Mengantisipasi Ekosistem Baru Perumahan

Kamis, 27 Januari 2022 - 14:45 WIB
loading...
Mengantisipasi Ekosistem Baru Perumahan
Sunarsip (Foto: Ist)
A A A
Sunarsip
Senior Economist, The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

EKOSISTEM (ecosystem) perumahan diperkirakan akan mengalami perubahan lanskap. Perubahan ini terjadi akibat lingkungan sektor perumahan yang juga berubah. Setidaknya terdapat tiga faktor yang akan mendorong terjadinya perubahan pada ekosistem perumahan tersebut. Pertama, munculnya tuntutan terhadap lingkungan dan hunian yang semakin hijau (green housing). Kedua, mobilitas masyarakat yang semakin tinggi. Ketiga, digitalisasi yang semakin agresif.

Lanskap dan Ekosistem Baru
Tuntutan terhadap lingkungan yang bersih semakin dibutuhkan oleh sektor perumahan. Terlebih, tren global saat ini memang sedang mengarah ke net zero emission (NZE). Sebagaimana diketahui, dunia telah menyepakati suatu sasaran (goal) bersama bahwa pada 2050 nanti kita akan menuju NZE, sebagaimana yang telah ditetapkan pada COP21 di Paris 2015. Oleh karenanya, setiap aktivitas ekonomi harus mendukung upaya mengarah ke NZE tersebut. Termasuk, aktivitas di sektor perumahan, mulai dari sejak konstruksi hingga rumah telah ditempati.

Penggunaan energi selama kontruksi perumahan, misalnya, akan beralih dari bahan bakar tinggi emisi (seperti BBM atau batubara) ke rendah emisi (gas dan energi terbarukan). Kini, pembangunan perumahan berikut dengan instalasi panel surya atau PLTS Atap telah menjadi tren di luar negeri dan mulai diikuti di Indonesia. Kawasan perumahan juga kini mulai memikirkan ruang hijau yang lebih luas. Kondisi ini tentunya akan memengaruhi proses bisnis perumahan.

Selain kesadaran terhadap lingkungan perumahan yang bersih, perubahan gaya hidup juga telah memengaruhi persepsi terhadap kebutuhan perumahan. Khususnya di negara-negara maju (advanced economies, AE), kini sewa rumah telah menjadi tren dalam pemenuhan kebutuhan perumahan. Kebutuhan perumahan tidak harus dengan membeli, tetapi cukup dengan sewa seiring meningkatnya mobilitas terutama pada kelompok usia muda. Kini, sewa rumah sudah menjadi kebutuhan dasar perumahan di AE. Permintaan sewa tetap tinggi, sehingga harga sewa hampir setiap tahunnya meningkat.

Kajian IMF (2021) memperlihatkan bahwa tingginya harga sewa rumah di Eropa telah menyebabkan para penyewa sebagai pihak yang paling berisiko selama Covid-19. Tingginya harga sewa telah menyebabkan sebagian besar pendapatan mereka dipergunakan untuk membayar sewa. Tingginya harga sewa juga turut mendorong kenaikan harga jual rumah. Data dari Bank for Internasional Settlement (2021) memperlihatkan harga rumah di AE tetap naik setiap tahun, seolah tidak terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Otoritas di Eropa, misalnya, memberikan perhatian terhadap kegiatan sewa rumah. Ini mengingat, aktivitas sewa dapat memengaruhi tidak hanya terhadap perkembangan harga sewa tetapi juga memengaruhi harga jual rumah.

Salah satu faktor yang turut memengaruhi persepsi terhadap kebutuhan perumahan adalah digitalisasi. Digitalisasi yang masif telah mengubah perilaku orang baik ketika bekerja maupun aktivitas lainnya. Kini, bekerja tidak harus dilakukan di kantor. Kini belanja tidak harus ke pusat perbelanjaan tetapi dapat dilakukan di rumah. Tren work from home (WFH) diperkirakan akan berlanjut sekalipun pandemi Covid-19 telah selesai. Kondisi ini tentunya akan mendorong permintaan terhadap rumah yang memiliki ruang hidup yang luas dan nyaman akan meningkat.

Perubahan perilaku, gaya hidup dan persepsi orang terhadap kebutuhan perumahan ini akan membentuk ekosistem baru di sektor perumahan (new housing ecosystem). Lanskap bisnis perumahan juga akan berubah. Bila dahulu kebutuhan perumahan selalu dimaknai dengan membeli, ke depan cukup dengan sewa. Bila dahulu rumah tinggal didekatkan dengan tempat bekerja, ke depan dapat dibangun jauh dari tempat kerja demi memperoleh ruang yang lebih nyaman dan mendukung hidup lebih sehat.

Di Indonesia memang belum semasif di AE terkait dengan perilaku dan persepsi terhadap kebutuhan perumahan. Namun, bila melihat tren yang terjadi, di mana aktivitas sewa yang menunjukan peningkatan, tentunya fenomena ini perlu ditangkap sebagai tren baru. Terlebih, bila ibukota negara telah pindah dari Jakarta. Data BPS (2021) menunjukkan bahwa sejak 2011 status kepemilikan rumah kontrak/sewa meningkat dari 7,88% (2012) menjadi 9,64% (2019) dan 9,27% (2020). Kontrak/sewa rumah terutama banyak terjadi di Jakarta, Bali, dan daerah-daerah pusat industri besar, pertambangan dan perkebunan.

Antisipasi Stakeholder
Perubahan ekosistem di sektor perumahan ini tentunya perlu diantisipasi, baik oleh pemerintah dan otoritas lainnya, pelaku usaha (pengembang), maupun lembaga keuangan (terutama perbankan). Sebagai misal, pemerintah, otoritas fiskal, dan otoritas moneter mungkin sudah perlu mulai memperhatikan perilaku di bisnis sewa properti. Selama ini, Bank Indonesia (BI) telah memiliki alat monitoring untuk memantau perkembangan harga properti dalam rangka pengembangan kebijakan makroprudensial. Ke depan, BI perlu menambah variabel baru dalam kegiatan monitoring tersebut dengan menambahkan variabel perkembangan harga sewa. Ini penting, belajar dari kasus di Eropa, harga sewa juga memiliki pertalian yang erat dengan harga jual rumah.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.5521 seconds (0.1#10.140)