Direktur SMRC: Mayoritas Masyarakat Tak Ingin Pemilu Diundur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas menyikapi pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mewakili aspirasi beberapa pengusaha dengan meminta pelaksanaan Pemilu 2024 diundur ke 2027.
Sirojudin menegaskan hingga saat ini belum ada konsensus di antara para penyelenggara negara seperti pemerintah maupun DPR untuk mengundurkan jadwal Pemilu.
Dia melanjutkan yang terpenting pengunduran jadwal pemilu bukanlah aspirasi di tingkat massa. Hal itu dikatakan Sirojudindalam Webinar Moya Institute bertajuk “Pandemi dan Siklus Politik Indonesia Jelang 2024", Jumat (21/1/2022).
"Para pendukung pengunduran jadwal Pemilu menggunakan preseden sejarah yang menunjukkan perubahan jadwal Pemilu, yakni dimajukannya jadwal Pemilu 2002 ke 1999. Tapi, yang harus diingat, konteks politik dan sosial kala itu sangat berbeda dengan sekarang," ujar Sirojudin.
Ketika itu, lanjut Sirojudin, ada krisis multidimensi yang dialami Indonesia sejak 1997 hingga melahirkan era Reformasi pada 1998. Ketidakpercayaan pada pemerintahan transisi maupun MPR/DPR hasil Pemilu 1997 sangat tinggi di kalangan masyarakat atau massa. Sehingga, para elite penyelenggara negara pun bersepakat untuk memajukan jadwal Pemilu menjadi 1999.
"Dan kondisi seperti itu, tak terjadi saat ini. Survei kami pada September 2021 lalu menunjukkan 82,5 persen responden menghendaki Pemilu tetap dilaksanakan pada 2024."
"Jadi, kebanyakan masyarakat memang tetap menginginkan hak politiknya terpenuhi di 2024, dengan tidak mengubah jadwal Pemilu," sambung Sirojudin.
Pada kesempatan yang sama Akademisi sekaligus Pengamat Politik, Prof Dr Komaruddin Hidayat menyatakan proses pendewasaan demokrasi telah terjadi saat ini. Masyarakat mulai kritis terhadap pemerintah dan partai-partai politik, termasuk dalam hal sirkulasi kepemimpinan nasional.
"Masyarakat mulai mampu memilah-milah, mana pemimpin atau partai politik yang mengecewakan mereka," ujar Komaruddin.
"Mereka juga mengetahui mana calon pemimpin yang menurut mereka memiliki kualitas bagus, namun sulit untuk maju karena tak diakomodir oleh partai," imbuh Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengingatkan berbagai pihak untuk tidak bermain 'api' dengan mengusulkan atau mengupayakan berbagai hal yang sejatinya di luar hukum dan konstitusi. Berbagai hal itu seperti mengundurkan jadwal Pemilu ke 2027, maupun mengusulkan penambahan periode Presiden Jokowi.
Hery menyatakan periodesasi penyelenggaraan Pemilu dan jabatan Presiden sudah menjadi konsensus bersama bangsa ini. Sehingga, lanjut Hery, hendaknya berbagai pihak tidak sembarangan mengubah konsensus itu demi kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
"Kecuali ada situasi yang sangat darurat, mungkin perubahan besar itu bisa dimaklumi. Tapi saat ini khan tidak terjadi demikian," tandasnya.
Sirojudin menegaskan hingga saat ini belum ada konsensus di antara para penyelenggara negara seperti pemerintah maupun DPR untuk mengundurkan jadwal Pemilu.
Dia melanjutkan yang terpenting pengunduran jadwal pemilu bukanlah aspirasi di tingkat massa. Hal itu dikatakan Sirojudindalam Webinar Moya Institute bertajuk “Pandemi dan Siklus Politik Indonesia Jelang 2024", Jumat (21/1/2022).
"Para pendukung pengunduran jadwal Pemilu menggunakan preseden sejarah yang menunjukkan perubahan jadwal Pemilu, yakni dimajukannya jadwal Pemilu 2002 ke 1999. Tapi, yang harus diingat, konteks politik dan sosial kala itu sangat berbeda dengan sekarang," ujar Sirojudin.
Ketika itu, lanjut Sirojudin, ada krisis multidimensi yang dialami Indonesia sejak 1997 hingga melahirkan era Reformasi pada 1998. Ketidakpercayaan pada pemerintahan transisi maupun MPR/DPR hasil Pemilu 1997 sangat tinggi di kalangan masyarakat atau massa. Sehingga, para elite penyelenggara negara pun bersepakat untuk memajukan jadwal Pemilu menjadi 1999.
"Dan kondisi seperti itu, tak terjadi saat ini. Survei kami pada September 2021 lalu menunjukkan 82,5 persen responden menghendaki Pemilu tetap dilaksanakan pada 2024."
"Jadi, kebanyakan masyarakat memang tetap menginginkan hak politiknya terpenuhi di 2024, dengan tidak mengubah jadwal Pemilu," sambung Sirojudin.
Pada kesempatan yang sama Akademisi sekaligus Pengamat Politik, Prof Dr Komaruddin Hidayat menyatakan proses pendewasaan demokrasi telah terjadi saat ini. Masyarakat mulai kritis terhadap pemerintah dan partai-partai politik, termasuk dalam hal sirkulasi kepemimpinan nasional.
"Masyarakat mulai mampu memilah-milah, mana pemimpin atau partai politik yang mengecewakan mereka," ujar Komaruddin.
"Mereka juga mengetahui mana calon pemimpin yang menurut mereka memiliki kualitas bagus, namun sulit untuk maju karena tak diakomodir oleh partai," imbuh Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengingatkan berbagai pihak untuk tidak bermain 'api' dengan mengusulkan atau mengupayakan berbagai hal yang sejatinya di luar hukum dan konstitusi. Berbagai hal itu seperti mengundurkan jadwal Pemilu ke 2027, maupun mengusulkan penambahan periode Presiden Jokowi.
Hery menyatakan periodesasi penyelenggaraan Pemilu dan jabatan Presiden sudah menjadi konsensus bersama bangsa ini. Sehingga, lanjut Hery, hendaknya berbagai pihak tidak sembarangan mengubah konsensus itu demi kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
Baca Juga
"Kecuali ada situasi yang sangat darurat, mungkin perubahan besar itu bisa dimaklumi. Tapi saat ini khan tidak terjadi demikian," tandasnya.
(kri)