Keuangan Digital yang Adil bagi Konsumen
loading...
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
"...konsumen adalah ekonomi terbesar yang dapat memengaruhi dan juga sangat terpengaruh oleh hampir semua keputusan ekonomi publik dan swasta namun pandangannya sering tidak didengar..", demikian petikan pidato Presiden Amerika Serikat Jhon F. Kennedy, di depan Kongres Amerika, pada 15 Maret 1962. Pidato tersebut kemudian menjadi tonggak sejarah lahirnya Hari Hak Konsumen Sedunia (World Consumer Rihgt Day), pada 15 Maret.
Momen pidato Jhon F. Kennedy tersebut ini diperingati oleh seluruh masyarakat konsumen di dunia. Terdapat 4 (empat) hak dasar konsumen yang dicetuskan oleh Presiden Jhon F. Kennedy tersebut, yaitu: hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk memilih, hak untuk memperoleh informasi, dan hak untuk didengar pendapatnya.
Consumer Internasional (CI), sebagai aliansi lembaga konsumen di dunia, menetapkan bahwa tema peringatan WCRD pada 2022 adalah "Fair Digital Financial". Sebagai anggota penuh (full member) CI sejak 1974, YLKI melihat bahwa tema tersebut sangat relevan untuk memotret konteks kekinian dan permasalahan konsumen jasa finansial di Indonesia. Mengingat atmosfer keuangan digital di Indonesia belum terwujud adanya sistem keuangan digital yang adil, baik dari sisi regulasi, sisi implementasi dan pengawasan, dan terutama dari sisi literasi dan keberdayaan konsumen. Secara lebih konkret, isu-isu keuangan digital di Indonesia meliputi beberapa isu krusial, antara lain: pertama, masih lemahnya tingkat literasi digital konsumen. Fenomena ini berdampak terhadap perilaku konsumen dalam bertransaksi di sektor finansial digital. Konsumen tidak memahami substansi perjanjian dan ketentuan yang berlaku dalam kontrak perjanjian keuangan digital. Bahkan tidak membacanya. Kedua, masih lemahnya pengawasan oleh regulator (terutama Otoritas Jasa Keuangan atau OJK) terhadap performa sektor platfom finansial digital. Ketiga, masih lemahnya sektor pelaku usaha platform finansial digital dalam mengedukasi masyarakat dan konsumen.
Faktor-faktor tersebut berdampak terhadap konsumen dalam bertransaksi dengan platform digital finansial, baik sektor perbankan dan atau nonbank. Konsumen tidak/kurang membaca ketentuan ketentuan pada perjanjian srandar yang ditetapkan oleh platfom digital finansial dimaksud. Apalagi dalam perjanjian tersebut sering terdapat unsur klausula baku (yang diselundupkan), yang sangat berpotensi merugikan konsumen. Dampaknya, keluhan dan pengaduan konsumen yang menjadi "korban" sektor finansial digital masih sangat tinggi. Data pengaduan konsumen di YLKI terkait sektor finansial digital mencapai 51% dari total komoditas pengaduan, selama 5 (lima) tahun terakhir; meliputi masalah perbankan, uang digital, pinjaman online, dan juga leasing. Dalam konteks ini yang mengharu-biru adalah persoalan finansial teknologi atau yang lazim disebut pinjaman online (pinjol). Masalah pinjol ini menjadi sangat krusial dikarenakan pinjaman online ilegal. Pengaduan terkait pinjol ilegal bukan hanya soal keperdataan saja, tapi sudah meluas menjadi persoalan pidana. Dan, ironisnya negara seperti tak berdaya menghadapi keberadaan pinjol ilegal tersebut.
Selain itu, masalah keuangan digital juga tak bisa dipisahkan dengan persoalan perlindungan data pribadi konsumen sebagai nasabah. Transaksi keuangan digital praktis bermuara pada penyerahan data pribadi milik konsumen. Dalam hal ini, di satu sisi konsumen masih begitu gampang menyerahkan data pribadinya, dan di sisi lain pihak platfom keuangan digital belum memberikan jaminan keamanan terhadap data pribadi milik konsumen tersebut. Klimaksnya hal ini akan memicu penyalahgunaan data pribadi konsumen, baik untuk kepentingan komersial atapun kepentingan lainnya, tanpa seizin konsumen. Belum lagi masih sering terjadinya kebocoran pada sistem platfom digital tersebut. Aspek kehati-hatian konsumen seperti tak ada artinya.
Lalu dengan cara dan strategi apa agar persoalan keuangan digital yang adil ini bisa melindungi konsumen?
Untuk mewujudkan sistem keuangan digital yang adil, langkah yang paling ideal adalah meningkatkan literasi digital dan literasi finanansial konsumen. Dalam hal ini, regulator (OJK), pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha, bertanggungjawab untuk meningkatkan literasi keuangan digital konsumen. Apalagi secara makro indeks keberdayaan konsumen Indonesia juga masih dalam posisi yang belum ideal, karena baru pada level "mampu", dengan skor 41,47 (2021).
Dari sisi regulasi terkait perlindungan data pribadi, yang paling urgen adalah pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Ironisnya, Komisi I DPR bersama Kementerian Kominfo belum ada titik temu, sehingga RUU PDP masih mangkrak hingga sekarang. Entah musabab apa sehingga Komisi I DPR seperti kurang energi untuk percepatan pengesahan RUU PDP. Mungkin DPR perlu "multivitamin" untuk mem-boost pengesahan RUU PDP dimaksud.
Last but not least, hal yang tak boleh dilupakan juga adalah kuatnya pengawasan oleh regulator. Sebab tak bisa dimungkiri bahwa lemahnya pengawasan menjadi salah satu musabab utama masih tingginya pengaduan konsumen di bidang keuangan digital. Pemerintah tak bisa hanya melambungkan soal potensi tingginya kontribusi keuangan digital pada perekonomian digital, tetapi masih abai dengan pengawasan dan kemudian konsumen menjadi korbannya. Jika poin poin tersebut tidak bisa dipenuhi, maka terwujudnya keuangan digital yang adil bagi konsumen menjadi hal yang mustahil.
Selamat merayakan Hari Hak Konsumen Sedunia. Konsumen adalah pilar terpenting dalam sistem perekonomian nasional dan global.
Ketua Pengurus Harian YLKI
"...konsumen adalah ekonomi terbesar yang dapat memengaruhi dan juga sangat terpengaruh oleh hampir semua keputusan ekonomi publik dan swasta namun pandangannya sering tidak didengar..", demikian petikan pidato Presiden Amerika Serikat Jhon F. Kennedy, di depan Kongres Amerika, pada 15 Maret 1962. Pidato tersebut kemudian menjadi tonggak sejarah lahirnya Hari Hak Konsumen Sedunia (World Consumer Rihgt Day), pada 15 Maret.
Momen pidato Jhon F. Kennedy tersebut ini diperingati oleh seluruh masyarakat konsumen di dunia. Terdapat 4 (empat) hak dasar konsumen yang dicetuskan oleh Presiden Jhon F. Kennedy tersebut, yaitu: hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk memilih, hak untuk memperoleh informasi, dan hak untuk didengar pendapatnya.
Consumer Internasional (CI), sebagai aliansi lembaga konsumen di dunia, menetapkan bahwa tema peringatan WCRD pada 2022 adalah "Fair Digital Financial". Sebagai anggota penuh (full member) CI sejak 1974, YLKI melihat bahwa tema tersebut sangat relevan untuk memotret konteks kekinian dan permasalahan konsumen jasa finansial di Indonesia. Mengingat atmosfer keuangan digital di Indonesia belum terwujud adanya sistem keuangan digital yang adil, baik dari sisi regulasi, sisi implementasi dan pengawasan, dan terutama dari sisi literasi dan keberdayaan konsumen. Secara lebih konkret, isu-isu keuangan digital di Indonesia meliputi beberapa isu krusial, antara lain: pertama, masih lemahnya tingkat literasi digital konsumen. Fenomena ini berdampak terhadap perilaku konsumen dalam bertransaksi di sektor finansial digital. Konsumen tidak memahami substansi perjanjian dan ketentuan yang berlaku dalam kontrak perjanjian keuangan digital. Bahkan tidak membacanya. Kedua, masih lemahnya pengawasan oleh regulator (terutama Otoritas Jasa Keuangan atau OJK) terhadap performa sektor platfom finansial digital. Ketiga, masih lemahnya sektor pelaku usaha platform finansial digital dalam mengedukasi masyarakat dan konsumen.
Faktor-faktor tersebut berdampak terhadap konsumen dalam bertransaksi dengan platform digital finansial, baik sektor perbankan dan atau nonbank. Konsumen tidak/kurang membaca ketentuan ketentuan pada perjanjian srandar yang ditetapkan oleh platfom digital finansial dimaksud. Apalagi dalam perjanjian tersebut sering terdapat unsur klausula baku (yang diselundupkan), yang sangat berpotensi merugikan konsumen. Dampaknya, keluhan dan pengaduan konsumen yang menjadi "korban" sektor finansial digital masih sangat tinggi. Data pengaduan konsumen di YLKI terkait sektor finansial digital mencapai 51% dari total komoditas pengaduan, selama 5 (lima) tahun terakhir; meliputi masalah perbankan, uang digital, pinjaman online, dan juga leasing. Dalam konteks ini yang mengharu-biru adalah persoalan finansial teknologi atau yang lazim disebut pinjaman online (pinjol). Masalah pinjol ini menjadi sangat krusial dikarenakan pinjaman online ilegal. Pengaduan terkait pinjol ilegal bukan hanya soal keperdataan saja, tapi sudah meluas menjadi persoalan pidana. Dan, ironisnya negara seperti tak berdaya menghadapi keberadaan pinjol ilegal tersebut.
Selain itu, masalah keuangan digital juga tak bisa dipisahkan dengan persoalan perlindungan data pribadi konsumen sebagai nasabah. Transaksi keuangan digital praktis bermuara pada penyerahan data pribadi milik konsumen. Dalam hal ini, di satu sisi konsumen masih begitu gampang menyerahkan data pribadinya, dan di sisi lain pihak platfom keuangan digital belum memberikan jaminan keamanan terhadap data pribadi milik konsumen tersebut. Klimaksnya hal ini akan memicu penyalahgunaan data pribadi konsumen, baik untuk kepentingan komersial atapun kepentingan lainnya, tanpa seizin konsumen. Belum lagi masih sering terjadinya kebocoran pada sistem platfom digital tersebut. Aspek kehati-hatian konsumen seperti tak ada artinya.
Lalu dengan cara dan strategi apa agar persoalan keuangan digital yang adil ini bisa melindungi konsumen?
Untuk mewujudkan sistem keuangan digital yang adil, langkah yang paling ideal adalah meningkatkan literasi digital dan literasi finanansial konsumen. Dalam hal ini, regulator (OJK), pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha, bertanggungjawab untuk meningkatkan literasi keuangan digital konsumen. Apalagi secara makro indeks keberdayaan konsumen Indonesia juga masih dalam posisi yang belum ideal, karena baru pada level "mampu", dengan skor 41,47 (2021).
Dari sisi regulasi terkait perlindungan data pribadi, yang paling urgen adalah pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Ironisnya, Komisi I DPR bersama Kementerian Kominfo belum ada titik temu, sehingga RUU PDP masih mangkrak hingga sekarang. Entah musabab apa sehingga Komisi I DPR seperti kurang energi untuk percepatan pengesahan RUU PDP. Mungkin DPR perlu "multivitamin" untuk mem-boost pengesahan RUU PDP dimaksud.
Last but not least, hal yang tak boleh dilupakan juga adalah kuatnya pengawasan oleh regulator. Sebab tak bisa dimungkiri bahwa lemahnya pengawasan menjadi salah satu musabab utama masih tingginya pengaduan konsumen di bidang keuangan digital. Pemerintah tak bisa hanya melambungkan soal potensi tingginya kontribusi keuangan digital pada perekonomian digital, tetapi masih abai dengan pengawasan dan kemudian konsumen menjadi korbannya. Jika poin poin tersebut tidak bisa dipenuhi, maka terwujudnya keuangan digital yang adil bagi konsumen menjadi hal yang mustahil.
Selamat merayakan Hari Hak Konsumen Sedunia. Konsumen adalah pilar terpenting dalam sistem perekonomian nasional dan global.
(bmm)