Membayangkan Wajah Kepemerintahan Pasca-Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
Sudarsono
Penulis Buku "Legal Issues Pada Peradilan TUN Pasca-Reformasi", Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga
INDONESIA kini masih menghadapi banyak tantangan akibat terjadinya pandemi virus korona (Covid-19). Salah satu tantangan mendasar dalam mengatasi Covid-19 tersebut adalah kepemerintahan, sebagai pengorganisiran perintah/wewenang, yang melibatkan pemerintah (state ) dan warga masyarakat (society ). Pada level pemerintah, terlihat masih lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah, baik di pusat maupun daerah dalam menangani Covid-19. Sementara pada level masyarakat juga terlihat banyak permasalahan, mulai dari penyebaran berita bohong (hoax ) terkait Covid-19, politisasi bencana, politisasi SARA, hingga penimbunan alat kesehatan guna meraup keuntungan pribadi.
Tantangan kepemerintahan yang terjadi pada masa darurat pasti akan dipikirkan secara lebih mendalam dan disikapi secara lebih cepat dibandingkan apabila terjadi pada masa normal. Hasilnya bukan hanya sebatas mengatasi pandemi di masa darurat, namun secara permanen dapat mewujudkan tata kepemerintahan yang lebih baik pada masa mendatang. Tulisan ini akan mengulas tantangan dan peluang yang dapat diambil guna mewujudkan kepemerintahan Indonesia yang efektif pasca pandemi Covid-19.
Pemberdayaan Pemerintah dan Masyarakat
Alinea IV Pembukaan UUD 1945 menghendaki pemerintah harus aktif dalam "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa". Prasyarat terwujudnya pemerintahan yang mampu melindungi warganya adalah pemerintahan yang efektif, yaitu pemerintah yang memiliki legitimasi dan otoritas di mana semua kebijakannya ditaati oleh masyarakat sehingga dapat mewujudkan tatanan sosial yang tertib, aman, dan bebas. Sebaliknya, apabila pemerintah lemah dan tidak efektif, yang akan berperan adalah "perusahaan multinasional, organisasi nonpemerintah, organisasi internasional, sindikat kejahatan, kelompok teroris, dan sejenisnya" (Francis Fukuyama, 2005: 157).
Daron Acemoglu dan James A Robinson menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh institusi politiknya. Institusi politik yang terbukti sukses menyejahterakan warganya adalah institusi inklusif, yaitu institusi politik yang tersentralisasi dan beragam. Tersentralisasi bermakna terpusat dan kuat, sedangkan beragam bermakna adanya distribusi kekuasaan yang terkontrol untuk mencegah otoritarianisme (2017: 85-86). Indonesia saat ini dianugerahi institusi politik yang beragam.
Tatanan sistem demokrasi Indonesia sudah terlembaga dengan mapan, mulai dari kuatnya kedudukan Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD, DPRD), kekuasaan kehakiman yang independen, pemilu, media pers yang bebas, hingga adanya berbagai organisasi masyarakat sehingga kontrol terhadap pemerintah sangatlah kuat. Keragaman institusi politik ini harus diorkestrasi dan dikoordinasi dengan baik agar terwujud kepemerintahan yang efektif.
Adanya wabah Covid-19 dapat dijadikan momentum koordinasi antarlembaga pemerintahan, baik secara horizontal (eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun secara vertikal (pusat, provinsi, kabupaten/kota). Hasilnya, setiap badan/pejabat pemerintahan harus tahu kedudukan dan kewenangan (tupoksi) yang dimilikinya, prosedur menjalankannya, dan mekanisme pengawasan dalam menjalankan kewenangannya tersebut.
Dalam konsep pemerintahan modern, kedudukan masyarakat pada pelaksanaan pemerintahan sangat vital. Pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan sendiri pelayanan pemerintahan (citizen empowerment ) adalah tuntutan zaman. Warga masyarakat bukan lagi sebatas memberikan legitimasi kepada pemerintah melalui pemilu, namun juga menjadi penopang terlaksananya good governance , yaitu melalui peran serta masyarakat pada penerbitan kebijakan pemerintahan, pengawasan atas penyalahgunaan wewenang, dan pengembangan SDM.
Pasal 7 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan telah mengatur bahwa pemerintah wajib memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat keputusan/tindakan. Dengan pelibatan warga masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan maka tidak ada lagi isu yang mempertanyakan keterwakilan (representativeness ), akuntabilitas (accountability ), dan keterbukaan (transparency ). Dengan masyarakat yang berdaya dan partisipatif maka tindakan sebagian warga masyarakat seperti penyebaran berita bohong (hoax ), politisasi SARA, ataupun kejahatan lainnya berupa pencarian keuntungan pribadi dengan merugikan publik akan hilang dengan sendirinya.
E-Government
Pandemi Covid-19 telah mengubah pola interaksi dan komunikasi di pemerintahan dan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi. Sebelum terjadinya pandemi Covid-19, pemerintahan di Indonesia mulai melaksanakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang lebih dikenal sebagai e-Government, dengan tiga domain utama berupa kebijakan, tata kelola, dan layanan (Perpres 95/2018).
E-Government ini sejalan dengan UU ITE (yang mengatur Transaksi Elektronik Lembaga Pemerintahan/Publik, Pasal 17) dan UU Administrasi Pemerintahan (yang mengatur keputusan berbentuk elektronik, Pasal 38). Pada saat ini telah banyak layanan pemerintahan yang dilaksanakan secara online mulai dari Perizinan Secara Online (oss.go.id), SIOLA pada Kementerian Dalam Negeri, hingga aplikasi Smart Kampung oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Pelaksanaan e-Government tersebut semestinya dapat dikembangkan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan masyarakat yang berdaya. Pertama, pada level pemerintahan, di antara problem utama mewujudkan pemerintahan yang efektif adalah masih melekatnya individu si pejabat dengan jabatan yang diembannya, yang biasanya berujung pada perilaku maladministrasi. Padahal, pemerintahan yang baik mensyaratkan kemampuan merumus (formuleren ), mengorganisasi (organiseren ), dan memanajemen (besturen en beheren ), yang kesemuanya harus dilakukan "tanpa pamrih apa-apa, murni menurut suatu disiplin yang tidak mengandung sentimen atau emosi, serta tanpa menimbulkan iri hati dan kesempatan jegal menjegal" (S Prajudi Atmosudirdjo, 1986: 182-183).
Dengan e-Government , yang diwujudkan dalam suatu aplikasi layanan maka setiap pejabat akan mengetahui wewenangnya masing-masing, tidak lagi saling berebut wewenang ataupun "terbawa perasaan". Prosedur pelayanannya juga telah ditentukan dalam aplikasi tersebut sehingga mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya.
Kedua, pada level warga masyarakat, dengan adanya e-Government maka peran masyarakat dapat diberdayakan dengan masif. Pemerintah hanya perlu melibatkan masyarakat dengan membuat aplikasi yang memungkinkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam konteks Covid-19 ini, misalnya, aplikasi tersebut dapat melibatkan pemerintah pusat, daerah, hingga ketua RT, yang berisi pelaksanaan penanganan Covid-19, laporan data warga sakit, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, hingga penyaluran dan pengawasan bantuan. Pengalaman negara-negara yang pemerintahannya telah beralih menjadi e-Government menunjukkan adanya keterbukaan, efektivitas dan efisiensi pelayanan pemerintahan sehingga legitimasi/kepercayaan warga masyarakat kepada pemerintah meningkat sangat tinggi.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan kelemahan tata kelola pemerintahan dan sistem kemasyarakatan kita sehingga harus dijadikan momentum penguatan manajemen kepemerintahan, antara lain melalui optimalisasi e-Government . Hanya dengan kepemerintahan yang efektif berupa pemerintah yang inklusif dan masyarakat yang partisipatif, tantangan bangsa ini ke depan dapat diselesaikan dengan baik.
Tanpa adanya pemerintahan yang efektif dan warga masyarakat yang partisipasif maka yang akan terjadi adalah dibajaknya negara dan masyarakat oleh, meminjam ungkapan Fukuyama, "perusahaan multinasional, organisasi nonpemerintah, sindikat kejahatan, kelompok teroris, dan sejenisnya". Atau, meminjam PW Singer dalam Ghost Fleet , negara dapat jatuh dalam anarki.
Penulis Buku "Legal Issues Pada Peradilan TUN Pasca-Reformasi", Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga
INDONESIA kini masih menghadapi banyak tantangan akibat terjadinya pandemi virus korona (Covid-19). Salah satu tantangan mendasar dalam mengatasi Covid-19 tersebut adalah kepemerintahan, sebagai pengorganisiran perintah/wewenang, yang melibatkan pemerintah (state ) dan warga masyarakat (society ). Pada level pemerintah, terlihat masih lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah, baik di pusat maupun daerah dalam menangani Covid-19. Sementara pada level masyarakat juga terlihat banyak permasalahan, mulai dari penyebaran berita bohong (hoax ) terkait Covid-19, politisasi bencana, politisasi SARA, hingga penimbunan alat kesehatan guna meraup keuntungan pribadi.
Tantangan kepemerintahan yang terjadi pada masa darurat pasti akan dipikirkan secara lebih mendalam dan disikapi secara lebih cepat dibandingkan apabila terjadi pada masa normal. Hasilnya bukan hanya sebatas mengatasi pandemi di masa darurat, namun secara permanen dapat mewujudkan tata kepemerintahan yang lebih baik pada masa mendatang. Tulisan ini akan mengulas tantangan dan peluang yang dapat diambil guna mewujudkan kepemerintahan Indonesia yang efektif pasca pandemi Covid-19.
Pemberdayaan Pemerintah dan Masyarakat
Alinea IV Pembukaan UUD 1945 menghendaki pemerintah harus aktif dalam "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa". Prasyarat terwujudnya pemerintahan yang mampu melindungi warganya adalah pemerintahan yang efektif, yaitu pemerintah yang memiliki legitimasi dan otoritas di mana semua kebijakannya ditaati oleh masyarakat sehingga dapat mewujudkan tatanan sosial yang tertib, aman, dan bebas. Sebaliknya, apabila pemerintah lemah dan tidak efektif, yang akan berperan adalah "perusahaan multinasional, organisasi nonpemerintah, organisasi internasional, sindikat kejahatan, kelompok teroris, dan sejenisnya" (Francis Fukuyama, 2005: 157).
Daron Acemoglu dan James A Robinson menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh institusi politiknya. Institusi politik yang terbukti sukses menyejahterakan warganya adalah institusi inklusif, yaitu institusi politik yang tersentralisasi dan beragam. Tersentralisasi bermakna terpusat dan kuat, sedangkan beragam bermakna adanya distribusi kekuasaan yang terkontrol untuk mencegah otoritarianisme (2017: 85-86). Indonesia saat ini dianugerahi institusi politik yang beragam.
Tatanan sistem demokrasi Indonesia sudah terlembaga dengan mapan, mulai dari kuatnya kedudukan Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD, DPRD), kekuasaan kehakiman yang independen, pemilu, media pers yang bebas, hingga adanya berbagai organisasi masyarakat sehingga kontrol terhadap pemerintah sangatlah kuat. Keragaman institusi politik ini harus diorkestrasi dan dikoordinasi dengan baik agar terwujud kepemerintahan yang efektif.
Adanya wabah Covid-19 dapat dijadikan momentum koordinasi antarlembaga pemerintahan, baik secara horizontal (eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun secara vertikal (pusat, provinsi, kabupaten/kota). Hasilnya, setiap badan/pejabat pemerintahan harus tahu kedudukan dan kewenangan (tupoksi) yang dimilikinya, prosedur menjalankannya, dan mekanisme pengawasan dalam menjalankan kewenangannya tersebut.
Dalam konsep pemerintahan modern, kedudukan masyarakat pada pelaksanaan pemerintahan sangat vital. Pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan sendiri pelayanan pemerintahan (citizen empowerment ) adalah tuntutan zaman. Warga masyarakat bukan lagi sebatas memberikan legitimasi kepada pemerintah melalui pemilu, namun juga menjadi penopang terlaksananya good governance , yaitu melalui peran serta masyarakat pada penerbitan kebijakan pemerintahan, pengawasan atas penyalahgunaan wewenang, dan pengembangan SDM.
Pasal 7 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan telah mengatur bahwa pemerintah wajib memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat keputusan/tindakan. Dengan pelibatan warga masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan maka tidak ada lagi isu yang mempertanyakan keterwakilan (representativeness ), akuntabilitas (accountability ), dan keterbukaan (transparency ). Dengan masyarakat yang berdaya dan partisipatif maka tindakan sebagian warga masyarakat seperti penyebaran berita bohong (hoax ), politisasi SARA, ataupun kejahatan lainnya berupa pencarian keuntungan pribadi dengan merugikan publik akan hilang dengan sendirinya.
E-Government
Pandemi Covid-19 telah mengubah pola interaksi dan komunikasi di pemerintahan dan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi. Sebelum terjadinya pandemi Covid-19, pemerintahan di Indonesia mulai melaksanakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang lebih dikenal sebagai e-Government, dengan tiga domain utama berupa kebijakan, tata kelola, dan layanan (Perpres 95/2018).
E-Government ini sejalan dengan UU ITE (yang mengatur Transaksi Elektronik Lembaga Pemerintahan/Publik, Pasal 17) dan UU Administrasi Pemerintahan (yang mengatur keputusan berbentuk elektronik, Pasal 38). Pada saat ini telah banyak layanan pemerintahan yang dilaksanakan secara online mulai dari Perizinan Secara Online (oss.go.id), SIOLA pada Kementerian Dalam Negeri, hingga aplikasi Smart Kampung oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Pelaksanaan e-Government tersebut semestinya dapat dikembangkan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan masyarakat yang berdaya. Pertama, pada level pemerintahan, di antara problem utama mewujudkan pemerintahan yang efektif adalah masih melekatnya individu si pejabat dengan jabatan yang diembannya, yang biasanya berujung pada perilaku maladministrasi. Padahal, pemerintahan yang baik mensyaratkan kemampuan merumus (formuleren ), mengorganisasi (organiseren ), dan memanajemen (besturen en beheren ), yang kesemuanya harus dilakukan "tanpa pamrih apa-apa, murni menurut suatu disiplin yang tidak mengandung sentimen atau emosi, serta tanpa menimbulkan iri hati dan kesempatan jegal menjegal" (S Prajudi Atmosudirdjo, 1986: 182-183).
Dengan e-Government , yang diwujudkan dalam suatu aplikasi layanan maka setiap pejabat akan mengetahui wewenangnya masing-masing, tidak lagi saling berebut wewenang ataupun "terbawa perasaan". Prosedur pelayanannya juga telah ditentukan dalam aplikasi tersebut sehingga mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya.
Kedua, pada level warga masyarakat, dengan adanya e-Government maka peran masyarakat dapat diberdayakan dengan masif. Pemerintah hanya perlu melibatkan masyarakat dengan membuat aplikasi yang memungkinkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam konteks Covid-19 ini, misalnya, aplikasi tersebut dapat melibatkan pemerintah pusat, daerah, hingga ketua RT, yang berisi pelaksanaan penanganan Covid-19, laporan data warga sakit, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, hingga penyaluran dan pengawasan bantuan. Pengalaman negara-negara yang pemerintahannya telah beralih menjadi e-Government menunjukkan adanya keterbukaan, efektivitas dan efisiensi pelayanan pemerintahan sehingga legitimasi/kepercayaan warga masyarakat kepada pemerintah meningkat sangat tinggi.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan kelemahan tata kelola pemerintahan dan sistem kemasyarakatan kita sehingga harus dijadikan momentum penguatan manajemen kepemerintahan, antara lain melalui optimalisasi e-Government . Hanya dengan kepemerintahan yang efektif berupa pemerintah yang inklusif dan masyarakat yang partisipatif, tantangan bangsa ini ke depan dapat diselesaikan dengan baik.
Tanpa adanya pemerintahan yang efektif dan warga masyarakat yang partisipasif maka yang akan terjadi adalah dibajaknya negara dan masyarakat oleh, meminjam ungkapan Fukuyama, "perusahaan multinasional, organisasi nonpemerintah, sindikat kejahatan, kelompok teroris, dan sejenisnya". Atau, meminjam PW Singer dalam Ghost Fleet , negara dapat jatuh dalam anarki.
(jon)