Hal-hal yang Belum Terungkap dalam Rapat Komisi VI DPR RI dengan Bapebbti

Sabtu, 02 April 2022 - 17:56 WIB
loading...
A A A
Sebuah perusahaan yang memiliki SIUPL mestinya bukan money game (skema ponzi/skema piramida). Karena seharusnya, perusahaan yang berskema ponzi tidak bisa mendapatkan SIUPL (sesuai syarat dan larangan yang diatur dalam Pasal 2 dan 21 Permendag nomor 32 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung dan juga termasuk larangan yang diatur dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan).

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Resiko, SIUPL yang dimiliki perusahaan mungkin sudah tidak sesuai lagi. Namun jika memang skema ponzi, mestinya sejak awal SIUPL tidak pernah terbit. Karena salah satu syarat terbitnya SIUPL adalah perusahaan tersebut sudah lolos verifikasi bahwa skema marketingnya bukan skema jaringan terlarang.

Selanjutnya, Kepala Bappebti juga menyatakan bahwa perusahaan robot trading telah menyalahgunakan izin karena barang yang didaftarkan berbeda dengan yang dijual. Contohnya, ada perusahaan yang menjual produk minuman (atau produk berwujud fisik lainnya), lalu software trading seolah diberikan sebagai bonusnya. Padahal dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi VI dengan Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) pada 22 Maret 2022 lalu terungkap bahwa SIUPL perusahaan robot trading diberikan oleh regulator terkait dengan kondisi sudah mengetahui sebelumnya bahwa barang yang dijual adalah software analyzer (robot trading) sehingga memang tidak berwujud fisik.

Sedangkan dalam Permendag, salah satu syarat untuk mendapatkan SIUPL adalah memiliki barang dan/atau jasa yang nyata dan jelas. Ini artinya, barangnya harus berwujud secara fisik. Perlu dipertanyakan juga mengapa barang yang tidak berwujud fisik bisa mendapat SIUPL.

Selain APLI yang lahir sejak tahun 1984 dan merupakan asosiasi MLM tertua di Indonesia, ada asosiasi lain yang lahir tahun 2014 dan juga mewadahi perusahaan MLM, yakni Asosiasi Perusahaan Penjualan Langsung Indonesia (AP2LI). Menurut APLI dalam RDPU dengan Komisi VI tersebut, banyak perusahaan robot trading tergabung ke dalam AP2LI (bukan di APLI). Baik APLI maupun AP2LI mungkin bukan sebagai lembaga pengawas perusahaan yang menjadi anggotanya. Apalagi berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 2021, perusahaan penjualan langsung tidak lagi memerlukan verifikasi kode etik dan program pemasaran dari asosiasi sebagai syarat pengajuan izin SIUP (seperti yang diumumkan APLI melalui websitenya). Namun sikap selektif dalam menerima anggota asosiasi mestinya tetap diperlukan.

Asosiasi memang sebelumnya dilibatkan Kemendag untuk melakukan verifikasi dokumen perusahaan yang mengajukan permohonan SIUPL agar sesuai dengan aturan, termasuk marketing plan yang tidak mengarah ke money game atau skema piramida (skema ponzi). Logikanya perusahaan robot trading berskema ponzi tidak akan bisa lolos verifikasi. Yang lagi-lagi menjadi pertanyaan adalah mengapa bisa terjadi perusahaan robot trading skema ponzi lolos verifikasi SIUPL dan apakah benar banyak di antara mereka adalah anggota AP2LI? Jika benar, pertanyaan berikutnya adalah adakah peran asosiasi terhadap lolosnya SIUPL sebuah perusahaan robot trading (yang ternyata kemudian menerapkan skema ponzi)?

Pasca penyegelan, AP2LI mengeluarkan imbauan yang salah satu poinnya menyatakan bahwa SIUPL dan keanggotaan dalam sebuah assosiasi/organisasi, bukan merupakan jaminan atas kepatuhan perusahaaan penjualan langsung terhadap regulasi. Lalu ada poin lain yang meminta masyarakat agar mencek kesesuaian barang yang dijual dengan barang yang tertera pada lampiran SIUPL. Dari imbauan tersebut disimpulkan bahwa karena bukan sebagai lembaga penjamin, maka asosiasi tidak bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang menjadi anggotanya. Sebuah pengumuman yang terlambat dan terkesan lepas tangan.

SIUPL dan keanggotaan dalam asosiasi inilah yang secara terbuka dijadikan ‘barang dagangan’ oleh perusahaan robot trading untuk menarik member. Dalam berbagai iklan dan tayangan, yang dikedepankan adalah mereka perusahaan investasi yang legal (berizin lengkap) dan aman. Mereka juga punya penjelasan mengapa perusahaannya tidak di bawah Bappebti maupun OJK.

Jika semua perusahaan robot trading di mata Kemendag adalah money game, maka iklan dan beragam tayangan di media sosial mestinya segera ditertibkan. Karena salah satu kewenangan Bappebti adalah mewajibkan kepada setiap pihak untuk menghentikan atau memperbaiki iklan yang dapat menyesatkan (misleading). Kalau bisa menyegel perusahaan robot trading, seharusnya Bappebti juga dapat menertibkan iklan-iklannya. Namun hal itu tidak dilakukan.

Dalam RDP tersebut belum terinfo dengan jelas. apa langkah konkret pemerintah (Bappebti) pasca penyegelan yang berkaitan dengan aspek perlindungan masyarakat. Padahal tujuan penyegelan adalah untuk melindungi masyarakat. Lantas, masyarakat mana yang ingin dilindungi? Anggota DPR Komisi VI sudah meminta Bappebti agar para member yang juga merupakan bagian dari masyarakat, dilindungi hak-haknya supaya dana mereka bisa kembali. Meski belum menyebutkan langkah konkret, Bappebti menyadari bahwa yang paling dirugikan dalam skema ponzi adalah para member yang paling bawah (yang tidak punya kaki alias downline). Dengan kata lain mereka yang hanya menjadi investor dan tidak menjalankan bisnisnya (member get member).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0848 seconds (0.1#10.140)