Sains, Saintis, dan Vaksin Corona

Kamis, 18 Juni 2020 - 04:41 WIB
loading...
Sains, Saintis, dan Vaksin Corona
Asrudin Azwar, Peneliti, Pendiri The Asrudian Center & Mirza Jaka Suryana, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.
A A A
Asrudin Azwar
Peneliti, Pendiri The Asrudian Center & Mirza Jaka Suryana, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta

AKHIR-AKHIR ini dunia sains mendapat sorotan dari para cendekiawan kenamaan Indonesia di tengah mewabahnya virus Corona. Sorotan ini terkait dengan peranan sains/saintis dalam menyikapi apa yang disebut oleh ilmuwan politik Amerika Serikat, Richard W. Mansbach, sebagai penyakit global.

Perhatian para cendekiawan itu pun melahirkan silang pendapat. Ini bermula ketika AS Laksana (ASL) mengunggah artikel di FB "Sains dan Hal-Hal Baiknya" untuk menanggapi Goenawan Mohamad (GM) yang relativistik. Dalam artikel itu, ASL memosisikan diri layaknya seorang pembela positivisitik yang paling gigih. Memuja sains dengan segala pesonanya.

Dengan percaya diri ASL mengatakan bahwa informasi saintifik membuat pengetahuan kita membaik dan momentum berjangkitnya wabah, disadari atau tidak, telah menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita terhadap sains. Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari kalangan sains. Ajakan untuk berkhidmat pada sains itu, kata ASL, telah disanggah GM. ASL menuding GM mengecilkan sains dengan menggunakan anekdot tentang Einstein yang mengatakan politik lebih rumit dibandingkan fisika.

Namun, GM tidak tinggal diam. Ia pun menanggapi balik ASL dengan artikel “Sains dan Masalah-Masalahnya”. Dengan gayanya yang khas Heideggerian, GM mengatakan bahwa “sains tidak berfikir”. Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger, sebagaimana dikutip GM, menguraikan lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia menjelaskan dengan merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger, “apa yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka.

Menindaklanjuti silang pendapat itu, ASL dan GM tentu saja memiliki argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Tapi, bukan berarti keduanya bisa bebas dari kritik. Oleh karena itu, kami mengambil sikap intelektual yang berbeda. Bagi kami argumen kedua cendekiawan itu juga memiliki batasan.

Batasan Argumen

Sejarah sains boleh jadi ditulis berdasarkan keberhasilan yang telah dicapai (positivistik ASL) atau kegagalan akibat masalah yang disebabkannya (relativistik GM). Tapi, bagi kami sejarah-sejarah kepenulisan itu juga memiliki batasan.

Sekarang kita lihat batasan dari argumen positivistik ASL. Apa benar capaian sains begitu memesona sehingga ia bisa bebas begitu saja dari kritik. Einstein, kita tahu merupakan seorang jenius. Berkat teori relativitas, ia berhasil mengubah dunia keilmuan. Mengguncang fondasi fisika yang sudah dimapankan Newton. Gravitasi itu bisa dilawan. Pesawat terbang membuktikannya. Perkembangan dunia pun semakin pesat.

Keterhubungan menjadi tak terelakkan. Dalam waktu yang relatif singkat, manusia bisa berada di mana pun di belahan bumi. Tetapi, konsekuensi yang dihasilkan dari pembelotan Einstein terhadap Newton tidak kalah besar. Melawan gravitasi membuat bumi semakin terpolusi. Burung besi yang bisa terbang itu membutuhkan energi besar, yang buangannya merusak lapisan ozon. Selama satu abad belakangan kita mengalami perubahan iklim yang ekstrem. Dunia seolah tidak memiliki harapan.

Contoh lain bisa dilihat saat Indonesia berhasil menciptakan varietas padi unggul pada 1970an. Keberhasilan sains ini rupanya memiliki dampak yang menghancurkan. Pemerintah Orde Baru memperkenalkan varietas unggul modern dari IRRI, IR5, dan IR8, yang memiliki produktivitas tinggi, umur lebih genjah, dan sangat responsif terhadap pupuk. Pada 1971, varietas Pelita I-1 dan Pelita I-2 dilepas. Varietas ini berasal dari persilangan IR5 dengan Sintha, tapi bencana hadir. Dua varietas padi unggul ini rentan terhadap hama wereng coklat. Karena kesesuaian mutasi genetika, hama wereng coklat berevolusi menjadi lebih ganas. Mimpi peningkatan produktivitas pun berantakan.

Lalu apa batasan dari argumen relativistik. Sebagai amunisi debat, argumen relativistik GM tentu memiliki pesonanya sendiri. Dengan mengutip sejumlah nama filosof beken, seperti Husserl, Heidegger, Popper, dan lain-lain, GM memang berhasil membuktikan masalah-masalah yang dihadapi oleh sains. Tapi sekali lagi, argumen itu hanya menarik sebagai amunisi.

Untuk itu, salah seorang ahli fisika partikel terbesar Edward Witten suatu kali pernah menyindir argumen relativistik Thomas Kuhn dengan sinis. Sindiran ini sejatinya berlaku juga untuk GM. Filsafat Kuhn, baginya, tidak dianggap terlalu serius kecuali sebagai standar perdebatan, bahkan oleh para pendukungnya sekalipun. Karena itu, argumen Kuhn yang relativistik terhadap sains pun mudah dipatahkan Witten. Ia melakukan itu cukup dengan satu kalimat pertanyaan ringan: Apakah Kuhn pergi ke dokter waktu ia sakit? Nyatanya Kuhn melakukan itu sebelum ia meninggal dunia karena kanker paru pada 1996 silam. Ini membuktikan Kuhn meyakini ilmu pengetahuan dan bukan filsafat relativistiknya.

Jalan Keluar

Merujuk pada batasan yang kami kupas, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan sains. Sikap saintislah yang bermasalah. Kepongahan saintis yang membuat sains menjadi buruk. Itulah sebab manusia terkadang menggunakan sains untuk mengintimidasi dan mengendalikan, mengeksploitasi, serta menindas manusia lain.

Mae Wan Ho, pelopor pemikiran “fisika organisme”, dalam bukunya yang luar biasa Genetic Engineering: Dream or Nightmare? The Brave New World of Bad Science and Big Business (2008) pernah mengingatkan bagaimana ilmu pengetahuan bisa menjadi buruk.

Mae mencontohkan kasus pada rekayasa genetika yang menjadi berbahaya karena aliansi dua kekuatan: ilmu dan perdagangan. Menurutnya, rekayasa genetik adalah ilmu buruk karena bekerja sama dengan bisnis raksasa guna mendapatkan laba dengan cepat. Praktis, semua ilmuwan genetika molekuler secara langsung atau tidak memiliki hubungan dengan industri. Hal ini kemudian membatasi jenis riset yang bisa dan akan dilakukan saintis. Integritas mereka sebagai saintis independen pun dikompromikan. Pola aliansi inilah yang menurut Mae telah mempertajam kesenjangan antara Utara dan Selatan, antara yang kaya dan miskin.

Bagaimana dengan kasus pandemi korona. Saat ini WHO menyebutkan terdapat 125 proyek vaksin yang sedang dikerjakan untuk menanggulangi virus. Sepuluh kandidat vaksin potensial sekarang sedang diuji pada manusia. Namun, pengerjaan vaksin ini dilakukan dengan pola aliansi yang sama. Kita tidak pernah tahu niatan industri yang akan memproduksi vaksin selama pandemi korona, apa sekadar mencari laba atau untuk barang publik global tanpa profit?

Untuk itu, kita memerlukan jalan keluar dari persoalan semacam ini. Usul kami, manusia perlu mengembangkan apa yang disebut oleh Hidayat Nataadmadja sebagai inteligensi spiritual. Berdasarkan pandangan ini, ilmu akan selalu dipandang memiliki nilai moral dan tidak bisa dipisahkan dari nilai tersebut. Jika ini yang dijadikan pedoman, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah vaksin dibuat semata untuk “barang publik global”.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1825 seconds (0.1#10.140)