Restorative Justice, Ijtihad Moderat untuk Keadilan
loading...
A
A
A
Keadilan restoratif (restorative justice) menjadi tren dalam penyelesaian berbagai kasus hukum di Indonesia akhir-akhir ini. Kendati istilah ini telah dikenal sejak 1960-an, namun restorative justice sejatinya mulai marak dipraktikkan khususnya dalam satu dasawarsa terakhir.
Banyak kalangan memuji ada praktik keadilan restoratif ini. Dari model ini, pelanggar atau pelaku kejahatan tidak harus “harga mati” meringkuk di penjara sebagai konsekuensi perbuatannya. Namun di sisi lain, restorative justice juga tidak menghilangkan makna keadilan sama sekali. Ini unik karena dengan pendekatan tersebut, terjadi semacam rekonsiliasi dan mediasi baik antara pelaku, korban, atau masyarakat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mengistilahkan restorative justice sebagai sebuah jalan untuk mengharmonisasi tatanan di tengah masyarakat. A way of responding to criminals behavior by balancing the needs of the community, the victims and the offender (Sebuah penyelesaian terhadap perilaku pidana dengan cara mengharmonisasikan kebutuhan masyarakat, korban, dan pelaku).
Belakangan, restorative justice pun beberapa kali dilakukan oleh aparat hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Pada 2021 misalnya, Polri mendata telah menyelesaikan sebanyak 11.811 kasus melalui pendekatan restorative justice ini. Sedangkan Kejaksaan Agung mendata mampu menyelesaikan 314 perkara.
Secara umum kasus-kasus yang didamaikan juga mendapat apresiasi positif dari publik. Dalam konteks dunia hukum di Indonesia, restorative justice juga menjadi semacam pemecah kebuntuan persoalan membeludaknya jumlah narapidana yang menghuni lembaga pemasyarakatan (LP). Dengan mengedepankan aspek restorasi, penyelesaian kasus tidak harus dilakukan hingga ruang persidangan. Dengan begitu, pelaku-pelaku kejahatan itu tidak menambah sesaknya penjara, namun tetap menimbulkan efek jera.
Melihat banyaknya sisi positif itu, restorative justice patut menjadi sarana ijtihad bagi penegak hukum untuk mewujudkan keadilan baru di tengah masyarakat. Kendati demikian, praktik restorative justice ini tidak boleh serampangan, apalagi sekadar untuk menghasilkan pencitraan. Soal pencitraan ini patut menjadi perhatian sebab seringkali aparat hukum kita cenderung memberikan konsentrasi yang besar pada kasus tertentu seperti melibatkan tokoh, menarik emosi publik, dan sebagainya. Di sisi lain, pada saat yang sama, tentu ada ribuan kasus lain yang juga patut diselesaikan dengan cara-cara yang terbaik pula.
Untuk membumikan praktik restorative justice agar kian mendekati keadilan publik, setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi penekanan. Pertama, restorative justice saatnya menjadi model atau strategi baru bagi aparat hukum untuk penyelesaian perkara. Dengan langkah ini, aparat tidak berpandangan kaku seperti monoton menyesuaikan pasal-pasal di KUHP. Untuk menanamkan model ini secara masif, para aparat perlu dibekali pemahaman ini lewat kurikulum di pendidikan atau pelatihan.
Kedua, seleksi perkara secara komprehensif. Ini artinya aparat tidak sebatas lihai memilah jenis perkara, namun juga mampu melihat berbagai faktor yang melingkupinya seperti dampak masa depan, keluarga, atau masyarakat. Semakin aparat memiliki kecermatan melihat sebuah kasus secara komprehensif, maka semakin banyak keadilan yang diperoleh tanpa harus menguras tenaga hingga berproses di meja persidangan.
Ketiga, kontrol keadilan bersama-sama. Untuk mewujudkan keadilan yang mendekati hakiki, sangat dibutuhkan banyak pertimbangan. Di sini masyarakat termasuk media massa memiliki peran yang strategis untuk menjaga agar marwah hukum senantiasa terjaga.
Kontrol ini adalah hal yang mutlak. Apalagi telah mafhum kita ketahui, penegakan hukum di Indonesia seringkali masih memuarakan suara miring seperti penyuapan, pengaturan pasal, dan bentuk permainan lainnya. Dengan kontrol bersama, maka sebuah perkara akan menjadi perhatian kolektif. Dari sini maka aparat hukum juga tidak bisa bermain-main lagi sebab mereka bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menghasilkan keadilan yang terbaik.
Tren restorative justice adalah jalan moderat penegakan hukum. Restorative justice, meminjam istilah Bagir Manan (Ketua Mahkamah Agung 2001-2008), harus dijadikan momentum menata kembali sistem pemidanaan yang harus lebih adil baik bagi pelaku, korban, dan masyarakat.
Banyak kalangan memuji ada praktik keadilan restoratif ini. Dari model ini, pelanggar atau pelaku kejahatan tidak harus “harga mati” meringkuk di penjara sebagai konsekuensi perbuatannya. Namun di sisi lain, restorative justice juga tidak menghilangkan makna keadilan sama sekali. Ini unik karena dengan pendekatan tersebut, terjadi semacam rekonsiliasi dan mediasi baik antara pelaku, korban, atau masyarakat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mengistilahkan restorative justice sebagai sebuah jalan untuk mengharmonisasi tatanan di tengah masyarakat. A way of responding to criminals behavior by balancing the needs of the community, the victims and the offender (Sebuah penyelesaian terhadap perilaku pidana dengan cara mengharmonisasikan kebutuhan masyarakat, korban, dan pelaku).
Belakangan, restorative justice pun beberapa kali dilakukan oleh aparat hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Pada 2021 misalnya, Polri mendata telah menyelesaikan sebanyak 11.811 kasus melalui pendekatan restorative justice ini. Sedangkan Kejaksaan Agung mendata mampu menyelesaikan 314 perkara.
Secara umum kasus-kasus yang didamaikan juga mendapat apresiasi positif dari publik. Dalam konteks dunia hukum di Indonesia, restorative justice juga menjadi semacam pemecah kebuntuan persoalan membeludaknya jumlah narapidana yang menghuni lembaga pemasyarakatan (LP). Dengan mengedepankan aspek restorasi, penyelesaian kasus tidak harus dilakukan hingga ruang persidangan. Dengan begitu, pelaku-pelaku kejahatan itu tidak menambah sesaknya penjara, namun tetap menimbulkan efek jera.
Melihat banyaknya sisi positif itu, restorative justice patut menjadi sarana ijtihad bagi penegak hukum untuk mewujudkan keadilan baru di tengah masyarakat. Kendati demikian, praktik restorative justice ini tidak boleh serampangan, apalagi sekadar untuk menghasilkan pencitraan. Soal pencitraan ini patut menjadi perhatian sebab seringkali aparat hukum kita cenderung memberikan konsentrasi yang besar pada kasus tertentu seperti melibatkan tokoh, menarik emosi publik, dan sebagainya. Di sisi lain, pada saat yang sama, tentu ada ribuan kasus lain yang juga patut diselesaikan dengan cara-cara yang terbaik pula.
Untuk membumikan praktik restorative justice agar kian mendekati keadilan publik, setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi penekanan. Pertama, restorative justice saatnya menjadi model atau strategi baru bagi aparat hukum untuk penyelesaian perkara. Dengan langkah ini, aparat tidak berpandangan kaku seperti monoton menyesuaikan pasal-pasal di KUHP. Untuk menanamkan model ini secara masif, para aparat perlu dibekali pemahaman ini lewat kurikulum di pendidikan atau pelatihan.
Kedua, seleksi perkara secara komprehensif. Ini artinya aparat tidak sebatas lihai memilah jenis perkara, namun juga mampu melihat berbagai faktor yang melingkupinya seperti dampak masa depan, keluarga, atau masyarakat. Semakin aparat memiliki kecermatan melihat sebuah kasus secara komprehensif, maka semakin banyak keadilan yang diperoleh tanpa harus menguras tenaga hingga berproses di meja persidangan.
Ketiga, kontrol keadilan bersama-sama. Untuk mewujudkan keadilan yang mendekati hakiki, sangat dibutuhkan banyak pertimbangan. Di sini masyarakat termasuk media massa memiliki peran yang strategis untuk menjaga agar marwah hukum senantiasa terjaga.
Kontrol ini adalah hal yang mutlak. Apalagi telah mafhum kita ketahui, penegakan hukum di Indonesia seringkali masih memuarakan suara miring seperti penyuapan, pengaturan pasal, dan bentuk permainan lainnya. Dengan kontrol bersama, maka sebuah perkara akan menjadi perhatian kolektif. Dari sini maka aparat hukum juga tidak bisa bermain-main lagi sebab mereka bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menghasilkan keadilan yang terbaik.
Tren restorative justice adalah jalan moderat penegakan hukum. Restorative justice, meminjam istilah Bagir Manan (Ketua Mahkamah Agung 2001-2008), harus dijadikan momentum menata kembali sistem pemidanaan yang harus lebih adil baik bagi pelaku, korban, dan masyarakat.
(bmm)