Ketua Penasihat Ahli Kapolri Dukung Kebijakan Pecat Polisi Nakal dan Tak Profesional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo berkomitmen memberikan rewards atau penghargaan kepada anggota berprestasi dan menjatuhkan punishment atau hukuman kepada anggota yang melakukan pelanggaran dan merugikan institusi.
Terkait hal itu, Ketua Penasihat Ahli Kapolri Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto menilai, semua anggota Polri dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya harus profesional. Artinya, semua harus ahli, mahir dan terampil sesuai dengan profesinya dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan pelindungan, dan pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat.
”Selama anggota Polri bekerja berdasarkan kebiasaan atau rutinitas pekerjaan, kebiasaan yang dilakukan oleh teman atau seniornya dan bukan berdasarkan ketentuan yang seharusnya maka tidak akan membuat anggota bekerja profesional,” ujarnya, Sabtu (15/1/2022).
Begitu juga anggota Polri yang bekerja dengan cara bagaimana mendapat rezeki tambahan berkaitan dengan jabatan dan pekerjaannya maka tidak akan dapat disebut sebagai polisi profesional. Profesional untuk anggota fungsi reserse, kata Sisno, adalah kemampuan untuk bisa sebanyak mungkin mengungkap kasus yang menjadi tugas dan fungsi dalam lingkup kewenangannya.
“Bisa mengungkap kasus dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan dengan mengejar pengakuan, dapat dipercaya oleh masyarakat, bekerja dengan tidak meminta imbalan dan dalam melaksanakan proses penyidikan tidak terpengaruh oleh perilaku pihak-pihak lain yang seharusnya dibatasi oleh hukum,” kata pengamat kepolisian ini.
Sisno menyebut, anggota Polri yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional bisa dinilai berprestasi. Prestasi itu adalah penilaian orang lain atau penilaian oleh masyarakat, tolok ukurnya yaitu tindakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh publik. Menurut Sisno, prestasi Polri saat ini yang dirasakan masyarakat antara lain penanggulangan terorisme oleh Densus 88 Antiteror.
Di mana mereka dapat mengungkap dan menangkap para pelaku teror sebelum para teroris melakukan tindakan. Termasuk mengungkap jaringannya. ”Tidak ada pelaku teroris yang ditangkap oleh Densus 88 yang dibebaskan oleh pengadilan. Pelaksanaan tugas tersebut dilakukan dengan menggunakan hard approach. Sedangkan, pendekatan lunak atau soft approach adalah Densus-88 berhasil menyadarkan para teroris dan membina mereka untuk kembali kepada Pancasila dan mau bekerja sesuai dengan bimbingan dan arahan Densus 88 Antiteror Polri,” ucapnya.
Di sisi lain, sambung Sisno, sayangnya masih ada anggota Polri yang mencari sensasi dengan tujuan menarik perhatian orang banyak demi popularitas dan untuk tujuan tertentu. Misalnya, kegiatan menggerebek pelaku kejahatan dengan melibatkan wartawan untuk diliput secara langsung demi popularitas.
”Untuk mendorong dan mewujudkan agar semua anggota Polri profesional, berprestasi dan tidak mencari sensasi, seyogianya Polri mengintensifkan kebijakan yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat seperti kebijakan ”potong kepala” bagi atasan yang tidak mau atau tidak mampu menindak dan menertibkan bawahannya yang nakal atau melanggar hukum,” kata Sisno.
Bahkan, penasihat KBPP Polri ini menyebut, tindakan tegas tersebut harus diikuti dengan kebijakan pecat 5% polisi nakal dan tidak profesional untuk menyelamatkan 95% polisi baik dan profesional dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan tetap memilih untuk melaporkan masalah pelanggaran hukum dan kejahatan kepada Polri daripada lembaga lain atau media. ”Semoga Polri menjadi lebih baik dan makin dipercaya masyarakat,” ujarnya.
Terkait hal itu, Ketua Penasihat Ahli Kapolri Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto menilai, semua anggota Polri dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya harus profesional. Artinya, semua harus ahli, mahir dan terampil sesuai dengan profesinya dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan pelindungan, dan pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat.
”Selama anggota Polri bekerja berdasarkan kebiasaan atau rutinitas pekerjaan, kebiasaan yang dilakukan oleh teman atau seniornya dan bukan berdasarkan ketentuan yang seharusnya maka tidak akan membuat anggota bekerja profesional,” ujarnya, Sabtu (15/1/2022).
Begitu juga anggota Polri yang bekerja dengan cara bagaimana mendapat rezeki tambahan berkaitan dengan jabatan dan pekerjaannya maka tidak akan dapat disebut sebagai polisi profesional. Profesional untuk anggota fungsi reserse, kata Sisno, adalah kemampuan untuk bisa sebanyak mungkin mengungkap kasus yang menjadi tugas dan fungsi dalam lingkup kewenangannya.
“Bisa mengungkap kasus dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan dengan mengejar pengakuan, dapat dipercaya oleh masyarakat, bekerja dengan tidak meminta imbalan dan dalam melaksanakan proses penyidikan tidak terpengaruh oleh perilaku pihak-pihak lain yang seharusnya dibatasi oleh hukum,” kata pengamat kepolisian ini.
Sisno menyebut, anggota Polri yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional bisa dinilai berprestasi. Prestasi itu adalah penilaian orang lain atau penilaian oleh masyarakat, tolok ukurnya yaitu tindakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh publik. Menurut Sisno, prestasi Polri saat ini yang dirasakan masyarakat antara lain penanggulangan terorisme oleh Densus 88 Antiteror.
Di mana mereka dapat mengungkap dan menangkap para pelaku teror sebelum para teroris melakukan tindakan. Termasuk mengungkap jaringannya. ”Tidak ada pelaku teroris yang ditangkap oleh Densus 88 yang dibebaskan oleh pengadilan. Pelaksanaan tugas tersebut dilakukan dengan menggunakan hard approach. Sedangkan, pendekatan lunak atau soft approach adalah Densus-88 berhasil menyadarkan para teroris dan membina mereka untuk kembali kepada Pancasila dan mau bekerja sesuai dengan bimbingan dan arahan Densus 88 Antiteror Polri,” ucapnya.
Di sisi lain, sambung Sisno, sayangnya masih ada anggota Polri yang mencari sensasi dengan tujuan menarik perhatian orang banyak demi popularitas dan untuk tujuan tertentu. Misalnya, kegiatan menggerebek pelaku kejahatan dengan melibatkan wartawan untuk diliput secara langsung demi popularitas.
”Untuk mendorong dan mewujudkan agar semua anggota Polri profesional, berprestasi dan tidak mencari sensasi, seyogianya Polri mengintensifkan kebijakan yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat seperti kebijakan ”potong kepala” bagi atasan yang tidak mau atau tidak mampu menindak dan menertibkan bawahannya yang nakal atau melanggar hukum,” kata Sisno.
Bahkan, penasihat KBPP Polri ini menyebut, tindakan tegas tersebut harus diikuti dengan kebijakan pecat 5% polisi nakal dan tidak profesional untuk menyelamatkan 95% polisi baik dan profesional dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan tetap memilih untuk melaporkan masalah pelanggaran hukum dan kejahatan kepada Polri daripada lembaga lain atau media. ”Semoga Polri menjadi lebih baik dan makin dipercaya masyarakat,” ujarnya.
(cip)