Menggapai Keadilan Restoratif

Rabu, 16 Maret 2022 - 14:09 WIB
loading...
Menggapai Keadilan Restoratif
Romli Atmasasmita (Foto: Ist)
A A A
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran

TIGA kosakata yang menjadi judul artikel ini hanya diketahui mereka yang berpendidikan hukum. Akan tetapi tidak ada salahnya diketahui pula oleh masyarakat awam hukum. Mengapa? Dalam kosa kata tersebut terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana telah dicantumkan di dalam Mukadimah Konstitusi UUD 45. Nilai kemanusiaan yang bersifat universal itulah penyebab mengapa ketiga kosakata dalam lingkup hukum perlu diketahui oleh mereka yang awam hukum, terutama lagi mereka yang tidak awam hukum, sebagai pengingat bahwa di dalam diri Anda masih terdapat nilai-nilai nonhukum akan tetapi bersifat abadi (eternal) dan mulia daripada nilai hukum yang tampak mulia akan tetapi senyatanya dalam praktik menyentuh kemanusiaan kita semua.

Berangkat dari preposisi bahwa objek hukum tidak sekadar apa yang tertulis di dalam undang-undang, akan tetapi juga ia terseret unsur manusia sebagai subjek yang masih memiliki hak untuk hidup dan memperoleh kehidupan yang layak; sekalipun dalam status tersangka, terdakwa ataupun terpidana. Maka itu masalah hukum tidak terbatas pada apa yang diwajiban akan tetapi apa yang seharusnya dilakukan secara pantas dan adil tanpa paksaan. Yang penting lagi dalam mendalami masalah hukum bukan apa yang seharusnya akan tetapi yang sebenarnya karena yang pantas dan layak secara hukum belum berarti yang sebenarnya. Itulah keunikan hukum pada umumya, khusus hukum dan praktik yang hidup di Indonesia.

Ketiga kosakata dalam judul di atas, sejatinya merupakan kenyataan yang terjadi ketika peranan hukum dikedepankan dan disalahgunakan kewenangan untuk menegakannya. Peristiwa tersebut merupakan pertanda bahwa hukum telah memperlakukan manusia sebagai objek bukan diakui sebagai subjek. Contoh, perkara pembagian harta waris bisa berakhir di pengadilan pidana di mana salah satu atau dua dari ahli waris menjadi tersangka, selanjutnya terpidana tanpa pemaafan atau alasan untuk menghapuskan pidana dan berakhir tragis ketika sang ahli waris menderita dan meninggal dunia di dalam penjara. Apakah yang terbaca bahwa semua norma di dalam undang-undang tidak sebaik apa yang tampak di lapangan; transaksi jual beli tanah saat ini sering berakhir di pengadilan baik pengadilan perdata maupun pidana. Keberhasilan bagi para pihak di pengadilan perdata bukan akhir dari masalah yang dihadapi melainkan awal dari perjuang di pengadilan pidana. Fakta ini bukan barang baru akan tetapi fakta sosial juga fakta hukum.

Dalam konteks daur ulang perkara ini, maka terjadilah apa yang disebut overkriminalisasi, overpenalisasi dan terakhir berakhir di lapas dengan hunian overkapsitas. Setelah pembaca mengetahui masalah hukum dalam praktik bagaimana solusi dari masalah tersebut. Mengapa kita, terutama ahli hukum dan praktisi hukum harus menanggapi serius masalah ini disebabkan pandangan Oliver Wendell Holmes, seorang hakim pembantu (associate judges) dari Mahkamah Agung AS, mengatakan dengan pujian yang tiada terhingga, bahwa “The law is the witness and external deposit of our moral life. Its history is the history of the moral development of the race”. Perasaan kita sebagai ahli hukum terenyuh ketika dinyatakan bahwa hukum itu saksi dan deposit dari kehidupan moral kita dan sejarah daripadanya adalah sejarah perkembangan moral suatu bangsa.

Dalam hal ini, kita teringat pada Pancasila yang bukan hanya sumber hukum dari segala sumber hukum melainkan merupakan sumber peradaban bangsa Indonesi termasuk dalam bidang hukum dan penegakan hukum. Di dalam konteks kehidupan hukum dalam kehidupan masyarakat, di sekeliling kita, maka niat baik petinggi hukum mengenai penerapan restorative justice (RJ) seperti layaknya setitik air di padang pasir. Kejaksaan telah melakukan RJ sebanyak 13 kasus dan Polri telah melaksanakan proses restoratif sebanyak 12.754 kasus selama Januari hingga Desember 2021. Sekalipun masih terbatas dengan parameter nilai perkara akan tetapi menandakan sinyal baru permulaan era baru politik hukum yang tidak lagi berbasis asas lex talionis restorative justice atau keadilan restoratif, keadilan pemulihan bukan keadilan pembalasan.

Kemanfaatan upaya menemukan keadilan restoratif merupakan pembalikan sejarah penegakan hukum pidana di Indonesia menuju cita-cita keadilan hukum yang sejalan dengan Pancasila yang bukan saja sumber dari segala sumber hokum, melainkan ideologi bangsa dan filosofi bangsa Indonesia. Harapan di masa mendatang keadilan restoratif juga diterapkan terhadap kasus pidana yang besar namun memberikan kontribusi bagi negara yang lebih besar daripada penghukuman yang tidak memberikan efek sosial ekonomi masyarakat. Berdasarkan politik hukum pidana keadilan restoratif dengan mengedepankn fungsi dan peranan hukum lebih baik berdasarkan prinsip maksimisasi, keseimbangan dan efisiensi dengan tujuan mencapai kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

Pendidikan awal ilmu hukum dimulai dengan pembedaan antara norma hukum tertulis dan tidak tertulis atau dikenal juga hukum kebiasaan dan hukum adat masyarakat setempat. Politik hukum pidana nasional yang telah dirampungkan dalam RUU KUHP 2019 telah mengakui keberadaan hukum adat dan hukum kebiasaan yang lebih berani dan maju, yaitu dengan memasukkan ketentuan hukum adat dan kebiasaan dan diakui sebagai bagian dari hukum tertulis, bahkan pengakuan akan kedudukan hukum tersebut sejajar dengan hukum tertulis yang telah ada dan berlaku. Contoh ketentuan Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP menyatakan, bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Dan, ayat (2) menyatakan bahwa, “berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Kedua ayat dalam ketentuan tersebut telah menampakkan kemajuan pemikiran mengenai hak-hak asasi masyarakat adat yang disejajarkan dengan ketentuan hukum tertulis, dan terdapat pemikiran maju bahwa, pandangan positivisme hukum yang berasaskan lex talionis mulai ditinggalkan.

Perubahan besar dalam perkembangan hukum pidana tersebut sepatutnya diketahui seluruh masyarakat di Indonesia terutama masyarakat hukum dan praktisi hukum. Harapan penulis bahwa masih terdapat hukum adat atau kebiasaan baik yang masih hidup sampai saat ini ketika hukum nasional yang berorientasi barat dengan budaya baratnya berkembang pesat dan telah membudaya di bumi Indonesia. Harapan ini bukan tanpa alasan karena saat ini guru besar hukum adat dan peneliti hukum adat sudah sangat langka karena tergerus oleh mimpi indah kapitalisme dan liberalisme. Sedangkan jarang diketahui orang bahwa, konsep kontrak bagi hasil dalam pengelolaan minyak bumi kita dipengaruhi oleh hukum adat mengenai bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap dikenal dengan maro atau mertelu. Demikian pula akar budaya masyarakat Indonesia, asas musyawarah dan mufakat yang berakhir perdamaian juga telah diambil alih bangsa barat, dikenal dengan arbitrase atau restorative justice.

Penelitian Braithwaite mengenai budaya musyawarah dan perdamaian di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, Pela Gendong di Maluku dan kebiasaan masyarakat di kepulauan Pasifik menjadi suatu konsep yang dikenal dengan restorative justice; adalah merupakan nilai budaya masyarakat kita yang kemudian diambil dan menjadi konsep “baru” dalam kahasanah ilmu pengetahuan hukum. Untuk mencerahkan masyarakat hukum dan generasi hukum ke depan perlu meningkatkan kegiatan penelitian hukum adat yang cocok dengan perkembangan masyarakat masa sekarang. Kalau bisa sampai ditemukan konsep-konsep hukum baru yang benar-benar Indonesia.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1691 seconds (0.1#10.140)