Perubahan Iklim, Bencana Alam, dan Anak Indonesia
loading...
A
A
A
Data dari Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (Satgas Bencana IDAI) pada saat terjadi bencana gempa bumi di Lombok pada 2018, 836 anak mengalami permasalahan kesehatan selama di pengungsian dan harus diobati di rumah sakit lapangan serta di posko-posko kesehatan. Keadaan pengungsian yang padat membuat beberapa penyakit mudah sekali menular. Pada saat bencana gempa bumi di Lombok terjadi pergeseran pola penyakit pada anak-anak dari minggu ke minggu.
Pada saat awal terjadi bencana, anak-anak banyak dibawa ke posko kesehatan dan rumah sakit lapangan karena luka-luka dan patah tulang, tetapi pada akhir minggu pertama dan minggu kedua infeksi saluran pernapasan meningkat drastis, setelah itu pada minggu ketiga dan keempat kasus infeksi saluran pernapasan menurun dan diikuti dengan peningkatan kasus infeksi pada sistem saluran pencernaan. Pola penyakit seperti ini dapat digunakan sebagai strategi penanggulan bencana di kemudian hari dan terbukti pada saat bencana gempa bumi Palu. Tim relawan medis dari Ikatan Dokter Anak Indonesia sudah mempersiapkan bantuan medis belajar pada kasus di bencana gempa bumi Lombok. Berbeda bencana, berbeda pula pendekatan bantuan medis, terutama terhadap anak-anak.
Pada Desember 2021, Gunung Semeru meletus dan berdampak luas, termasuk terhadap anak-anak.
Hal lain yang dikhawatirkan pada saat anak berada di pengungsian adalah dampak emosional dan stres. Namun dari pengamatan Satgas Bencana IDAI, dari minggu pertama sampai minggu kelima, anak-anak tidak mengalami gangguan emosional dan stres berdasar skala penilaian yang digunakan relawan. Saat bencana banyak relawan yang datang membawa mainan dan mengajak bermain, tetapi dampak jangka panjang harus diteliti setelah relawan meninggalkan lokasi pengungsian dan anak-anak yang menunggu relokasi rumah tempat tinggal mereka.
Siapakah yang memantau dampak kesehatan dan dampak psikologis anak-anak jangka panjang? Hal ini merupakan masalah yang harus dicari solusinya. Ketika terjadi bencana alam, banyak sekali masyarakat Indonesia yang berlomba-lomba membantu korban bencana, tetapi siapakah yang tetap konsisten membantu, terutama terhadap anak-anak sampai beberapa bulan ke depan? Pertanyaan retoris yang harus menjadi tanggung jawab kita bersama.
Untuk wabah demam berdarah dengue, saat ini juga sedang merajalela. Banyak sekali anak yang menjadi korbannya. Berdasarkan data dari salah satu RS rujukan, dari Januari 2021 sampai dengan Maret 2022 terdapat 42 anak yang mengalami infeksi virus dengue berat dan harus dirawat di ruang intensif. Sebanyak 11,9% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat invasif, 7,1% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat noninvasif. Dari total pasien infeksi virus dengue (DBD) berat, 14,3% meninggal dunia.
Bila kondisi pemanasan global tidak segera diatasi, perubahan cuaca secara tidak langsung akan berdampak pada naiknya angka kesakitan dan kematian akibat demam berdarah dengue.
Secara filosofis bencana adalah interaksi antara hazard dengan objek berupa manusia atau lingkungan. Adapun upaya pencegahan adalah mencegah terjadinya interaksi dan upaya mengurangi atau menghilangkan hazard yang menjadi akar terjadinya bencana.
Lalu bagaimana dengan upaya penanggulangan bencana alam yang diakibatkan dampak perubahan iklim terhadap anak-anak? Anak-anak sudah harus diajari tentang apa yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Pada keadaan tidak terjadi bencana atau sebelum terjadi bencana, anak-anak perlu diajari peduli terhadap lingkungan. Kepedulian tersebut diwujudkan dengan bertindak. Misalnya untuk meminimalkan penggunaan plastik, anak diajak menanam pohon di sekitar rumahnya, berhemat energi dengan mematikan lampu bila tidak digunakan.
Anak juga perlu diajari hal-hal yang harus dilakukan ketika terjadi bencana alam, misalnya apa yang harus dilakukan ketika anak mengalami gempa bumi, banjir, erupsi gunung berapi, dan bencana yang lain. Selain itu anak juga diajari tentang penyakit-penyakit yang bisa ditularkan ketika harus berkumpul dengan banyak orang di pengungsian dan bagaimana cara mencegahnya, misalnya memakai masker untuk mencegah infeksi saluran pernapasan, Covid-19, menggunakan air bersih selama di pengungsian untuk mencegah penularan infeksi saluran pencernaan dan penyakit kulit.
Pada saat awal terjadi bencana, anak-anak banyak dibawa ke posko kesehatan dan rumah sakit lapangan karena luka-luka dan patah tulang, tetapi pada akhir minggu pertama dan minggu kedua infeksi saluran pernapasan meningkat drastis, setelah itu pada minggu ketiga dan keempat kasus infeksi saluran pernapasan menurun dan diikuti dengan peningkatan kasus infeksi pada sistem saluran pencernaan. Pola penyakit seperti ini dapat digunakan sebagai strategi penanggulan bencana di kemudian hari dan terbukti pada saat bencana gempa bumi Palu. Tim relawan medis dari Ikatan Dokter Anak Indonesia sudah mempersiapkan bantuan medis belajar pada kasus di bencana gempa bumi Lombok. Berbeda bencana, berbeda pula pendekatan bantuan medis, terutama terhadap anak-anak.
Pada Desember 2021, Gunung Semeru meletus dan berdampak luas, termasuk terhadap anak-anak.
Hal lain yang dikhawatirkan pada saat anak berada di pengungsian adalah dampak emosional dan stres. Namun dari pengamatan Satgas Bencana IDAI, dari minggu pertama sampai minggu kelima, anak-anak tidak mengalami gangguan emosional dan stres berdasar skala penilaian yang digunakan relawan. Saat bencana banyak relawan yang datang membawa mainan dan mengajak bermain, tetapi dampak jangka panjang harus diteliti setelah relawan meninggalkan lokasi pengungsian dan anak-anak yang menunggu relokasi rumah tempat tinggal mereka.
Siapakah yang memantau dampak kesehatan dan dampak psikologis anak-anak jangka panjang? Hal ini merupakan masalah yang harus dicari solusinya. Ketika terjadi bencana alam, banyak sekali masyarakat Indonesia yang berlomba-lomba membantu korban bencana, tetapi siapakah yang tetap konsisten membantu, terutama terhadap anak-anak sampai beberapa bulan ke depan? Pertanyaan retoris yang harus menjadi tanggung jawab kita bersama.
Untuk wabah demam berdarah dengue, saat ini juga sedang merajalela. Banyak sekali anak yang menjadi korbannya. Berdasarkan data dari salah satu RS rujukan, dari Januari 2021 sampai dengan Maret 2022 terdapat 42 anak yang mengalami infeksi virus dengue berat dan harus dirawat di ruang intensif. Sebanyak 11,9% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat invasif, 7,1% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat noninvasif. Dari total pasien infeksi virus dengue (DBD) berat, 14,3% meninggal dunia.
Bila kondisi pemanasan global tidak segera diatasi, perubahan cuaca secara tidak langsung akan berdampak pada naiknya angka kesakitan dan kematian akibat demam berdarah dengue.
Secara filosofis bencana adalah interaksi antara hazard dengan objek berupa manusia atau lingkungan. Adapun upaya pencegahan adalah mencegah terjadinya interaksi dan upaya mengurangi atau menghilangkan hazard yang menjadi akar terjadinya bencana.
Lalu bagaimana dengan upaya penanggulangan bencana alam yang diakibatkan dampak perubahan iklim terhadap anak-anak? Anak-anak sudah harus diajari tentang apa yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Pada keadaan tidak terjadi bencana atau sebelum terjadi bencana, anak-anak perlu diajari peduli terhadap lingkungan. Kepedulian tersebut diwujudkan dengan bertindak. Misalnya untuk meminimalkan penggunaan plastik, anak diajak menanam pohon di sekitar rumahnya, berhemat energi dengan mematikan lampu bila tidak digunakan.
Anak juga perlu diajari hal-hal yang harus dilakukan ketika terjadi bencana alam, misalnya apa yang harus dilakukan ketika anak mengalami gempa bumi, banjir, erupsi gunung berapi, dan bencana yang lain. Selain itu anak juga diajari tentang penyakit-penyakit yang bisa ditularkan ketika harus berkumpul dengan banyak orang di pengungsian dan bagaimana cara mencegahnya, misalnya memakai masker untuk mencegah infeksi saluran pernapasan, Covid-19, menggunakan air bersih selama di pengungsian untuk mencegah penularan infeksi saluran pencernaan dan penyakit kulit.