan memenuhi tata kelola penyelenggaraan pilkada sesuai dengan protokol kesehatan penanganan COVID-19. "Dan ini sangat mengkhawatirkan, baik dari sisi ancaman terhadap kualitas pilkada dan mutu demokrasi lokal kita, maupun adanya kerentanan tinggi adanya potensi petugas dan pemilih yang bisa terpapar COVID-19 akibat pilkada yang tidak konsisten menerapkan protokol kesehatan," ujarnya.
Dia menambahkan, merujuk perkembangan pelaksanaan berbagai tahapan hingga saat ini belum menunjukkan kesiapan untuk mampu menyelenggarakan pilkada dengan protokol kesehatan dan penanganan COVID-19.
"Akibat belum siapnya regulasi, anggaran yang belum berkepastian, dan penguatan kapasitas petugas yang masih belum meyakinkan telah dilakukan dengan optimal," pungkasnya.
(wib)