Asa Baru dari Perubahan Nomenklatur BUMN Energi
loading...
A
A
A
DALAM beberapa pekan terakhir Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan sejumlah perombakan direksi perusahaan pelat merah. Sejumlah nama baru muncul di jajaran direksi maupun komisaris.Teranyar, kementerian yang dipimpin Erick Thohir itu merombak jajaran direksi PT Pertamina (Persero) sekaligus memangkas sejumlah pos direksi dari semula 11 direktur menjadi hanya tinggal enam direksi, termasuk direktur utama (dirut). Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina, Jumat (12/06) lalu, posisi direktur utama Pertamina tetap diduduki Nicke Widyawati yang sebelumnya telah menjabat sejak Agustus 2018.Sejumlah nama baru muncul di jajaran direksi. Beberapa di antaranya berasal dari luar Pertamina dengan berbagai latar belakang industri. Namun, yang cukup mengejutkan adalah perampingan nomenklatur direksi perseroan yang kini lebih singset. Hanya ada lima direktorat, yakni Direktur Keuangan; direktur SDM, Direktur Logistik dan Infrastruktur; Direktur Strategi Portofolio dan Pengembangan Usaha; dan Direktur Penunjang Bisnis .Dari sejumlah direktorat tersebut, pemegang saham, dalam hal ini Kementerian BUMN, menghilangkan posisi direktur hulu, yang sebelumnya berperan sebagai pengawal bisnis pertamina di sektor hulu migas. Dalam skema nomenklatur direksi pertamina yang beredar, untuk direktorat hulu ke depan berada di bawah koordinasi direktur utama, namun sifatnya seperti sub holding yang khusus menangani bisnis hulu migas.Jika dilihat komposisi nomenklatur yang baru, ada harapan munculnya efisiensi karena direksi lebih ramping di atas. Menteri BUMN pun berharap, dengan komposisi nomenklatur baru ini Pertamina akan lebih fokus berbisnis dengan membiarkan anak-anak usahanya mengembangkan bisnis. Bahkan, ada target tersendiri dari menteri Erick. Dalam dua tahun ke depan, anak-anak usaha di hulu migas ini harus bisa lebih mandiri dengan cara go public di bursa saham.Jika memperhatikan nomenklatur dan target-target besar Kementerian BUMN, muncul harapan BUMN kebanggaan nasional ini bisa tumbuh menjadi raksasa seperti zaman keemasannya dulu. Namun, ada baiknya pemegang saham agar tidak lupa untuk mengevaluasi kinerja direksi lama yang dalam masa jabatan dinilai sejumlah kalangan justru kurang moncer.Fahmi Radhy, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, terang-terangan mengkritik kinerja Pertamina di era Nicke. Menurut Fahmi, Nicke tidak menunjukkan kinerja cemerlang selama menjabat orang nomor satu di pertamina. Indikasinya, pertamina tak mampu meningkatkan produksi di sumur-sumur terminasi seperti Blok Madura Offshore dan Blok Mahakam.
Padahal, peningkatan lifting itu sangat dibutuhkan untuk menekan defisit neraca migas yang semakin bengkak. Di sisi lain, Pertamina juga belum menunjukkan progres berarti dari program pembangunan kilang minyak. Menurut Fahmi, dari beberapa kilang minyak yang direncanakan hampir tidak ada progres berarti. Lihat saja, rencana kerja sama Pertamina dan Aramco untuk peÂngembangan Kilang Cilacap yang justru berakhir sebelum dikerjakan. Demikian juga dengan Kilang Bontang, kerja sama Pertamina dengan OOG Oman, juga kandas di tengah jalan.
Perusahaan energi lain, yakni PLN, pada pertengahan Mei lalu juga mengalami perombakan nomenklatur. Setelah menunjuk Zulkifli Zaini sebagai dirut baru PLN pada akhir tahun lalu, Kementerian BUMN melakukan perubahan komposisi direksi PLN dengan menambah direktur niaga dan manajemen pelanggan, direktur mega proyek, direktur energi primer dan direktur perencanaan korporat. Penambahan direktorat itu juga dibarengi dengan penggabungan beberapa direktorat dengan harapan lebih efisien.Namun, yang menjadi perhatian adalah munculnya direktorat mega proyek yang job description-nya akan mengawal proyek-proyek keÂlistrikan nasional. Di satu sisi, direktorat ini sangat strategis untuk memÂbantu mewujudkan proyek kelistrikan ambisius yakni program 35.000 MW. Namun di sisi lain ada potensi PLN kelebihan pasokan listrik apabila semua proyek pembangkit listrik termasuk milik swasta dikebut realisasinya.
Jangan sampai, berlebihnya daya listrik yang dimiliki PLN malah tidak terserap. Maka, alangkah lebih baik jika ketersediaan listrik di Tanah Air dibarengi tumbuhnya industri sehingga memberikan multiplier effect ke perekonomian masyarakat.
Padahal, peningkatan lifting itu sangat dibutuhkan untuk menekan defisit neraca migas yang semakin bengkak. Di sisi lain, Pertamina juga belum menunjukkan progres berarti dari program pembangunan kilang minyak. Menurut Fahmi, dari beberapa kilang minyak yang direncanakan hampir tidak ada progres berarti. Lihat saja, rencana kerja sama Pertamina dan Aramco untuk peÂngembangan Kilang Cilacap yang justru berakhir sebelum dikerjakan. Demikian juga dengan Kilang Bontang, kerja sama Pertamina dengan OOG Oman, juga kandas di tengah jalan.
Perusahaan energi lain, yakni PLN, pada pertengahan Mei lalu juga mengalami perombakan nomenklatur. Setelah menunjuk Zulkifli Zaini sebagai dirut baru PLN pada akhir tahun lalu, Kementerian BUMN melakukan perubahan komposisi direksi PLN dengan menambah direktur niaga dan manajemen pelanggan, direktur mega proyek, direktur energi primer dan direktur perencanaan korporat. Penambahan direktorat itu juga dibarengi dengan penggabungan beberapa direktorat dengan harapan lebih efisien.Namun, yang menjadi perhatian adalah munculnya direktorat mega proyek yang job description-nya akan mengawal proyek-proyek keÂlistrikan nasional. Di satu sisi, direktorat ini sangat strategis untuk memÂbantu mewujudkan proyek kelistrikan ambisius yakni program 35.000 MW. Namun di sisi lain ada potensi PLN kelebihan pasokan listrik apabila semua proyek pembangkit listrik termasuk milik swasta dikebut realisasinya.
Jangan sampai, berlebihnya daya listrik yang dimiliki PLN malah tidak terserap. Maka, alangkah lebih baik jika ketersediaan listrik di Tanah Air dibarengi tumbuhnya industri sehingga memberikan multiplier effect ke perekonomian masyarakat.
(thm)