APHK Tengah Rampungkan Naskah Akademik RUU Perikatan
loading...
A
A
A
Guru Besar Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini melanjutkan pembaruan hukum perdata di negara-negara tersebut dilakukan dengan cara rekodifikasi yang tampaknya tidak cukup realistis untuk Indonesia. Yang lebih relistis adalah melakukan pembaruan secara parsial.
Ia mengusulkan pengaturan yang harus dilakukan, yakni perbuatan hukum (juridical acts), perikatan pada umumnya, berakhirnya perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian/kontrak, perikatan yang bersumber di luar perjanjian/kontrak, ketentuan peralihan, dan bagian penjelasan.
Sedangkan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Nonyudisial, Sunarto mendukung upaya pembaruan hukum perikatan nasional yang tengah dilakukan APHK sebagaimana telah diupayakan juga oleh MA.
Adapun Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Dr Anangga W Roosdiono di antaranya menyampaikan soal kompetensi absolut penyelesaian sengketa dan apakah alas-alas hukum yang ada perlu dispesifikkan.
Pasalnya, lanjutAnangga, realitasnya tidak jarang pengadilan negeri tetap memproses atas dasar pengadilan tidak boleh menolak perkara. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme dismissal procedure dalam pengadilan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang bisa menolak suatu perkara dari administrasi awal.
“Keharusan dalam menegaskan pilihan penyelesaian sengketa tidak boleh mencantumkan secara alternatif: 'dapat diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase',” ujarnya.
Ia mengusulkan pengaturan yang harus dilakukan, yakni perbuatan hukum (juridical acts), perikatan pada umumnya, berakhirnya perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian/kontrak, perikatan yang bersumber di luar perjanjian/kontrak, ketentuan peralihan, dan bagian penjelasan.
Sedangkan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Nonyudisial, Sunarto mendukung upaya pembaruan hukum perikatan nasional yang tengah dilakukan APHK sebagaimana telah diupayakan juga oleh MA.
Adapun Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Dr Anangga W Roosdiono di antaranya menyampaikan soal kompetensi absolut penyelesaian sengketa dan apakah alas-alas hukum yang ada perlu dispesifikkan.
Pasalnya, lanjutAnangga, realitasnya tidak jarang pengadilan negeri tetap memproses atas dasar pengadilan tidak boleh menolak perkara. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme dismissal procedure dalam pengadilan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang bisa menolak suatu perkara dari administrasi awal.
“Keharusan dalam menegaskan pilihan penyelesaian sengketa tidak boleh mencantumkan secara alternatif: 'dapat diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase',” ujarnya.
(kri)