Perubahan Iklim, Bencana Alam, dan Anak Indonesia
loading...
A
A
A
Kurniawan Taufiq Kadafi
Ketua Satgas Penanggulangan Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Staf Pengajar Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Univ. Brawijaya/RSUD Dr Saiful Anwar, Malang
BUMI tiap hari bertambah usianya, tetapi bertambah juga kerusakannya. Manusia sebagai penghuninya mengalami ketakutan akan dampak kerusakannya. Namun apakah sudah ada upaya nyata dari manusia untuk paling tidak mengurangi kerusakan bumi dari hari ke hari? Jawabannya saat ini adalah manusia sedang berusaha. Kerusakan bumi akibat ulah manusia berhubungan erat dengan perubahan iklim yang juga tidak lepas dari perilaku manusia.
Hal yang sangat lazim dibicarakan orang dan tidak dapat diabaikan terkait dengan kerusakan bumi adalah adanya pemanasan global. Data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sepuluh tahun lalu, suhu rata-rata bumi sudah meningkat sampai dengan 3°C bila dibandingkan dengan tahun 1990. Apalagi saat ini pemakaian teknologi yang berhubungan dengan karbon sangat marak digunakan. Hal ini tentu berhubungan dengan pemanasan global. Bila pemanasan global terus terjadi, manusia tinggal menuai bencana di kemudian hari. Pemanasan global tidak dapat dipandang sebagai masalah di suatu negara atau belahan dunia tertentu, tetapi permasalahan di seluruh belahan dunia.
Salah satu dampak dari pemanasan global adalah mencairnya permafrost atau lapisan tanah beku. Contohnya adalah pencairan permafrost di Siberia dan Alaska yang sudah terbentuk sejak 11.000 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu bumi dalam enam dekade terakhir. Peningkatan suhu bumi ini disebabkan oleh karbon dioksida dan polutan lainnya. Karbon dioksida sebagai hasil pembakaran nantinya akan tertahan di lapisan atmosfer pada ketinggian 10–20 km. Penumpukan karbon dioksida akan menahan panas dari permukaan bumi untuk keluar sehingga menyebabkan efek rumah kaca.
Pencairan permafrost di Siberia dan Alaska menyebabkan peningkatan permukaan laut secara global 0,19 meter. Belum lagi hal itu diperparah dengan hilangnya massa es di Greenland, Antartika, Arktik, dan gletser gunung di seluruh dunia. Pencairan gletser akibat pemanasan global akan mengakibatkan sebuah fenomena isostatic rebound di mana gletser yang mencair akan mengakibatkan berat kerak bumi berkurang dan mudah bergerak serta memantul sehingga mengakibatkan pergerakan patahan bumi dan peningkatan aktivitas pada ruang magma (peningkatan aktivitas seismik).
Dampak besarnya adalah terjadinya bencana alam yang bukan hanya terjadi di sekitar belahan dunia tempat gletser mencair, tetapi juga di belahan bumi lain yang jauh dari tempat gletser mencair. Bencana alam yang bisa terjadi adalah gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah longsor. Pemanasan global juga akan berdampak pada munculnya wabah penyakit.
Bagaimana nasib Indonesia bila gletser terus mencair akibat pemanasan global? Indonesia merupakan salah negara dengan topografi yang bervariasi. Sebagian wilayahnya adalah pegunungan, sebagian lagi adalah lembah, lautan serta sungai. Hal ini membuat Indonesia merupakan surga bagi para pencinta alam. Namun yang perlu diingat adalah Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng tektonik mayor di dunia, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia serta lempeng Pasifik.
Selain itu Indonesia juga berlokasi di Pacific ring of fire sehingga menjadikan Indonesia sebagai wilayah dengan aktivitas vulkanik dan aktivitas seismik yang tinggi. Sampai saat ini ada sekitar 129 gunung berapi aktif di Indonesia. Situasi yang digambarkan di atas membuat risiko bencana alam di Indonesia sangat tinggi. Belum lagi Indonesia saat ini menjadi daerah endemis untuk beberapa penyakit infeksi yang mematikan, salah satunya adalah demam berdarah dengue. Bahkan dalam 45 tahun terakhir kasus infeksi virus dengue meningkat secara dramatis mengikuti pola hiperendemis intermiten.
Lalu apa hubungannya pemanasan global dengan munculnya wabah seperti demam berdarah dengue? Ternyata temperatur punya peran penting terhadap siklus hidup serta reproduksi virus yang ditularkan melalui nyamuk, termasuk virus dengue. Kelembapan yang disebabkan tingginya intensitas hujan membuat lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan nyamuk Aedes. Jadi jelas dampak pemanasan global terhadap Indonesia akan sangat besar bila tidak diantisipasi sebelum muncul bencana alam dan wabah penyakit. Pengalaman panjang bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana alam yang sering terjadi harus digunakan sebagai strategi untuk mencegah dan mengurangi dampak akibat bencana di kemudian hari.
Hal yang sering terabaikan bila bencana alam terjadi adalah keadaan anak-anak. Anak-anak sering dinilai sebagai satu paket dengan orang tuanya. Padahal anak memiliki kebutuhan yang bersifat spesifik yang berbeda dengan orang tua dalam hal pertumbuhan dan perkembangan. Dampak bencana alam dan wabah penyakit bukan hanya terhadap fisik anak, tetapi juga terhadap sisi psikologis anak.
Data dari Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (Satgas Bencana IDAI) pada saat terjadi bencana gempa bumi di Lombok pada 2018, 836 anak mengalami permasalahan kesehatan selama di pengungsian dan harus diobati di rumah sakit lapangan serta di posko-posko kesehatan. Keadaan pengungsian yang padat membuat beberapa penyakit mudah sekali menular. Pada saat bencana gempa bumi di Lombok terjadi pergeseran pola penyakit pada anak-anak dari minggu ke minggu.
Pada saat awal terjadi bencana, anak-anak banyak dibawa ke posko kesehatan dan rumah sakit lapangan karena luka-luka dan patah tulang, tetapi pada akhir minggu pertama dan minggu kedua infeksi saluran pernapasan meningkat drastis, setelah itu pada minggu ketiga dan keempat kasus infeksi saluran pernapasan menurun dan diikuti dengan peningkatan kasus infeksi pada sistem saluran pencernaan. Pola penyakit seperti ini dapat digunakan sebagai strategi penanggulan bencana di kemudian hari dan terbukti pada saat bencana gempa bumi Palu. Tim relawan medis dari Ikatan Dokter Anak Indonesia sudah mempersiapkan bantuan medis belajar pada kasus di bencana gempa bumi Lombok. Berbeda bencana, berbeda pula pendekatan bantuan medis, terutama terhadap anak-anak.
Pada Desember 2021, Gunung Semeru meletus dan berdampak luas, termasuk terhadap anak-anak.
Hal lain yang dikhawatirkan pada saat anak berada di pengungsian adalah dampak emosional dan stres. Namun dari pengamatan Satgas Bencana IDAI, dari minggu pertama sampai minggu kelima, anak-anak tidak mengalami gangguan emosional dan stres berdasar skala penilaian yang digunakan relawan. Saat bencana banyak relawan yang datang membawa mainan dan mengajak bermain, tetapi dampak jangka panjang harus diteliti setelah relawan meninggalkan lokasi pengungsian dan anak-anak yang menunggu relokasi rumah tempat tinggal mereka.
Siapakah yang memantau dampak kesehatan dan dampak psikologis anak-anak jangka panjang? Hal ini merupakan masalah yang harus dicari solusinya. Ketika terjadi bencana alam, banyak sekali masyarakat Indonesia yang berlomba-lomba membantu korban bencana, tetapi siapakah yang tetap konsisten membantu, terutama terhadap anak-anak sampai beberapa bulan ke depan? Pertanyaan retoris yang harus menjadi tanggung jawab kita bersama.
Untuk wabah demam berdarah dengue, saat ini juga sedang merajalela. Banyak sekali anak yang menjadi korbannya. Berdasarkan data dari salah satu RS rujukan, dari Januari 2021 sampai dengan Maret 2022 terdapat 42 anak yang mengalami infeksi virus dengue berat dan harus dirawat di ruang intensif. Sebanyak 11,9% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat invasif, 7,1% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat noninvasif. Dari total pasien infeksi virus dengue (DBD) berat, 14,3% meninggal dunia.
Bila kondisi pemanasan global tidak segera diatasi, perubahan cuaca secara tidak langsung akan berdampak pada naiknya angka kesakitan dan kematian akibat demam berdarah dengue.
Secara filosofis bencana adalah interaksi antara hazard dengan objek berupa manusia atau lingkungan. Adapun upaya pencegahan adalah mencegah terjadinya interaksi dan upaya mengurangi atau menghilangkan hazard yang menjadi akar terjadinya bencana.
Lalu bagaimana dengan upaya penanggulangan bencana alam yang diakibatkan dampak perubahan iklim terhadap anak-anak? Anak-anak sudah harus diajari tentang apa yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Pada keadaan tidak terjadi bencana atau sebelum terjadi bencana, anak-anak perlu diajari peduli terhadap lingkungan. Kepedulian tersebut diwujudkan dengan bertindak. Misalnya untuk meminimalkan penggunaan plastik, anak diajak menanam pohon di sekitar rumahnya, berhemat energi dengan mematikan lampu bila tidak digunakan.
Anak juga perlu diajari hal-hal yang harus dilakukan ketika terjadi bencana alam, misalnya apa yang harus dilakukan ketika anak mengalami gempa bumi, banjir, erupsi gunung berapi, dan bencana yang lain. Selain itu anak juga diajari tentang penyakit-penyakit yang bisa ditularkan ketika harus berkumpul dengan banyak orang di pengungsian dan bagaimana cara mencegahnya, misalnya memakai masker untuk mencegah infeksi saluran pernapasan, Covid-19, menggunakan air bersih selama di pengungsian untuk mencegah penularan infeksi saluran pencernaan dan penyakit kulit.
Setelah terjadi bencana alam, anak-anak perlu diajari bagaimana tetap sehat dan kuat secara mental. Akan lebih efektif bila hal-hal tersebut dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Selain terhadap anak-anak, orang tua juga perlu mendapatkan penyuluhan tentang bencana alam dan apa yang harus dilakukan terhadap anaknya ketika menghadapi bencana. Vaksinasi juga merupakan hal yang sangat penting untuk menanggulangi wabah di tengah bencana, misalnya wabah campak di tengah bencana.
Anak dan orang tua perlu diberi pemahaman tentang pembatasan makanan junk food. Mengonsumsi makanan junk food yang berasal dari peternakan ruminansia secara tidak berlebihan selain bisa mengontrol berat badan anak tetap dalam berat badan yang ideal secara tidak langsung, juga mengurangi peningkatan suhu global dan dapat berkontribusi terhadap pencegahan bencana alam. Maka dengan perencanaan dan perilaku yang baik, bencana alam akibat perubahan iklim dapat dicegah.
Ketua Satgas Penanggulangan Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Staf Pengajar Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Univ. Brawijaya/RSUD Dr Saiful Anwar, Malang
BUMI tiap hari bertambah usianya, tetapi bertambah juga kerusakannya. Manusia sebagai penghuninya mengalami ketakutan akan dampak kerusakannya. Namun apakah sudah ada upaya nyata dari manusia untuk paling tidak mengurangi kerusakan bumi dari hari ke hari? Jawabannya saat ini adalah manusia sedang berusaha. Kerusakan bumi akibat ulah manusia berhubungan erat dengan perubahan iklim yang juga tidak lepas dari perilaku manusia.
Hal yang sangat lazim dibicarakan orang dan tidak dapat diabaikan terkait dengan kerusakan bumi adalah adanya pemanasan global. Data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sepuluh tahun lalu, suhu rata-rata bumi sudah meningkat sampai dengan 3°C bila dibandingkan dengan tahun 1990. Apalagi saat ini pemakaian teknologi yang berhubungan dengan karbon sangat marak digunakan. Hal ini tentu berhubungan dengan pemanasan global. Bila pemanasan global terus terjadi, manusia tinggal menuai bencana di kemudian hari. Pemanasan global tidak dapat dipandang sebagai masalah di suatu negara atau belahan dunia tertentu, tetapi permasalahan di seluruh belahan dunia.
Salah satu dampak dari pemanasan global adalah mencairnya permafrost atau lapisan tanah beku. Contohnya adalah pencairan permafrost di Siberia dan Alaska yang sudah terbentuk sejak 11.000 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu bumi dalam enam dekade terakhir. Peningkatan suhu bumi ini disebabkan oleh karbon dioksida dan polutan lainnya. Karbon dioksida sebagai hasil pembakaran nantinya akan tertahan di lapisan atmosfer pada ketinggian 10–20 km. Penumpukan karbon dioksida akan menahan panas dari permukaan bumi untuk keluar sehingga menyebabkan efek rumah kaca.
Pencairan permafrost di Siberia dan Alaska menyebabkan peningkatan permukaan laut secara global 0,19 meter. Belum lagi hal itu diperparah dengan hilangnya massa es di Greenland, Antartika, Arktik, dan gletser gunung di seluruh dunia. Pencairan gletser akibat pemanasan global akan mengakibatkan sebuah fenomena isostatic rebound di mana gletser yang mencair akan mengakibatkan berat kerak bumi berkurang dan mudah bergerak serta memantul sehingga mengakibatkan pergerakan patahan bumi dan peningkatan aktivitas pada ruang magma (peningkatan aktivitas seismik).
Dampak besarnya adalah terjadinya bencana alam yang bukan hanya terjadi di sekitar belahan dunia tempat gletser mencair, tetapi juga di belahan bumi lain yang jauh dari tempat gletser mencair. Bencana alam yang bisa terjadi adalah gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah longsor. Pemanasan global juga akan berdampak pada munculnya wabah penyakit.
Bagaimana nasib Indonesia bila gletser terus mencair akibat pemanasan global? Indonesia merupakan salah negara dengan topografi yang bervariasi. Sebagian wilayahnya adalah pegunungan, sebagian lagi adalah lembah, lautan serta sungai. Hal ini membuat Indonesia merupakan surga bagi para pencinta alam. Namun yang perlu diingat adalah Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng tektonik mayor di dunia, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia serta lempeng Pasifik.
Selain itu Indonesia juga berlokasi di Pacific ring of fire sehingga menjadikan Indonesia sebagai wilayah dengan aktivitas vulkanik dan aktivitas seismik yang tinggi. Sampai saat ini ada sekitar 129 gunung berapi aktif di Indonesia. Situasi yang digambarkan di atas membuat risiko bencana alam di Indonesia sangat tinggi. Belum lagi Indonesia saat ini menjadi daerah endemis untuk beberapa penyakit infeksi yang mematikan, salah satunya adalah demam berdarah dengue. Bahkan dalam 45 tahun terakhir kasus infeksi virus dengue meningkat secara dramatis mengikuti pola hiperendemis intermiten.
Lalu apa hubungannya pemanasan global dengan munculnya wabah seperti demam berdarah dengue? Ternyata temperatur punya peran penting terhadap siklus hidup serta reproduksi virus yang ditularkan melalui nyamuk, termasuk virus dengue. Kelembapan yang disebabkan tingginya intensitas hujan membuat lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan nyamuk Aedes. Jadi jelas dampak pemanasan global terhadap Indonesia akan sangat besar bila tidak diantisipasi sebelum muncul bencana alam dan wabah penyakit. Pengalaman panjang bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana alam yang sering terjadi harus digunakan sebagai strategi untuk mencegah dan mengurangi dampak akibat bencana di kemudian hari.
Hal yang sering terabaikan bila bencana alam terjadi adalah keadaan anak-anak. Anak-anak sering dinilai sebagai satu paket dengan orang tuanya. Padahal anak memiliki kebutuhan yang bersifat spesifik yang berbeda dengan orang tua dalam hal pertumbuhan dan perkembangan. Dampak bencana alam dan wabah penyakit bukan hanya terhadap fisik anak, tetapi juga terhadap sisi psikologis anak.
Data dari Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (Satgas Bencana IDAI) pada saat terjadi bencana gempa bumi di Lombok pada 2018, 836 anak mengalami permasalahan kesehatan selama di pengungsian dan harus diobati di rumah sakit lapangan serta di posko-posko kesehatan. Keadaan pengungsian yang padat membuat beberapa penyakit mudah sekali menular. Pada saat bencana gempa bumi di Lombok terjadi pergeseran pola penyakit pada anak-anak dari minggu ke minggu.
Pada saat awal terjadi bencana, anak-anak banyak dibawa ke posko kesehatan dan rumah sakit lapangan karena luka-luka dan patah tulang, tetapi pada akhir minggu pertama dan minggu kedua infeksi saluran pernapasan meningkat drastis, setelah itu pada minggu ketiga dan keempat kasus infeksi saluran pernapasan menurun dan diikuti dengan peningkatan kasus infeksi pada sistem saluran pencernaan. Pola penyakit seperti ini dapat digunakan sebagai strategi penanggulan bencana di kemudian hari dan terbukti pada saat bencana gempa bumi Palu. Tim relawan medis dari Ikatan Dokter Anak Indonesia sudah mempersiapkan bantuan medis belajar pada kasus di bencana gempa bumi Lombok. Berbeda bencana, berbeda pula pendekatan bantuan medis, terutama terhadap anak-anak.
Pada Desember 2021, Gunung Semeru meletus dan berdampak luas, termasuk terhadap anak-anak.
Hal lain yang dikhawatirkan pada saat anak berada di pengungsian adalah dampak emosional dan stres. Namun dari pengamatan Satgas Bencana IDAI, dari minggu pertama sampai minggu kelima, anak-anak tidak mengalami gangguan emosional dan stres berdasar skala penilaian yang digunakan relawan. Saat bencana banyak relawan yang datang membawa mainan dan mengajak bermain, tetapi dampak jangka panjang harus diteliti setelah relawan meninggalkan lokasi pengungsian dan anak-anak yang menunggu relokasi rumah tempat tinggal mereka.
Siapakah yang memantau dampak kesehatan dan dampak psikologis anak-anak jangka panjang? Hal ini merupakan masalah yang harus dicari solusinya. Ketika terjadi bencana alam, banyak sekali masyarakat Indonesia yang berlomba-lomba membantu korban bencana, tetapi siapakah yang tetap konsisten membantu, terutama terhadap anak-anak sampai beberapa bulan ke depan? Pertanyaan retoris yang harus menjadi tanggung jawab kita bersama.
Untuk wabah demam berdarah dengue, saat ini juga sedang merajalela. Banyak sekali anak yang menjadi korbannya. Berdasarkan data dari salah satu RS rujukan, dari Januari 2021 sampai dengan Maret 2022 terdapat 42 anak yang mengalami infeksi virus dengue berat dan harus dirawat di ruang intensif. Sebanyak 11,9% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat invasif, 7,1% membutuhkan alat bantu napas yang bersifat noninvasif. Dari total pasien infeksi virus dengue (DBD) berat, 14,3% meninggal dunia.
Bila kondisi pemanasan global tidak segera diatasi, perubahan cuaca secara tidak langsung akan berdampak pada naiknya angka kesakitan dan kematian akibat demam berdarah dengue.
Secara filosofis bencana adalah interaksi antara hazard dengan objek berupa manusia atau lingkungan. Adapun upaya pencegahan adalah mencegah terjadinya interaksi dan upaya mengurangi atau menghilangkan hazard yang menjadi akar terjadinya bencana.
Lalu bagaimana dengan upaya penanggulangan bencana alam yang diakibatkan dampak perubahan iklim terhadap anak-anak? Anak-anak sudah harus diajari tentang apa yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Pada keadaan tidak terjadi bencana atau sebelum terjadi bencana, anak-anak perlu diajari peduli terhadap lingkungan. Kepedulian tersebut diwujudkan dengan bertindak. Misalnya untuk meminimalkan penggunaan plastik, anak diajak menanam pohon di sekitar rumahnya, berhemat energi dengan mematikan lampu bila tidak digunakan.
Anak juga perlu diajari hal-hal yang harus dilakukan ketika terjadi bencana alam, misalnya apa yang harus dilakukan ketika anak mengalami gempa bumi, banjir, erupsi gunung berapi, dan bencana yang lain. Selain itu anak juga diajari tentang penyakit-penyakit yang bisa ditularkan ketika harus berkumpul dengan banyak orang di pengungsian dan bagaimana cara mencegahnya, misalnya memakai masker untuk mencegah infeksi saluran pernapasan, Covid-19, menggunakan air bersih selama di pengungsian untuk mencegah penularan infeksi saluran pencernaan dan penyakit kulit.
Setelah terjadi bencana alam, anak-anak perlu diajari bagaimana tetap sehat dan kuat secara mental. Akan lebih efektif bila hal-hal tersebut dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Selain terhadap anak-anak, orang tua juga perlu mendapatkan penyuluhan tentang bencana alam dan apa yang harus dilakukan terhadap anaknya ketika menghadapi bencana. Vaksinasi juga merupakan hal yang sangat penting untuk menanggulangi wabah di tengah bencana, misalnya wabah campak di tengah bencana.
Anak dan orang tua perlu diberi pemahaman tentang pembatasan makanan junk food. Mengonsumsi makanan junk food yang berasal dari peternakan ruminansia secara tidak berlebihan selain bisa mengontrol berat badan anak tetap dalam berat badan yang ideal secara tidak langsung, juga mengurangi peningkatan suhu global dan dapat berkontribusi terhadap pencegahan bencana alam. Maka dengan perencanaan dan perilaku yang baik, bencana alam akibat perubahan iklim dapat dicegah.
(bmm)