Katrok Ungkap Kejanggalan Penangkapan dan Pemeriksaan Ravio Patra
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok) mengungkap sejumlah kejanggalan dalam proses hukum terhadap Aktivis Ravio Patra. Ravio sudah dibebakan dengan status saksi pada Jumat (24/4/2020).
Perwakilan Katrok, Ade Wahyudin mengungkapkan tim penasihat hukum kesulitan menemukan keberadaan Ravio sejak beredar isu dirinya. Bahkan setelah diketahui Ravio berada di Polda Metro Jaya, tim kuasa hukum kesulitan untuk langsung mendampingi.
“Pihak kepolisian dari berbagai uni menyangkal Ravio berada di tempat mereka. Baru sekitar pukul 14.00 WIB (23 April), Polda Metro Jaya mengakui Ravia ada di Polda setelah melakukan konferensi pers,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (24/4/2020).
Tim kuasa hukum mencatat beberapa tindakan polisi yang tidak sesuai prosedur, antara lain, tidak bisa menunjukkan salinan surat penangkapan dan penggeledahan, adanya intimidasi kekerasan secara verbal, dan penyidik sempat menginformasikan surat penahanan sudah disiapkan padahal status Ravio masih saksi.
“Pihak penyidik di Sub Direktorat Keamanan Negara (Subdit Kamneg) menyatakan bahwa yang mereka lakukan pada Ravio bukan penangkapan tetapi pengamanan. Padahal, pengamanan tidak dikenal di dalam hukum acara pidana dan Ravio sudah ditangkap lebih dari 1x24 jam saat itu,” jelas Ade.
Kejanggalan lain, status hukum Ravio berubah-ubah. Ravio sempat menjakani pemeriksaaan sebagai tersangka. Namun,status itu perubahan pada pemeriksaan pukul 10.00-17.00 WIB pada 23 April menjadi saksi.
Ade mengatakan penyidik telah mengakses data kontrak kerja dan catatan pengelolaan keuangan pribadi. Dia mengungkapkan penyisik mengubah kata sandi email tanpa persetujuan Ravio. Berkas-bekas itu tidak ada kaitannya dengan dugaan tindak pindana yang dituduhkan pada Ravio.
Penyidik, menurut Ade, tidak konsisten dalam menerapkan pasal yang dituduhkan. Penyidik sempat menggunakan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik. Pasal itu tentang berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Kemudian, penyidik mengubah ke Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian atau permusuhaan individu dan kelompok masyarakat berdasarkan SARA. Dalam pemeriksaan itu polisi menyita dua laptop dan dua ponsel pintar. Awalnya, polisi ingin menyita kartu tanda penduduk dan email Ravio.
Katrok menduga peretasan terhadap WhatsApp dan penangkapan Ravio terkait dengan kritik-kritiknya di media daring dan sosial. Kritik terakhirnya, terkait kinerja dan konflik kepentingan Stafsus “Milenial” Presiden, serta pengelolaan data korban COVID-19.
Katrok mendesak presiden bertindak tegas untuk menghentikan tindakan terror dan refresif kepada warga negara yang kritis. Polisi harus menghentikan kasus dan tuduhan terhadap Ravio. Juga menangkap peretas dan penyebar berita bohong lewat nomor WhatsApp Ravio.
“Praktek teror dan represif ini sangat berbahaya. Bukan hanya mengancam Ravio, tapi bisa dikenakan kepada siapapun yang kritis dan menyuarakan pendapat,” pungkas Ade.
Perwakilan Katrok, Ade Wahyudin mengungkapkan tim penasihat hukum kesulitan menemukan keberadaan Ravio sejak beredar isu dirinya. Bahkan setelah diketahui Ravio berada di Polda Metro Jaya, tim kuasa hukum kesulitan untuk langsung mendampingi.
“Pihak kepolisian dari berbagai uni menyangkal Ravio berada di tempat mereka. Baru sekitar pukul 14.00 WIB (23 April), Polda Metro Jaya mengakui Ravia ada di Polda setelah melakukan konferensi pers,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (24/4/2020).
Tim kuasa hukum mencatat beberapa tindakan polisi yang tidak sesuai prosedur, antara lain, tidak bisa menunjukkan salinan surat penangkapan dan penggeledahan, adanya intimidasi kekerasan secara verbal, dan penyidik sempat menginformasikan surat penahanan sudah disiapkan padahal status Ravio masih saksi.
“Pihak penyidik di Sub Direktorat Keamanan Negara (Subdit Kamneg) menyatakan bahwa yang mereka lakukan pada Ravio bukan penangkapan tetapi pengamanan. Padahal, pengamanan tidak dikenal di dalam hukum acara pidana dan Ravio sudah ditangkap lebih dari 1x24 jam saat itu,” jelas Ade.
Kejanggalan lain, status hukum Ravio berubah-ubah. Ravio sempat menjakani pemeriksaaan sebagai tersangka. Namun,status itu perubahan pada pemeriksaan pukul 10.00-17.00 WIB pada 23 April menjadi saksi.
Ade mengatakan penyidik telah mengakses data kontrak kerja dan catatan pengelolaan keuangan pribadi. Dia mengungkapkan penyisik mengubah kata sandi email tanpa persetujuan Ravio. Berkas-bekas itu tidak ada kaitannya dengan dugaan tindak pindana yang dituduhkan pada Ravio.
Penyidik, menurut Ade, tidak konsisten dalam menerapkan pasal yang dituduhkan. Penyidik sempat menggunakan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik. Pasal itu tentang berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Kemudian, penyidik mengubah ke Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian atau permusuhaan individu dan kelompok masyarakat berdasarkan SARA. Dalam pemeriksaan itu polisi menyita dua laptop dan dua ponsel pintar. Awalnya, polisi ingin menyita kartu tanda penduduk dan email Ravio.
Katrok menduga peretasan terhadap WhatsApp dan penangkapan Ravio terkait dengan kritik-kritiknya di media daring dan sosial. Kritik terakhirnya, terkait kinerja dan konflik kepentingan Stafsus “Milenial” Presiden, serta pengelolaan data korban COVID-19.
Katrok mendesak presiden bertindak tegas untuk menghentikan tindakan terror dan refresif kepada warga negara yang kritis. Polisi harus menghentikan kasus dan tuduhan terhadap Ravio. Juga menangkap peretas dan penyebar berita bohong lewat nomor WhatsApp Ravio.
“Praktek teror dan represif ini sangat berbahaya. Bukan hanya mengancam Ravio, tapi bisa dikenakan kepada siapapun yang kritis dan menyuarakan pendapat,” pungkas Ade.
(kri)