New Normal : Disrupsi yang Dipercepat
loading...

Fajar S Pramono. Foto/Facebook Fajar S Pramono
A
A
A
Fajar S Pramono
Peminat Tema Sosial Ekonomi, Alumnus UNS Surakarta
Rasanya kita memang harus mengucapkan terima kasih banyak pada disrupsi yang sudah mulai terjadi dan –untungnya– mulai disadari sebelum pandemi Covid-19 bertandang. Disrupsi teknologi, disrupsi digitalisasi pola transaksi, disrupsi metode edukasi dan diskusi, disrupsi bidang transportasi, hingga disrupsi atas gaya hidup pribadi.
Bisa dibayangkan betapa kesulitannya kita hari ini jika kita belum terbiasa menyesuaikan diri dengan perubahan demi perubahan sebagai dampak disrupsi prapandemi. Kita tak kenal cara membeli barang viae-commerce. Ketika harus banyak berdiam di rumah (stay at home), kita belum familier dengan kepraktisan memenuhi kebutuhan dasar makan dan minum via aplikasi pesan-antar. Bayangkan pula bagaimana kita harus melakukan proses jual beli jika fitur perbankan tak semakin variatif menyediakan cara bertransaksi secara cashless.
Bayangkan juga hari ini. Bagaimana anak-anak kita bisa tetap belajar di bawah bimbingan para guru dan kita yang bekerja bisa melakukan work from home serta diskusi jarak jauh dengan tim jika belum ada yang mengenalkan kita pada revolusi metode komunikasi banyak arah seperti Zoom Meeting, Google Meet, Microsoft Teams, Cisco Webex, atau minimal Skype. Aplikasi WhatsApp-call yang semula hanya bisa untuk dua arah segera saja meng-upgrade fiturnya untuk bisa digunakan untuk banyak orang sekaligus begitu pandemi datang.
(Baca: Yuri Sebut Angka Kesembuhan Lebih Tinggi dari Kematian)
Maka, rasanya kita harus berterima kasih banyak pada para founder aplikasi, decacorn, unicorn maupun calon unicorn yang pada awal kemunculannya “rela di-bully“ karena dianggap berpotensi mematikan pelaku usaha existing, serta sempat diprotesi gegara dinilai tak nasionalis dan cinta negeri. Merekalah yang pada awalnya disebut “pengganggu” (disruptor), padahal merekalah pendobrak kesadaran dan pemaksa perubahan karena mereka menjadi pihak yang lebih dulu sadar bahwa perubahan dunia ini akan mengalami akselerasi.
Lalu, bagaimana dengan kecintaan pada negeri, juga kepedulian pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang lebih dulu lahir? Terbukti, mereka merangkul semua itu untuk bisa bersama menyadari, perubahan teknologi harus diakrabi, dan bukan dihindari. Mereka cenderung mewadahi. Bukan menyaingi.
Memang selalu ada konsekuensi bagi para pelaku usaha yang selama ini berbisnis secara konvensional: harus belajar teknologi terkini, belajar cara baru berpromosi, belajar sistem baru jual beli, dan sebagainya. Belajarnya pun harus setiap hari karena memang teknologinya berkembang cepat sekali. Ada juga konsekuensi investasi: harus melakukan pengadaan (baca : membeli) perangkat komunikasi yang andal dan responsif, berikut belanja kuota dari para provider telekomunikasi.
Hari ini kita juga harus banyak berterima kasih pada pelaku usaha, penyedia barang dan jasa yang pada akhirnya bersedia bertransformasi. Yang pada akhirnya mau “berdamai” dengan disrupsi. Apalah artinya penyedia aplikasi jika tak ada pelaku ekonomi yang bersedia menjadi bagian solutif dari disrupsi. Sekali lagi, disrupsi merupakan hal yang tak terelakkan lagi. Bukan semata karena pandemi. Kita tertendang atau mari berkompromi dan menyesuaikan diri. (Baca juga: Malaysia Bersiap Kembali Terbuka untuk Wisatawan)
Kesadaran berubah pelaku ekonomi di negeri ini mungkin agak terlambat. Tapi, rasanya tak ada yang lebih baik dibanding kemauan mereka untuk pada akhirnya mengikuti dan mengamini. Lebih bagus lagi jika setelah sadar, mereka justru bisa menjadi sutradara perubahan dengan berkontribusi pada ide pengembangan dan perubahan yang lebih memudahkan. Bukan sekadar menjadi eksekutor di lapangan. Karena dalam era apa pun sejak zaman baheula hingga modern ini, rumus bahwa siapa yang responsif terhadap perubahan dan bisa menjadi pencipta kebaruan perubahan, ia akan menjadi pemimpin di sebuah sektor aktivitasnya, termasuk sektor ekonomi.
Kesadaran yang Dipercepat
Peminat Tema Sosial Ekonomi, Alumnus UNS Surakarta
Rasanya kita memang harus mengucapkan terima kasih banyak pada disrupsi yang sudah mulai terjadi dan –untungnya– mulai disadari sebelum pandemi Covid-19 bertandang. Disrupsi teknologi, disrupsi digitalisasi pola transaksi, disrupsi metode edukasi dan diskusi, disrupsi bidang transportasi, hingga disrupsi atas gaya hidup pribadi.
Bisa dibayangkan betapa kesulitannya kita hari ini jika kita belum terbiasa menyesuaikan diri dengan perubahan demi perubahan sebagai dampak disrupsi prapandemi. Kita tak kenal cara membeli barang viae-commerce. Ketika harus banyak berdiam di rumah (stay at home), kita belum familier dengan kepraktisan memenuhi kebutuhan dasar makan dan minum via aplikasi pesan-antar. Bayangkan pula bagaimana kita harus melakukan proses jual beli jika fitur perbankan tak semakin variatif menyediakan cara bertransaksi secara cashless.
Bayangkan juga hari ini. Bagaimana anak-anak kita bisa tetap belajar di bawah bimbingan para guru dan kita yang bekerja bisa melakukan work from home serta diskusi jarak jauh dengan tim jika belum ada yang mengenalkan kita pada revolusi metode komunikasi banyak arah seperti Zoom Meeting, Google Meet, Microsoft Teams, Cisco Webex, atau minimal Skype. Aplikasi WhatsApp-call yang semula hanya bisa untuk dua arah segera saja meng-upgrade fiturnya untuk bisa digunakan untuk banyak orang sekaligus begitu pandemi datang.
(Baca: Yuri Sebut Angka Kesembuhan Lebih Tinggi dari Kematian)
Maka, rasanya kita harus berterima kasih banyak pada para founder aplikasi, decacorn, unicorn maupun calon unicorn yang pada awal kemunculannya “rela di-bully“ karena dianggap berpotensi mematikan pelaku usaha existing, serta sempat diprotesi gegara dinilai tak nasionalis dan cinta negeri. Merekalah yang pada awalnya disebut “pengganggu” (disruptor), padahal merekalah pendobrak kesadaran dan pemaksa perubahan karena mereka menjadi pihak yang lebih dulu sadar bahwa perubahan dunia ini akan mengalami akselerasi.
Lalu, bagaimana dengan kecintaan pada negeri, juga kepedulian pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang lebih dulu lahir? Terbukti, mereka merangkul semua itu untuk bisa bersama menyadari, perubahan teknologi harus diakrabi, dan bukan dihindari. Mereka cenderung mewadahi. Bukan menyaingi.
Memang selalu ada konsekuensi bagi para pelaku usaha yang selama ini berbisnis secara konvensional: harus belajar teknologi terkini, belajar cara baru berpromosi, belajar sistem baru jual beli, dan sebagainya. Belajarnya pun harus setiap hari karena memang teknologinya berkembang cepat sekali. Ada juga konsekuensi investasi: harus melakukan pengadaan (baca : membeli) perangkat komunikasi yang andal dan responsif, berikut belanja kuota dari para provider telekomunikasi.
Hari ini kita juga harus banyak berterima kasih pada pelaku usaha, penyedia barang dan jasa yang pada akhirnya bersedia bertransformasi. Yang pada akhirnya mau “berdamai” dengan disrupsi. Apalah artinya penyedia aplikasi jika tak ada pelaku ekonomi yang bersedia menjadi bagian solutif dari disrupsi. Sekali lagi, disrupsi merupakan hal yang tak terelakkan lagi. Bukan semata karena pandemi. Kita tertendang atau mari berkompromi dan menyesuaikan diri. (Baca juga: Malaysia Bersiap Kembali Terbuka untuk Wisatawan)
Kesadaran berubah pelaku ekonomi di negeri ini mungkin agak terlambat. Tapi, rasanya tak ada yang lebih baik dibanding kemauan mereka untuk pada akhirnya mengikuti dan mengamini. Lebih bagus lagi jika setelah sadar, mereka justru bisa menjadi sutradara perubahan dengan berkontribusi pada ide pengembangan dan perubahan yang lebih memudahkan. Bukan sekadar menjadi eksekutor di lapangan. Karena dalam era apa pun sejak zaman baheula hingga modern ini, rumus bahwa siapa yang responsif terhadap perubahan dan bisa menjadi pencipta kebaruan perubahan, ia akan menjadi pemimpin di sebuah sektor aktivitasnya, termasuk sektor ekonomi.
Kesadaran yang Dipercepat
Lihat Juga :