Pelabelan Korban Kekerasan Seksual Ditinjau dari Psikologi Sosial

Kamis, 24 Februari 2022 - 14:33 WIB
loading...
Pelabelan Korban Kekerasan...
Aksi tolak kekerasan seksual. Foto/Dok SINDO
A A A
Dianingtyas Putri
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie

Apa bedanya penyintas dengan korban? Banyak yang sering salah pemahaman dengan arti kata tersebut, dan seringkali menyamakan artinya antara keduanya. Faktanya, kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Korban ialah seseorang yang masih berada dalam situasi kekerasan yang berulang, sedangkan penyintas merupakan seseorang yang berjuang dari kekerasan atau disebut dengan survivor of violence. Situasi dan kondisi diri antara korban dengan penyintas berbeda,. Penyintas adalah ia yang memiliki suara, berdaya, serta kekuatan dan bukan korban yang pasif. Selain itu, penyintas ada keinginan untuk pulih dari pengalaman yang telah mencederai dirinya secara holistik atau keseluruhan yakni mind, body, dan soul-nya.

Hal apakah yang sebenarnya dirasakan oleh penyintas ketika menjalani pemulihan dari pengalaman yang buruk tersebut? Sebagai fakta seseorang yang mengalaminya tentu dapat mengganggu dan memengaruhi secara emosional diri, gangguan kognisi, maupun gangguan perilaku. Anindya, Dewi & Oentari menyebutkan dalam artikel jurnalnya bahwa gangguan emosional yang dimaksud adalah emosi yang tidak stabil sehingga berefek terhadap mood memburuk (Anindya dkk, 2020: 138-139). Lalu, Putri & Dyah (2021) menyatakan juga, jika efeknya mengena pada psikologis korban maka pola pikirnya perlahan mengalami perubahan dan akan memengaruhi berbagai hal. Diawali dari cara berpikir terhadap sesuatu, lalu rentan kestabilan emosi yang tidak terduga, hingga membuat korban depresi. Artinya, membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk memulihkan kestabilan dirinya secara keseluruhan dan belum tentu kemajuannya bisa signifikan sebab tergantung bagaimana tingkat kerusakannya.



Melalui data Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Pusdatin Kemkes RI) disampaikan situasi kesehatan dan kejiwaan di Indonesia baik secara global maupun nasional. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2018 menunjukkan gangguan depresi sudah mulai sejak rentang usia remaja 15-24 tahun, dengan prevalansi 6,2% (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2019). Hal ini juga diperkuat oleh Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Anung Sugihantono dalam acara Pertemuan Nasional Program Permasalahan Pencegahan Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA,. Anung menyatakan kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata, kerancuan dan kurangnya pengetahuan masyarakat terkait menganggap masalah kesehatan jiwa bukan sebagai penyakit.

Selain itu, Agusno (2011) (Purnama dkk, 2016: 30-31) menyatakan akar permasalahan pada kesehatan mental berasal dari tiga inti pokok yakni pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa, stigma mengenai gangguan jiwa yang berkembang di masyarakat, serta tidak meratanya pelayanan kesehatan mental. Dalam arti, selama akar permasalahan belum selesai maka isu kesehatan mental akan selalu menjadi isu utama global. Kemudian di sisi lain terciptanya penilaian sosial dari lingkaran ruang lingkup membuat mereka yang ingin memeriksakan dirinya timbul rasa cemas dan takut akan labelisasi 'gila' yang
diberikan oleh lingkaran tersebut yakni significant others, peer group-nya. Ini juga yang membuat kekerasan seksual menjadi sangat sulit untuk diungkap dan ditangani, karena salah satu alasannya adalah sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat yang telah terbentuk.

Pengaruh faktor lingkungan dapat mengubah perilakunya sehingga, fenomena ini disebut sebagai psikologi sosial yang dijelaskan oleh Nurrachman (2008) (Soeparno, 2011: 18) bahwa pengakuan terhadap perilaku individu secara kritis dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luar diri dalam lingkungannya. Psikologi sosial berfokus pada individu dan bagaimana kontribusi lingkungan, serta bagaimana hal tersebut merupakan hasil bentukan lingkungannya. Di sini juga, saat proses seseorang ingin melakukan pemulihan dirinya maka faktor lingkungan menjadi supporting system-nya. Apabila lingkungannya tidak mendukung maka sifat dasar diri kita yang melakukan komparasi sosial ketika melakukan interaksi komunikasi antara diri kita dengan orang di luar diri akan memengaruhi dalam proses pemulihan tersebut yang nantinya memengaruhi juga proses pembentukan konsep diri yang cenderung negatif.

Oleh karena itu, tindakan kekerasan seksual yang dialami para korban sangat berakibat buruk tidak hanya pada organ reproduksinya secara fisik namun juga dapat menimbulkan gangguan baik kondisi psikis dan mental dari korban. Adanya labelisasi yang terbentuk dari penilaian sosial masyarakat terhadap diri korban inilah yang juga mengakibatkan mereka enggan untuk membuka diri terhadap apa yang dialaminya. Dengan arti, labelisasi menyebabkan tekanan sosial yang tinggi, sehingga korban menghadapi banyak tekanan dari berbagai aspek. Perspektif orang terdekat serta masyarakat melalui reflected appraisal memengaruhi self-disclosure yang dimiliki korban. Sedangkan pelaku yang melakukannya dari perspektif psikoanalisis Freud yakni dalam konsepnya manusia memiliki dorongan seksual dalam Id, merupakan hal yang bergerak berdasarkan prinsip kesenangan. Jika, dorongan Id yang lebih dominan maka Ego dan Superego cenderung mengikuti yang diinginkan oleh Id-nya. Condongnya hal tersebut karena faktor personal yakni pola asuh dan bagaimana lingkungan memperlakukannya, sehingga akan mengganggu internal diri si pelaku untuk melakukannya tanpa berpikir apa dampak yang akan dialami oleh si korban.

Berikut ringkasan mind mapping terkait dengan labelisasi terhadap penyintas kekerasan dan pelecehan seksual (Putri & Dyah, 2021: 23):

Pelabelan Korban Kekerasan Seksual Ditinjau dari Psikologi Sosial

Tangkapan layar/Istimewa
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1216 seconds (0.1#10.140)