Serangan Rusia ke Ukraina, di Manakah Hukum Internasional?

Kamis, 24 Maret 2022 - 17:50 WIB
loading...
Serangan Rusia ke Ukraina, di Manakah Hukum Internasional?
Ogiandhafiz Juanda (Foto: Ist)
A A A
Ogiandhafiz Juanda
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional dan HAM Universitas Nasional, Lulusan Master Bidang Hukum Internasional dan Keadilan Global dari Universitas Sheffield, UK

SENIN, 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin secara terbuka menyatakan perang terhadap Ukraina. Pernyataan tersebut langsung diikuti dengan serangan melalui darat, laut dan udara yang dilakukan oleh militer Rusia ke beberapa kota di wilayah Ukraina di hari yang sama.

Selama 8 tahun terakhir yaitu sejak 2014, Rusia dan Ukraina terjebak dalam situasi dan kondisi geopolitik yang sangat rumit. Hal tersebut kemudian bereskalasi menjadi konflik terbuka sebagaimana apa yang dapat kita lihat pada saat ini.

Dalam perspektif Moskow (Rusia), serangan ke wilayah Ukraina tersebut merupakan tindakan “solidaritas” dalam rangka mendukung kelompok yang ingin memisahkan diri dari Ukraina yaitu Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhanks. Dua Kelompok tersebut berada di dua wilayah yang bernama Donetsk dan Luhansk yang merupakan wilayah di timur Ukraina yang juga menjadi pusat konflik Rusia-Ukraina saat ini.

Secara kultural, dua provinsi tersebut memang lebih dekat dengan Rusia dibandingkan Ukraina. Dan, di wilayah tersebut juga terdapat banyak warga dan keturunan etnis Rusia dan etnis minoritas yang diduga oleh Rusia mengalami sejumlah bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Ukraina selama beberapa tahun terakhir. Sehingga Rusia merasa bahwa ada alasan yang cukup kuat untuk menjustifikasi serangannya kepada Ukraina.

Sebaliknya dalam kacamata Ukraina, serangan Rusia ke dalam wilayah negaranya tersebut merupakan aksi provokatif yang tidak memiliki dasar apapun. Negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet tersebut menilai bahwa apa yang dilakukan Rusia dengan menggunakan alasan kemanusiaan tersebut hanyalah sebagai upaya untuk menggangu kedaulatan, keutuhan dan integritas wilayah negaranya.

Akan tetapi, terlepas dari apapun faktor yang menjadi penyebab konflik antara dua negara, yang terpenting adalah bagaimana hukum internasional mengatur mengenai konflik bersenjata yang telah memakan banyak korban ini.

Aturan Main
Berdasarkan Laporan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina yang terjadi sejak 24 Februari 2022 ini telah menewaskan lebih dari 550 orang penduduk sipil Ukraina yang tidak bersalah.

Perang terbuka antara kedua negara ini juga telah menyebabkan lebih dari 2,5 juta penduduk Ukraina terpaksa mengungsi ke sejumlah negara tetangga, seperti Polandia, Rumania, Hungaria. Tidak hanya itu, konflik bersenjata ini juga telah menimbulkan kerusakan dalam skala besar pada sejumlah infrastruktur baik sipil maupun militer di wilayah Ukraina.

Dalam Hukum Internasional, konflik bersenjata yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini dikenal dengan istilah “konflik bersenjata internasional” yang secara spesifik menjadi bagian dari hukum humaniter internasional. Lahirnya ketentuan hukum humaniter internasional yang dulunya dikenal dengan istilah hukum perang (law of wars) ini berintikan pada perlindungan terhadap penduduk atau warga sipil yang tidak bersalah dari penderitaan yang tidak perlu (unneccessary suffering) atas terjadinya peperangan. Hal tersebut didasarkan pada fakta di lapangan bahwa sebagian besar korban akibat terjadinya konflik bersenjata merupakan penduduk sipil yang tidak bersalah yaitu perempuan, anak-anak dan orang tua.

Dengan kata lain bahwa hukum humaniter internasional tidak “dilahirkan” untuk melarang adanya peperangan. Karena para ahli hukum internasional sepakat bahwa perang adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan (inevitable) . Hukum humaniter internasional tersebut lebih dimaksudkan untuk dapat mengurangi akibat atau dampak yang muncul dari adanya peperangan. Sehingga perang tersebut kemudian tidak menjadi sebuah perang yang brutal dan tanpa batas.

Secara prinsip, seharusnya negara-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata, termasuk Rusia dan Ukraina menerima ketentuan dalam hukum humaniter internasional tersebut sebagai “aturan main”. Apalagi kedua negara tersebut merupakan negara yang turut meratifikasi sejumlah aturan hukum internasional yang berkaitan dengan hukum humaniter internasional, seperti 4 Konvensi Genewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.

Akan tetapi dalam praktiknya, perlindungan dan penghormatan terhadap penduduk sipil yang tidak bersalah ini sering kali terabaikan, atau sengaja diabaikan. Pengabaiann tersebut pada akhirnya menjadikan perang sebagai peperangan yang menghancurkan dan menimbulkan penderitaan yang luar biasa kepada penduduk sipil yang tidak bersalah.

Selanjutnya, sebagai pihak yang berkonflik, Rusia dan Ukraina juga memiliki kewajiban untuk dapat “membedakan” (distinction principle) antara objek militer dan objek sipil, termasuk antara kombatan dengan warga sipil.

Akan tetapi, tampak jelas bahwa dalam banyak contoh konflik bersenjata (termasuk yang sedang terjadi saat ini dalam serangan Rusia ke Ukraina), warga sipil dan infrastruktur sipil seperti rumah, apartemen, tempat ibadah dan rumah sakit sering kali menjadi target serangan yang disengaja dan hal tersebut tentu saja merupakan pelanggaran fundamental terhadap sejumlah aturan dan ketentuan dalam hukum internasional, khususnya hukum humaniter internasional.

"Uniting for Peace"
Selanjutnya, penting juga untuk melihat bagaimana hukum internasional mengatur mengenai penggunaan kekuatan bersenjata dalam sengketa internasional.

Aturan hukum internasional kontemporer yang paling umum tentang konflik bersenjata dapat ditemukan dalam Piagam PBB yang menjadi ketentuan umum yang mengatur Mengenai hubungan antara negara-negara di dunia.Dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB terdapat ketentuan yang sangat jelas menyebutkan bahwa setiap negara harusmenahan diri dalam hubungan internasional mereka dari penggunaan kekerasan atau kekuatan bersenjata terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lainnya.

Pengecualian terhadap ketentuan mengenai larangan penggunaan kekerasan atau kekuatan bersenjata tersebut diatur dalam pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata diperkenankan sepanjang dilakukan untuk melaksanakan hak pembelaan diri (right of self-defence), dan juga dapat dilakukan jika terdapat otorisasi dari Dewan Keamanan PBB dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Artinya, selain dua skenario tersebut, setiap negara di dunia dilarang untuk menggunakan kekerasan bersenjata terhadap negara lainnya, dan ketentuan tersebut harus dipegang teguh dan menjadi kewajiban serta mengikat semua negara anggota PBB.

Dengan kata lain, serangan Rusia terhadap Ukraina yang terjadi saat ini adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan merupakan pelanggaran yang serius terhadap norma dan ketentuan hukum internasional. Karena tidak ada hal yang relevan dan faktual yang telah dilakukan Ukraina hingga saat ini yang dapat ditafsirkan sebagai “serangan bersenjata” terhadap Rusia dan kemudian membenarkan klaim Rusia untuk “membela diri” sehingga menyerang Ukraina.

Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah siapa yang dapat menegakan aturan ketika ada pelanggaran terhadap aturan hukum internasional tersebut?

Dalam kasus ini, jawabannya tidak ada, dan disitulah letak keterbatasan hukum internasional. Artinya kepatuhan dan kesediaan negara-yang terlibat konflik untuk mematuhi aturan dan ketentuan hukum internasional tersebut adalah hal yang utama dan jalan satu-satunya saat ini.

Seharusnya Rusia dapat menggunakan cara-cara damai sebagaimana yang dinyatakan dengan tegas dalam pasal 2 ayat (3) dan pasal 33 Piagam PBB, dan meninggalkan kekerasan bersenjata sebagai pilihan kebijakan dan instrumen untuk menyelesaikan perselisihannya dengan Ukraina.

Dan, untuk mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina, Opsi Dewan Keamanan PBB yang memiliki tanggung jawab utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan pasal 24 piagam PBB menjadi tidak realistis untuk saat ini. Karena desain kelembagaan Dewan keamanan PBB menempatkan Rusia sebagai salah satu dari 5 pemilik kursi tetap di dewan keamanan PBB yang memegang hak veto atas rancangan resolusi apa pun nantinya.

Dan, sebagai gantinya, Majelis Umum PBB dapat “bertindak” melalui prosedur uniting for peace untuk membuat resolusi dan rekomendasi perdamaian.

Meskipun resolusi Majelis Umum PBB tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak akan berdampak langsung dalam mengakhiri perang. Akan tetapi, opsi ini memiliki arti yang sangat penting yang dapat menunjukkan apa yang menjadi keinginan atau aspirasi kolektif dari negara-negara anggota PBB terkait krisis Rusia-Ukraina. Dengan harapan bahwa Rusia mau untuk menghentikan serangannya, dan menjadikan perdamaian sebagai prioritas guna mengembalikan stabilitas kawasan dan hubungan internasional.

Selain itu, peran dan kontribusi negara-negara di dunia juga sangatlah vital untuk dapat membantu kedua negara yang berkonflik menuju meja perundingan. Hal itu dapat dilakukan dengan terus “mengaktifkan” semua pendekatan dan kekuatan diplomasi masing-masing negara sebagai wujud dari komitmen semua negara di dunia untuk secara aktif berkontribusi mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1930 seconds (0.1#10.140)