Serangan Rusia ke Ukraina, di Manakah Hukum Internasional?
loading...
A
A
A
Ogiandhafiz Juanda
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional dan HAM Universitas Nasional, Lulusan Master Bidang Hukum Internasional dan Keadilan Global dari Universitas Sheffield, UK
SENIN, 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin secara terbuka menyatakan perang terhadap Ukraina. Pernyataan tersebut langsung diikuti dengan serangan melalui darat, laut dan udara yang dilakukan oleh militer Rusia ke beberapa kota di wilayah Ukraina di hari yang sama.
Selama 8 tahun terakhir yaitu sejak 2014, Rusia dan Ukraina terjebak dalam situasi dan kondisi geopolitik yang sangat rumit. Hal tersebut kemudian bereskalasi menjadi konflik terbuka sebagaimana apa yang dapat kita lihat pada saat ini.
Dalam perspektif Moskow (Rusia), serangan ke wilayah Ukraina tersebut merupakan tindakan “solidaritas” dalam rangka mendukung kelompok yang ingin memisahkan diri dari Ukraina yaitu Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhanks. Dua Kelompok tersebut berada di dua wilayah yang bernama Donetsk dan Luhansk yang merupakan wilayah di timur Ukraina yang juga menjadi pusat konflik Rusia-Ukraina saat ini.
Secara kultural, dua provinsi tersebut memang lebih dekat dengan Rusia dibandingkan Ukraina. Dan, di wilayah tersebut juga terdapat banyak warga dan keturunan etnis Rusia dan etnis minoritas yang diduga oleh Rusia mengalami sejumlah bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Ukraina selama beberapa tahun terakhir. Sehingga Rusia merasa bahwa ada alasan yang cukup kuat untuk menjustifikasi serangannya kepada Ukraina.
Sebaliknya dalam kacamata Ukraina, serangan Rusia ke dalam wilayah negaranya tersebut merupakan aksi provokatif yang tidak memiliki dasar apapun. Negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet tersebut menilai bahwa apa yang dilakukan Rusia dengan menggunakan alasan kemanusiaan tersebut hanyalah sebagai upaya untuk menggangu kedaulatan, keutuhan dan integritas wilayah negaranya.
Akan tetapi, terlepas dari apapun faktor yang menjadi penyebab konflik antara dua negara, yang terpenting adalah bagaimana hukum internasional mengatur mengenai konflik bersenjata yang telah memakan banyak korban ini.
Aturan Main
Berdasarkan Laporan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina yang terjadi sejak 24 Februari 2022 ini telah menewaskan lebih dari 550 orang penduduk sipil Ukraina yang tidak bersalah.
Perang terbuka antara kedua negara ini juga telah menyebabkan lebih dari 2,5 juta penduduk Ukraina terpaksa mengungsi ke sejumlah negara tetangga, seperti Polandia, Rumania, Hungaria. Tidak hanya itu, konflik bersenjata ini juga telah menimbulkan kerusakan dalam skala besar pada sejumlah infrastruktur baik sipil maupun militer di wilayah Ukraina.
Dalam Hukum Internasional, konflik bersenjata yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini dikenal dengan istilah “konflik bersenjata internasional” yang secara spesifik menjadi bagian dari hukum humaniter internasional. Lahirnya ketentuan hukum humaniter internasional yang dulunya dikenal dengan istilah hukum perang (law of wars) ini berintikan pada perlindungan terhadap penduduk atau warga sipil yang tidak bersalah dari penderitaan yang tidak perlu (unneccessary suffering) atas terjadinya peperangan. Hal tersebut didasarkan pada fakta di lapangan bahwa sebagian besar korban akibat terjadinya konflik bersenjata merupakan penduduk sipil yang tidak bersalah yaitu perempuan, anak-anak dan orang tua.
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional dan HAM Universitas Nasional, Lulusan Master Bidang Hukum Internasional dan Keadilan Global dari Universitas Sheffield, UK
SENIN, 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin secara terbuka menyatakan perang terhadap Ukraina. Pernyataan tersebut langsung diikuti dengan serangan melalui darat, laut dan udara yang dilakukan oleh militer Rusia ke beberapa kota di wilayah Ukraina di hari yang sama.
Selama 8 tahun terakhir yaitu sejak 2014, Rusia dan Ukraina terjebak dalam situasi dan kondisi geopolitik yang sangat rumit. Hal tersebut kemudian bereskalasi menjadi konflik terbuka sebagaimana apa yang dapat kita lihat pada saat ini.
Dalam perspektif Moskow (Rusia), serangan ke wilayah Ukraina tersebut merupakan tindakan “solidaritas” dalam rangka mendukung kelompok yang ingin memisahkan diri dari Ukraina yaitu Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhanks. Dua Kelompok tersebut berada di dua wilayah yang bernama Donetsk dan Luhansk yang merupakan wilayah di timur Ukraina yang juga menjadi pusat konflik Rusia-Ukraina saat ini.
Secara kultural, dua provinsi tersebut memang lebih dekat dengan Rusia dibandingkan Ukraina. Dan, di wilayah tersebut juga terdapat banyak warga dan keturunan etnis Rusia dan etnis minoritas yang diduga oleh Rusia mengalami sejumlah bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Ukraina selama beberapa tahun terakhir. Sehingga Rusia merasa bahwa ada alasan yang cukup kuat untuk menjustifikasi serangannya kepada Ukraina.
Sebaliknya dalam kacamata Ukraina, serangan Rusia ke dalam wilayah negaranya tersebut merupakan aksi provokatif yang tidak memiliki dasar apapun. Negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet tersebut menilai bahwa apa yang dilakukan Rusia dengan menggunakan alasan kemanusiaan tersebut hanyalah sebagai upaya untuk menggangu kedaulatan, keutuhan dan integritas wilayah negaranya.
Akan tetapi, terlepas dari apapun faktor yang menjadi penyebab konflik antara dua negara, yang terpenting adalah bagaimana hukum internasional mengatur mengenai konflik bersenjata yang telah memakan banyak korban ini.
Aturan Main
Berdasarkan Laporan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina yang terjadi sejak 24 Februari 2022 ini telah menewaskan lebih dari 550 orang penduduk sipil Ukraina yang tidak bersalah.
Perang terbuka antara kedua negara ini juga telah menyebabkan lebih dari 2,5 juta penduduk Ukraina terpaksa mengungsi ke sejumlah negara tetangga, seperti Polandia, Rumania, Hungaria. Tidak hanya itu, konflik bersenjata ini juga telah menimbulkan kerusakan dalam skala besar pada sejumlah infrastruktur baik sipil maupun militer di wilayah Ukraina.
Dalam Hukum Internasional, konflik bersenjata yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini dikenal dengan istilah “konflik bersenjata internasional” yang secara spesifik menjadi bagian dari hukum humaniter internasional. Lahirnya ketentuan hukum humaniter internasional yang dulunya dikenal dengan istilah hukum perang (law of wars) ini berintikan pada perlindungan terhadap penduduk atau warga sipil yang tidak bersalah dari penderitaan yang tidak perlu (unneccessary suffering) atas terjadinya peperangan. Hal tersebut didasarkan pada fakta di lapangan bahwa sebagian besar korban akibat terjadinya konflik bersenjata merupakan penduduk sipil yang tidak bersalah yaitu perempuan, anak-anak dan orang tua.