Menimbang Layanan Tunggal Jaminan Kesehatan Nasional
loading...
A
A
A
Baca Juga
Kekhawatiran serupa juga dialami oleh Puskesmas Gang Kelor Bogor. Puskesmas menilai penyeragaman kelas ini akan menyulitkan peserta kelas III. Di sisi lain, peserta kelas I akan merasa tidak adil karena membayar untuk layanan kelas I tetapi mendapat fasilitas yang sama dengan peserta kelas III. Penunggakan pembayaran peserta BPJS akan menyebabkan kesulitan bagi Puskesmas untuk merujuk pasien ke rumah sakit karena sistem akan memblokir kepesertaan BPJS-nya.
Penunggakan pembayaran iuran BPJS juga terjadi di RSUD maupun Puskesmas di Kota Surakarta. Hampir rata-rata peserta BPJS kelas III khususnya yang Pekerja Bukan Penerima Upah (PBU) menunggak pembayaran dan tidak aktif kepesertaannya karena besarnya iuran yang tidak dapat dijangkau. Akibatnya, hal ini menjadi beban tersendiri bagi rumah sakit karena harus menalangi terlebih dahulu. Selain itu masalah seperti jumlah tempat tidur yang kurang di RSUD IFS menyebabkan masyarakat harus mengantre lebih lama untuk mendapatkan layanan. Hal tersebut juga akan berdampak pada pendapatan RSUD. Dengan demikian, kebijakan KRIS ini masih harus kembali dipertimbangkan pelaksanaannya baik dari sisi kesiapan rumah sakit maupun kemampuan peserta untuk membayar iuran.
Rekomendasi Kebijakan Perubahan Skema Layanan
Rencana perubahan skema layanan kelas 1,2, dan 3 menjadi kelas standar diharapkan dapat mendorong banyak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik melalui asuransi sosial kesehatan. Meskipun demikian, perubahan skema ini masih memerlukan lebih banyak persiapan dan pertimbangan mengingat risiko dan tantangan yang akan timbul jika kebijakan ini diimplementasikan.
Fenomena tersebut mendorong perlunya Kementerian Kesehatan RI berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan BPJS Kesehatan untuk membahas rencana penetapan kebijakan pelayanan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) langsung menjadi satu kelas saja tanpa melalui tahapan dua kelas terlebih dahulu dengan sekaligus membahas kebijakan tarif INA CBG’S dan sistem rujukan KRIS sebagai kebijakan pendukungnya secara komprehensif.
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan bahwa pasien di seluruh rumah sakit di Indonesia mendapatkan hak yang sama dalam mendapatkan ruang perawatan, serta pasien diberikan kebebasan untuk membayar selisih atas perubahan pelayanan dengan standar yang lebih baik sesuai dengan kemampuan dan pilihannya. Konsumen juga perlu diedukasi terkait perubahan skema layanan ini.
Edukasi dan sosialisasi program bisa dilakukan melalui iklan layanan masyarakat. Pemerintah pusat juga perlu melakukan persiapan infrastruktur dan implementasi peraturan pelaksanaan yang matang untuk melakukan uji publik dalam program KRIS JKN. Di sisi lain, Kemenkes perlu berkoordinasi dengan BPJS terkait upaya peningkatan efektivitas Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK) sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat serta mengurangi beban pelayanan kesehatan pada tahap lanjutan.
(zik)