Aliansi Kebangsaan Ingatkan Daya Beli Nasional Harus Dikelola dengan Baik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengingatkan bahwa daya beli nasional (domestic purchasing power) harus dikeloka dengan baik oleh negara. Sebab, daya beli masyarakat dan pemerintah menjadi salah satu instrumen memperjuangkan kepentingan nasional.
Menurut Pontjo, penggunaan kekuatan daya beli nasional telah dilakukan oleh hampir semua negara di dunia. Sebut saja Amerika Serikat. Selama periode pemerintahan Presiden Donald Trump (2017-2021), Amerika menerapkan kebijakan America First dengan aturan turunannya buy American and hire American.
"Kebijakan Trump ini dibuat untuk melindungi kepentingan nasionalnya terutama kepentingan para pekerja dan keluarga Amerika untuk meningkatkan kesejahteraan," kata Pontjo dalam FGD bertema Daya Beli Nasional/Domestic Purchasing Power untuk Mengembangkan Knowledge Based Economy) yang digelar secara virtual, Rabu (9/3/2022).
Diskusi serial ini merupakan hasil kerja sama Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan surat kabar harian.
Indonesia sebenarnya telah mulai melakukan perlindungan terhadap daya beli nasional. Salah satu kebijakannya adalah menerapkan kebijakan substitusi impor 35% atau setara dengan Rp152 triliun di 2022 untuk mengurangi ketergantungan impor, sekaligus mendorong penguatan struktur industri dalam negeri. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai salah satu instrumen pengendalian impor untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri tumbuh dan berkembang guna meningkatkan daya saing bertarung di persaingan 4 global.
Niat pemerintah melalui kebijakan ini untuk meningkatkan nilai tambah domestik pada industri ini, lanjut Pontjo, layak diapresiasi. Namun ia mengingatkan bahwa kebijakan substitusi impor yang mendapat proteksi dengan berbagai pengaturan (lisensi, pengenaan tariff maupun hambatan nontarif), tidak mustahil program ini akan menjadi incaran pemodal pemburu rente yang tentu akan merugikan kepentingan nasional kita.
Baca juga: Bahaya Resesi Makin Nyata, Ungkit Lagi Daya Beli
"Oleh karena itu, strategi pencapaian target substitusi impor tersebut perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam pengalokasiaan sumber daya," katanya.
Dalam pengelolaan daya beli nasional, diakui Pontjo, Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan, baik menyangkut kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dan lainnya. Persoalan paling besar adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dalam bidang perekonomian/perdagangan di berbagai sektor.
Dari pengalaman beberapa negara yang maju dalam pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan, kartel dan mafia seperti ini hanya bisa dilawan dengan penguasaan teknologi, sehingga ruang dan waktu geraknya dapat diperkecil. Pengembangan teknologi harus didorong dengan pengelolaan daya beli nasional secara bijak dan tepat.
Menurut Pontjo, penggunaan kekuatan daya beli nasional telah dilakukan oleh hampir semua negara di dunia. Sebut saja Amerika Serikat. Selama periode pemerintahan Presiden Donald Trump (2017-2021), Amerika menerapkan kebijakan America First dengan aturan turunannya buy American and hire American.
"Kebijakan Trump ini dibuat untuk melindungi kepentingan nasionalnya terutama kepentingan para pekerja dan keluarga Amerika untuk meningkatkan kesejahteraan," kata Pontjo dalam FGD bertema Daya Beli Nasional/Domestic Purchasing Power untuk Mengembangkan Knowledge Based Economy) yang digelar secara virtual, Rabu (9/3/2022).
Diskusi serial ini merupakan hasil kerja sama Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan surat kabar harian.
Indonesia sebenarnya telah mulai melakukan perlindungan terhadap daya beli nasional. Salah satu kebijakannya adalah menerapkan kebijakan substitusi impor 35% atau setara dengan Rp152 triliun di 2022 untuk mengurangi ketergantungan impor, sekaligus mendorong penguatan struktur industri dalam negeri. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai salah satu instrumen pengendalian impor untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri tumbuh dan berkembang guna meningkatkan daya saing bertarung di persaingan 4 global.
Niat pemerintah melalui kebijakan ini untuk meningkatkan nilai tambah domestik pada industri ini, lanjut Pontjo, layak diapresiasi. Namun ia mengingatkan bahwa kebijakan substitusi impor yang mendapat proteksi dengan berbagai pengaturan (lisensi, pengenaan tariff maupun hambatan nontarif), tidak mustahil program ini akan menjadi incaran pemodal pemburu rente yang tentu akan merugikan kepentingan nasional kita.
Baca juga: Bahaya Resesi Makin Nyata, Ungkit Lagi Daya Beli
"Oleh karena itu, strategi pencapaian target substitusi impor tersebut perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam pengalokasiaan sumber daya," katanya.
Dalam pengelolaan daya beli nasional, diakui Pontjo, Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan, baik menyangkut kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dan lainnya. Persoalan paling besar adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dalam bidang perekonomian/perdagangan di berbagai sektor.
Dari pengalaman beberapa negara yang maju dalam pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan, kartel dan mafia seperti ini hanya bisa dilawan dengan penguasaan teknologi, sehingga ruang dan waktu geraknya dapat diperkecil. Pengembangan teknologi harus didorong dengan pengelolaan daya beli nasional secara bijak dan tepat.