NU Anonim

Rabu, 26 Januari 2022 - 15:24 WIB
loading...
NU Anonim
Ali Usman (Foto: Ist)
A A A
Ali Usman
Jamaah Nahdliyin Yogyakarta

APA itu “NU anomim”? Istilah anonim (anonymous), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tanpa nama; tidak beridentitas; awanama; dan tidak ada penandatangannya. Anonim merupakan julukan atau sebutan bagi seseorang yang tidak menampakkan identitas aslinya.

Lalu, tepatkah disematkan ke dalam konteks Nahdlatul Ulama (NU)? Apa maksudnya? NU anonim tidak merujuk pada orang-orang yang kadar ke-NU-annya mencapai 24 karat, tetapi mengacu pada setidaknya empat corak individu.

Pertama, orang NU yang meninggalkan ke-NU-annya secara formal, namun secara kultural masih mengaku sebagai orang NU, dan merasa bangga pernah menjadi orang NU. Karena ia dibesarkan dari rahim NU (keluarga dan lingkungan sekitar), maka wajar kalau cara beribadahnya, meski secara formal tidak dianggap lagi sebagai orang NU, tetap menjalankan amaliyah yang diajarkan dalam tradisi NU, seperti tahlilan, baca qunut saat salat subuh, ziarah wali, membaca Barzanji, dan sebagainya.

Tipe pertama ini termasuk orang-orang yang semula NU, memilih “hijrah” ke ormas lain, baik ke Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, hingga FPI, HTI, MMI, dan lain-lain. Jika ditanya alasan, boleh jadi, ada ragam motif, baik ekonomi, pendidikan, mapun politik, sehingga keputusan untuk berteduh di rumah selain NU merupkan pilihan sadar, nyaman, rasional, dan prospektif.

Kedua, orang NU yang enggan disebut sebagai orang NU. Menjadi orang NU, bagi tipe ini, meski ia sadar dirinya memang orang NU, seolah aib. Meski jumlahnya tidak banyak, tetapi ada model demikian, terutama orang NU yang berkarier di lingkungan yang menekankan profesionalitas. Atau ada juga orang yang sengaja menyembunyikan identitas ke-NU-annya untuk kepentingan pragmatis.

Sikap mengaku diri sebagai orang NU memang bukan suatu kewajiban, dan itu hak setiap individu. Namun, jika merefleksikan situasi sosial-politik kita, sikap “malu-malu” sebagai orang NU, merupakan langkah mundur. Mengapa demikian?

NU, terutama pasca-Reformasi 1998, telah mengalami transformasi yang sangat pesat di semua lini kehidupan. Hal ini terjadi selain lantaran iklim politik yang sehat, dan itu dimanfaatkan oleh NU—juga tidak bisa dilepaskan dari peran aktor-aktor tertentu, seperti oleh almarhum KH Abdurahman Wahid alis Gus Dur. Jendela dunia telah dibuka oleh Gus Dur, dan dengan itu warga nahdliyin pada akhirnya sadar diri bahwa sikap dan tradisi orang-orang NU sangat berarti dan adaptif di tengah pusaran zaman.

NU secara politik, melalui tokoh-tokohnya, ikut terlibat dalam masa transisi, dari Orde Baru ke Reformasi. Sejak itu dan hingga sekarang, NU tampil pede mengekpresikan ragam pandangan keagamaan, politik, sosial-budaya, dan sebagainya, untuk berkontribusi positif dalam mengisi rumah besar bernama Indonesia ke arah yang lebih baik.

“Orang Luar NU”
Ketiga, tipe orang NU “seperempat matang”. Artinya, kalau pun ia orang NU, sebagai “NU dadakan”, “NU muallaf”, hasil dari semacam pelatihan kader yang diselenggarakan oleh lembaga NU; atau ada orang tertentu yang tiba-tiba dihadiahi Kartanu; termasuk dipakaikan baju seragam (dan atribut-atribut lain) Ansor/Banser.

Fenomena yang demikian dapat ditinjau dari dua sisi: positif dan negatif. Dari sisi positif, barangkali tipe-model ini bagi sebagian kalangan dianggap menambah jumlah anggota NU dan membawa citra baik untuk organisasi, apalagi “pendatang baru” itu dari kalangan tokoh publik, aktivis media sosial yang vokal, dan lainnya.

Namun hal itu pun tetap mengandung risiko. Seorang tokoh publik yang (seolah) aktivitasnya memperoleh legitimasi NU karena memperoleh “hadiah” Kartanu atau seragam Banser, misalnya, justru akan merugikan NU jika ia melakukan kesalahan yang tak sesuai dengan nilai-nilai ke-NU-an.

Sekadar menyebut kasus yang relevan dengan tipe orang NU seperti ini ada pada Permadi Arya alias Abu Janda, seorang pegiat media sosial yang mengaku kader NU, bahkan aktif sebagai kader Banser. Namun, begitu Abu Janda membuat kesalahan fatal, publik ramai-ramai mempertanyakan ke-NU-annya.

Keempat, bukan orang NU tetapi secara kultural merasa menjadi bagian dari NU; atau ia bangga diatributkan sebagai orang NU, meski secara formal memang bukan orang NU, bahkan non-muslim. Pandangan “orang luar NU”—tipe keempat ini—terhadap NU merupakan pengakuan objektif. Mereka, sebagaimana sering dijumpai dalam interaksi langsung di berbagai forum maupun media sosial, merasa nyaman dengan NU, sampai-sampai, ada “guyonan”, bahwa jika mereka dari kalangan Katolik, misalnya, disematkan sebagai “NU cabang Katolik”.

Sampai di sini muncul pertanyaan, apa faktor yang menjadi penyebab “orang luar NU” (NU anonim tipe keempat) mencintai NU, merasa nyaman dengan NU, dan mendukung langkah-langkah sosial yang dilakukan oleh NU? Dalam pengamatan saya, faktor utamanya adalah langkah politik kebangsaan, yang dilakukan oleh NU sejak awal pra-kemerdekaan Indonesia hingga sekarang.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0975 seconds (0.1#10.140)