Dokter Reisa Ungkap Cara Jepang dan China Taipei Tangani COVID-19 Tanpa Lockdown

Sabtu, 13 Juni 2020 - 06:11 WIB
loading...
Dokter Reisa Ungkap...
Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19, dr Reisa Broto Asmoro mengungkapkan sejumlah negara yang sukses menangani COVID-19 tanpa menerapkan lockdown. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 , dr Reisa Broto Asmoro mengungkapkan sejumlah negara yang sukses menangani COVID-19 tanpa menerapkan lockdown atau karantina wilayah. Ia mencontohkan Jepang dan China Taipei sebagai negara yang sukses melawan COVID-19 tanpa lockdown.

“Praktik baik dari belahan dunia lain yang saat ini mulai menunjukkan keberhasilan untuk membendung penularan COVID-19 paling tidak untuk sementara ini adalah negara sahabat kita yaitu Jepang,” ujar Reisa di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta Jumat (12/6/2020). (Baca juga: Yuri: Angka Kesembuhan 35,8% Lebih Tinggi Dibanding Kematian Akibat Corona)

Reisa mengatakan menurut salah satu peneliti pusat penelitian kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Jepang tidak menerapkan lockdown atau karantina wilayah seperti beberapa negara lain dalam melawan virus COVID-19. “Tetapi memberlakukan deteksi dini terhadap kelompok rentan dan sosial conformity,” katanya.

Apa itu social conformity? Reisa menjelaskan social conformity adalah permintaan dari pemerintah Jepang kepada warganya agar menghindari keramaian atau kontak dekat secara fisik dengan orang lain.

“Jadi menghindari bersalaman dengan banyak orang kemudian menghindari agar tidak bertemu dengan banyak orang di ruang yang tertutup dan sempit. Dan anjuran ini sangat dipatuhi oleh banyak orang di sana,” terang Reisa.

Jadi social conformity tidak lain dan tidak bukan, kata Reisa, adalah kepatuhan terhadap anjuran otoritas kesehatan atau pemerintah. Mereka yang patuh dan disiplin mematuhi anjuran selama ini ada #dirumahsaja dan menaati Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) termasuk kelompok ini.

“Untuk itu kami berterima kasih banyak karena merekalah yang berjasa menurunkan angka penularan di beberapa daerah termasuk DKI Jakarta di bawah rata-rata satu,” jelas Reisa.

Sementara di China Taipei, para dokter di rumah sakit negara ini membuat sistem pemantauan pasien tanpa kontak. “Sebenarnya tujuannya adalah untuk mengurangi risiko terpapar virus bagi dokter dan perawat yang merawat pasien COVID-19,” kata Reisa.

“Karena menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia orang yang paling berisiko tertular adalah orang yang kontak erat dengan pasien. Termasuk mereka yang merawat pasien COVID-19,” tambah Reisa.

Ia pun mengingatkan cara interaksi di masyarakat, pasalnya masa inkubasi virus COVID-19 bervariasi yakni 2 sampai 14 hari. “Ingat kembali bahwa ada yang namanya masa inkubasi yakni masa di mana seseorang itu terinfeksi dari mulai masuknya virus tersebut ke badan sampai dengan munculnya gejala penyakit pada tubuhnya. Masa ini bervariasi antara 2 sampai 14 hari,” jelasnya. (Baca juga: Mencari Format Terbaik Pendidikan di Pesantren dalam Pandemi Corona)

“Artinya, bisa ada orang-orang terinfeksi tetapi tidak atau belum menunjukkan gejala, atau menunjukkan gejala yang sangat ringan yang menunjukkannya masih bisa beraktivitas seperti biasa. Ingat kontak fisik, ingat jaga jarak,” tambah Reisa.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1608 seconds (0.1#10.140)