Kerja Sama dengan Pinjaman Online, Dukcapil Pastikan Tak Berikan Akses Data Kependudukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada pekan lalu Ditjen Dukcapil Kemendagri melakukan kerja sama dengan 13 perusahaan swasta. Dimana 3 di antaranya adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa pinjaman online.
Beberapa pihak menilai kerja sama ini bisa menyebabkan kebocoran data kependudukan. Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrullah menjelaskan bahwa dalam kerja sama tersebut tidak ada pemberian akses data kependudukan. Namun yang ada adalah akses verifikasi data. (Baca juga: Soal APD untuk Penyelenggara Pilkada Serentak 2020, KPU Diminta Jujur ke Publik)
“Pemberian hak akses verifikasi pemanfaatan data kependudukan sesungguhnya berlandaskan pada amanat Pasal 79 dan Pasal 58 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pasal 79 terkait dengan hak akses verifikasi data dan Pasal 58 terkait dengan ruang lingkupnya,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (15/6/2020).
Dia menjamin bahwa hak akses verifikasi yang diberikan dalam kerja sama tersebut tidak memungkinkan untuk dapat melihat secara keseluruhan ataupun satu persatu data kependudukan. Hak akses verifikasi hanya memungkinkan untuk dilakukannya verifikasi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara data-data yang diberikan calon nasabah dengan data yang ada pada database kependudukan.
“Sebagai ilustrasi, seorang penduduk bernama Budi ingin melakukan pinjaman online di salah satu dari ketiga perusahaan fintech tersebut. Budi memberikan data dirinya berupa NIK, Nama, Tempat Lahir dan Tanggal/Bulan/Tahun lahir dan sebagainya kepada salah satu perusahaan melalui aplikasi pinjaman online. Data diri sebagaimana telah diberikan Budi tersebut kemudian dilakukan verifikasi oleh perusahaan dengan database kependudukan Kemendagri. Dari proses verifikasi dengan data Kemendagri tersebut, kemudian perusahaan aplikasi pinjaman online mendapatkan respons berupa notifikasi “SESUAI” atau ”TIDAK SESUAI,” paparnya.
Selain itu, Zudan memastikan bahwa Kemendagri selalu melakukan langkah-langkah pengamanan sistem dengan standar terukur. Hal ini untuk memastikan bahwa hak akses verifikasi data selalu berada dalam koridor hukum.
“Terhadap pelanggaran atas penyalahgunaan data kependudukan dikenakan pidana penjara selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 95A UU Nomor 24 Tahun 2013,” paparnya.
Dia menambahkankan data kependudukan dari Kemendagri dimanfaatkan untuk berbagai hal. Mulai dari pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, penegakan hukum sampai pencegahan kriminal. (Baca juga Infografis: KPU Usul Tambahan Rp4,77 T untuk Protokol Covid-19 di Pilkada 2020)
“Ketentuan tersebut sejatinya lahir sebagai bentuk dukungan nyata fasilitas negara, bukan hanya dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja organ negara, namun juga perkembangan serta pertumbuhan ekonomi dan layanan publik bagi seluruh elemen bangsa dan negara,” tutupnya.
Beberapa pihak menilai kerja sama ini bisa menyebabkan kebocoran data kependudukan. Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrullah menjelaskan bahwa dalam kerja sama tersebut tidak ada pemberian akses data kependudukan. Namun yang ada adalah akses verifikasi data. (Baca juga: Soal APD untuk Penyelenggara Pilkada Serentak 2020, KPU Diminta Jujur ke Publik)
“Pemberian hak akses verifikasi pemanfaatan data kependudukan sesungguhnya berlandaskan pada amanat Pasal 79 dan Pasal 58 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pasal 79 terkait dengan hak akses verifikasi data dan Pasal 58 terkait dengan ruang lingkupnya,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (15/6/2020).
Dia menjamin bahwa hak akses verifikasi yang diberikan dalam kerja sama tersebut tidak memungkinkan untuk dapat melihat secara keseluruhan ataupun satu persatu data kependudukan. Hak akses verifikasi hanya memungkinkan untuk dilakukannya verifikasi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara data-data yang diberikan calon nasabah dengan data yang ada pada database kependudukan.
“Sebagai ilustrasi, seorang penduduk bernama Budi ingin melakukan pinjaman online di salah satu dari ketiga perusahaan fintech tersebut. Budi memberikan data dirinya berupa NIK, Nama, Tempat Lahir dan Tanggal/Bulan/Tahun lahir dan sebagainya kepada salah satu perusahaan melalui aplikasi pinjaman online. Data diri sebagaimana telah diberikan Budi tersebut kemudian dilakukan verifikasi oleh perusahaan dengan database kependudukan Kemendagri. Dari proses verifikasi dengan data Kemendagri tersebut, kemudian perusahaan aplikasi pinjaman online mendapatkan respons berupa notifikasi “SESUAI” atau ”TIDAK SESUAI,” paparnya.
Selain itu, Zudan memastikan bahwa Kemendagri selalu melakukan langkah-langkah pengamanan sistem dengan standar terukur. Hal ini untuk memastikan bahwa hak akses verifikasi data selalu berada dalam koridor hukum.
“Terhadap pelanggaran atas penyalahgunaan data kependudukan dikenakan pidana penjara selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 95A UU Nomor 24 Tahun 2013,” paparnya.
Dia menambahkankan data kependudukan dari Kemendagri dimanfaatkan untuk berbagai hal. Mulai dari pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, penegakan hukum sampai pencegahan kriminal. (Baca juga Infografis: KPU Usul Tambahan Rp4,77 T untuk Protokol Covid-19 di Pilkada 2020)
“Ketentuan tersebut sejatinya lahir sebagai bentuk dukungan nyata fasilitas negara, bukan hanya dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja organ negara, namun juga perkembangan serta pertumbuhan ekonomi dan layanan publik bagi seluruh elemen bangsa dan negara,” tutupnya.
(kri)