Pandemi vs Endemi

Kamis, 10 Maret 2022 - 13:54 WIB
loading...
Pandemi vs Endemi
Iqbal Mochtar (Foto: Ist)
A A A
Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Pengurus Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional

INFORMASI tentang endemi bersirkulasi. Narasinya, pandemi akan segera bermetamorfosis menjadi endemi. Sebagian ahli sangat optimistis dengan kemungkinan ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberi sinyal mendukung; kata mereka, fase akut pandemi mungkin dapat berakhir tahun ini. Masyarakat pun antusias menyambut narasi ini. Seolah-olah Covid-19 akan segera enyah dan manusia akan menjalani kehidupan normal kembali.

Sepanjang sejarah, tidak ada pandemi yang berlangsung sangat lama. Paling tinggi 2-4 tahun. Kalau kelamaan, umat manusia akan musnah. Pandemi ada ending-nya. Cuma ending-nya bisa lewat skenario berbeda.

Skenario pertama, kuman penyebab pandemi benar-benar hilang di muka bumi. Totally eliminated. Tidak ada tersisa. Istilahnya, tereradikasi. Eradikasi kuman hanya bisa terjadi bila saat wabah muncul, segera dilakukan penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan komprehensif. Dengan ini, transmisi kuman menjadi terbatas, terkontrol, dan akhirnya musnah. Ebola dan smallpox adalah contoh wabah yang telah tereradikasi di muka bumi. Makanya, saat ini sudah tidak ditemukan lagi kasus Ebola dan smallpox.

Skenario kedua, kuman tidak hilang, tetapi sudah dapat dikontrol. Kuman tetap ada dan menimbulkan kasus. Namun, kasus yang terjadi relatif stabil jumlahnya dan tidak meroket lagi. Penekanan di sini adalah stabilnya jumlah kasus. Penyebaran kuman bisa hilang timbul di berbagai tempat atau scattered. Dengan stabilnya jumlah kasus, jumlah kematian pun tidak meroket. Ini yang disebut endemi. Endemi terjadi bila penatalaksanaan yang dilakukan tidak mampu menahan transmisi kuman. Kuman telanjur menyebar ke semua tempat; sudah sulit untuk menghentikannya. Apa pun dilakukan, tidak akan menghilangkan kuman. Skenario endemi ini paling mungkin menjadi ending pandemi saat ini. Covid-19 tidak akan pernah hilang, tetapi status pandemi akan bermetamorfosis menjadi endemi.

Bila jumlah kasus sudah stabil, seperti pada endemi, apakah itu artinya kehidupan manusia sudah akan aman? Jawabannya, tidak mesti iya. Stabilnya jumlah kasus bukan berarti kasus dan kematian sudah tidak ada atau sudah sangat minim. Influenza, tuberkulosis, dan malaria adalah contoh tiga penyakit endemi. Ketiga penyakit ini telah bersirkulasi lama dalam kehidupan manusia, tetapi tetap tidak hilang-hilang. Mereka telah menjadi bagian kehidupan manusia. Dilematisnya, bahkan belum ada tanda-tanda penyakit-penyakit ini “melunak”. Mereka bahkan menjadi beban kronis sistem kesehatan. Tuberkulosis, misalnya, walaupun sifatnya endemi, tetap membunuh 1,5 juta orang pada 2018. Angka ini lebih tinggi daripada kematian kecelakaan lalu lintas global yang berkisar 1,3 juta per tahun. Penyakit endemi lain, yaitu malaria, pada tahun yang sama menginfeksi 228 juta orang dan menyebabkan 405.000 kematian. Influenza sendiri pada tingkat global menyebabkan 250-500.000 kematian per tahun. Pesan yang disampaikan jelas bahwa berubahnya status pandemi menjadi endemi bukan jaminan kasus dan kematian akan menjadi sangat minim atau bahkan tidak ada.

Bila Covid-19 menjadi endemi, bagaimana magnitude kasus dan kematiannya? Jujur, sulit memprediksinya karena virus Covid-19 bersifat novel dan terlalu banyak determinannya. Sebagian ahli memprediksi dan berharap magnitude-nya paling tinggi menyerupai influenza; jangan melebihi influenza. Saat ini, influenza menyebabkan 3-5 juta kasus berat dan 300-600.000 kematian setiap tahun. Di Amerika saja, 9-41 juta orang terserang influenza dan 12-52.000 orang meninggal setiap tahun. Secara kasar, angka kejadian influenza 3-11% dan angka kefatalannya 0,04%-0,09%. Dibandingkan dengan influenza, angka kefatalan Covid-19 saat ini masih lebih tinggi, yaitu 0,4%. Namun, dari hari ke hari, angka kefatalan ini terus menurun dan diprediksi akan menyamai angka kefatalan influenza, paling tidak 0,04%. Artinya, dari 10.000 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, yang meninggal empat orang. Penurunan ke level ini hanya bisa terjadi kalau penanganan efektif terus dilakukan, termasuk vaksinasi. Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa booster vaksin diperlukan. Angka kefatalan ingin terus diperendah, meski status Covid-19 telah menjadi endemi.

Kapankah status endemi akan terjadi? Salah satu patokannya adalah jumlah kasus yang sudah merendah dan stabil. Saat ini, laju kasus global adalah 187 per 1 juta penduduk, jauh lebih rendah dari laju puncak Omicron, yaitu 435 per 1 juta penduduk. Namun, ini bukan berarti kita telah memasuki endemi. Apalagi, profil saat ini masih jauh lebih tinggi dari gelombang-gelombang sebelumnya, yaitu saat laju kasus bervariasi 83-104 per 1 juta penduduk. Untuk disebut endemi, laju kasus harus lebih rendah dari profil ini dan bertahan stabil. Makanya, cukup mengherankan apabila ada pemimpin negara yang dengan confident menyatakan negaranya telah memasuki endemi hanya karena kasus Covid-19 negaranya menurun pasca-Omicron. Hingga saat ini, belum ada satu negara dan belahan dunia mana pun yang status Covid-19-nya telah menjadi endemi. Pandemi jelas bergerak menuju pandemi; tetapi kapan point of endemic terjadi, kita belum tahu. WHO punya kriteria objektif dan merupakan otoritas yang layak mengumumkan perubahan status pandemi menjadi endemi. Kita tunggu saja keputusan WHO sambil terus berselancar dengan protokol kesehatan dan vaksinasi.



(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2743 seconds (0.1#10.140)