APHK Tengah Rampungkan Naskah Akademik RUU Perikatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK), Prof Yohanes Sogar Simamora mengatakan pihaknya tengah merampungkan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan . RUU tersebut sudah masuk proses finalisasi.
“Naskah akademik RUU Perikatan yang disusun oleh Tim APHK dikoordinir oleh Prof Dr Joni Emirzon dari FH Unsri Palembang sedang dalam proses finalisasi,” ujarnya dalam webinar “Pandangan Praktisiatas Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perikatan Nasional” pada Sabtu (26/2/2022).
Menurutnya, penyusunan naskah akademik RUU Perikatan ini merupakan salah satu agenda penting APHK untuk melakukan pembaruan dan pengembangan hukum keperdataan yang saat ini sumber utamanya terdapat dalam Buku III KUHPerdata.
“APHK mengusulkan agar dibuat dan diundangkan suatu UU khusus tentang Perikatan. Hukum kontrak merupakan salah satu bagian penting yang diatur di dalamnya,” kata dia.
APHK mengusulkan pembaruan terhadap KUHPerdata untuk mengakomodir kebutuhan hukum di tengah masyarakat. Joni Emirzon dalam pemaparan materinya menyampaikan, KUHPerdata Indonesia peninggalan Belanda sudah berusia sekitar 181 tahun.
“Sangat ironis belum dilakukan pembaruan secara keseluruhan. Di pihak lain, perkembangan kehidupan masyarakat sangat pesat atau dinamis dan makin kompleks,” jelasnya.
Pembaruan hukum perdata di Indonesia diharapkan akan terbentuk tatanan hukum baru yang sesuai dengan cita hukum bangsa Indonsia dan mempertahankan identitas hukum perikatan yang dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi hukum nasional.
Menurutnya, struktur naskah akademi RUU Perikatan yang tengah disusun ini terdiri dari 6 BAB, yakni BAB I Pendahuluan, BAB II Kajian Teoritis dan Praktis Empiris, BAB III Evaluasi dan Analisis Perundang-Undangan, BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis, BAB V Jangkauan Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi, dan BAB VI Penutup.
Selanjutnya, Sogar yang juga menjadi salah satu pembicar dalam webinar ini menyampaikan, dalam menyusun naskah akademik RUU Perikatan ini dilakukan studi perbadingan ke sejumlah negara, yakni Belanda, Jerman, Perancis, dan Jepang untuk memperluas cakrawala pandang tentang perkembangan hukum perikatan.
“Di negara-negara itu tidak lagi diatur ketentuan mengenai sumber perikatan sebagaimana dalam Pasal 1233 KUHPerdata,” katanya.
Guru Besar Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini melanjutkan pembaruan hukum perdata di negara-negara tersebut dilakukan dengan cara rekodifikasi yang tampaknya tidak cukup realistis untuk Indonesia. Yang lebih relistis adalah melakukan pembaruan secara parsial.
Ia mengusulkan pengaturan yang harus dilakukan, yakni perbuatan hukum (juridical acts), perikatan pada umumnya, berakhirnya perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian/kontrak, perikatan yang bersumber di luar perjanjian/kontrak, ketentuan peralihan, dan bagian penjelasan.
Sedangkan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Nonyudisial, Sunarto mendukung upaya pembaruan hukum perikatan nasional yang tengah dilakukan APHK sebagaimana telah diupayakan juga oleh MA.
Adapun Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Dr Anangga W Roosdiono di antaranya menyampaikan soal kompetensi absolut penyelesaian sengketa dan apakah alas-alas hukum yang ada perlu dispesifikkan.
Pasalnya, lanjutAnangga, realitasnya tidak jarang pengadilan negeri tetap memproses atas dasar pengadilan tidak boleh menolak perkara. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme dismissal procedure dalam pengadilan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang bisa menolak suatu perkara dari administrasi awal.
“Keharusan dalam menegaskan pilihan penyelesaian sengketa tidak boleh mencantumkan secara alternatif: 'dapat diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase',” ujarnya.
“Naskah akademik RUU Perikatan yang disusun oleh Tim APHK dikoordinir oleh Prof Dr Joni Emirzon dari FH Unsri Palembang sedang dalam proses finalisasi,” ujarnya dalam webinar “Pandangan Praktisiatas Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perikatan Nasional” pada Sabtu (26/2/2022).
Menurutnya, penyusunan naskah akademik RUU Perikatan ini merupakan salah satu agenda penting APHK untuk melakukan pembaruan dan pengembangan hukum keperdataan yang saat ini sumber utamanya terdapat dalam Buku III KUHPerdata.
“APHK mengusulkan agar dibuat dan diundangkan suatu UU khusus tentang Perikatan. Hukum kontrak merupakan salah satu bagian penting yang diatur di dalamnya,” kata dia.
APHK mengusulkan pembaruan terhadap KUHPerdata untuk mengakomodir kebutuhan hukum di tengah masyarakat. Joni Emirzon dalam pemaparan materinya menyampaikan, KUHPerdata Indonesia peninggalan Belanda sudah berusia sekitar 181 tahun.
“Sangat ironis belum dilakukan pembaruan secara keseluruhan. Di pihak lain, perkembangan kehidupan masyarakat sangat pesat atau dinamis dan makin kompleks,” jelasnya.
Pembaruan hukum perdata di Indonesia diharapkan akan terbentuk tatanan hukum baru yang sesuai dengan cita hukum bangsa Indonsia dan mempertahankan identitas hukum perikatan yang dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi hukum nasional.
Menurutnya, struktur naskah akademi RUU Perikatan yang tengah disusun ini terdiri dari 6 BAB, yakni BAB I Pendahuluan, BAB II Kajian Teoritis dan Praktis Empiris, BAB III Evaluasi dan Analisis Perundang-Undangan, BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis, BAB V Jangkauan Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi, dan BAB VI Penutup.
Selanjutnya, Sogar yang juga menjadi salah satu pembicar dalam webinar ini menyampaikan, dalam menyusun naskah akademik RUU Perikatan ini dilakukan studi perbadingan ke sejumlah negara, yakni Belanda, Jerman, Perancis, dan Jepang untuk memperluas cakrawala pandang tentang perkembangan hukum perikatan.
“Di negara-negara itu tidak lagi diatur ketentuan mengenai sumber perikatan sebagaimana dalam Pasal 1233 KUHPerdata,” katanya.
Guru Besar Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini melanjutkan pembaruan hukum perdata di negara-negara tersebut dilakukan dengan cara rekodifikasi yang tampaknya tidak cukup realistis untuk Indonesia. Yang lebih relistis adalah melakukan pembaruan secara parsial.
Ia mengusulkan pengaturan yang harus dilakukan, yakni perbuatan hukum (juridical acts), perikatan pada umumnya, berakhirnya perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian/kontrak, perikatan yang bersumber di luar perjanjian/kontrak, ketentuan peralihan, dan bagian penjelasan.
Sedangkan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Nonyudisial, Sunarto mendukung upaya pembaruan hukum perikatan nasional yang tengah dilakukan APHK sebagaimana telah diupayakan juga oleh MA.
Adapun Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Dr Anangga W Roosdiono di antaranya menyampaikan soal kompetensi absolut penyelesaian sengketa dan apakah alas-alas hukum yang ada perlu dispesifikkan.
Pasalnya, lanjutAnangga, realitasnya tidak jarang pengadilan negeri tetap memproses atas dasar pengadilan tidak boleh menolak perkara. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme dismissal procedure dalam pengadilan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang bisa menolak suatu perkara dari administrasi awal.
“Keharusan dalam menegaskan pilihan penyelesaian sengketa tidak boleh mencantumkan secara alternatif: 'dapat diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase',” ujarnya.
(kri)