Heboh Usulan Lemhannas, Ini Sejarah Kedudukan Polri Sejak Proklamasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lontaran pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional ( Lemhannas ) Agus Widjojo mengenai posisi Polri di bawah kementerian memperoleh respons beragam. Secara umum, ide tersebut dikritik karena menempatkan Polri di bawah kendali menteri, yang berarti rawan politisasi serta mengancam independensi penegakan hukum oleh Polri.
Seperti diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD, diskursus soal kedudukan Polri sudah terjadi sejak sekitar 20 tahun silam. Isu soal kedudukan Polri mengemuka sejak gelombang reformasi 1998. Ada tuntutan pemisahan antara TNI dan Polri. Hal ini lalu ditindakjanjuti dengan dua ketetapan MPR yang melahirkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Tetapi bahkan setelah UU tersebut disahkan, isu soal posisi Polri dalam sistem kenegaraan juga belum mengendur. Kendati telah dipisahkan dari TNI, kedudukan Polri di bawah Presiden juga masih mengundang perdebatan.
”Kedudukan Polri di bawah Presiden juga menjadi kontroversi. Dari sudut pandang Polri kedudukan ini mendorong independensi dan otonomi Polri, yang menjamin profesionalisme Polri. Sementara organisasi masyarakat sipil, politisi dan militer melihat struktur polisi seperti itu tidak lazim di negara demokrasi. Posisi Polri dikhawatirkan mendorong institusi kepolisian memasuki wilayah politisasi Presiden,” demikian pernyataan bagian latar belakang Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Format Kepolisian RI di Masa Depan Kemenkumham pada 2011, dikutip Selasa (4/1/2022).
Polri secara kelembagaan mengalami perubahan-perubahan sejak Indonesia merdeka. Perkembangan kepolisian Indonesia itu terjadi mengikuti perubahan pemerintahan, undang-undang maupun kebutuhannya. Berikut fase perkembangan kedudukan Polri dalam sistem kenegaraan Indonesia, disarikan dalam laporan tim kajian yang diketuai Noor M Aziz, S.H., M.H., M.M
1. Periode Awal Kemerdekaan
Foto/polri.go.id
Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, Polri ditempatkan di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Pada 29 September 1945 R.S Soekanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI pertama. Soekanto mengkoordinasikan kepolisian daerah di Jawa. Ketika Belanda dan Inggris melakukan agresi militer Polri menyatakan diri sebagai “combatant”.
Ketika sistem sistem presidensial bergani menjadi parlementer, pada 25 Juni 1946 dikeluarkan Penetapan Presiden RI Soekarno dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono. Isinya menetapkan Jawatan Kepolisian dikeluarkan dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri sebagai Jawatan tersendiri, langsung di bawah pimpinan Perdana Menteri.
Dengan demikian, struktur organisasi Jawatan Kepolisian Negara 1 Juli 1946 berada di bawah Perdana Menteri. Kemudian menurut Undang-Undang No 22 Tahun 1948 struktur organisasi kepolisian tingkat pusat Kepolisian Negara, Kepolisian Propinsi, Karesidenan, Kabupaten, Wilayah, Sub Wilayah.
2. Periode Republik Indonesia Serikat (1949-Agustus 1950)
Penyelenggaraan kepolisian menjadoi tanggung jawab dari masingmasing negara bagian. Hal ini menjadi kendala bagi Jawatan Kepolisian pada waktu itu. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 negara Indonesia kembali berbentuk negara kesatuan. Dalam periode yang singkat ini R.S. Soekanto selaku Kepala Kepolisian Negara RIS bertugas menyatukan Kepolisian Negara RI (sebagai negara bagian) dengan bekas-bekas kepolisian dari negara-negara bagian bikinan Belanda. R.S. Soekanto mengutamakan profesionalisme dalam seleksi anggota.
3. Periode Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Masa ini ditandai dengan keluarnya UUDS 1950. Sistem parlementer digunakan yang mengakibatkan lahirnya banyak partai sehingga tidak ada partai mayoritas. Kondisi ini mengakibatkan pemerintah berganti hampir setiap tahun termasuk Perdana Menterinya. Dalam kondisi demikian Polri tetap mandiri dan tidak dipengaruhi partai manapun.. Pada tahun 1955 Polri pertama kali mengamankan Pemilu. Selain itu ditetapkan juga Tri Brata sebagai pedoman hidup dan catur Prasetya sebagai pedoman karya Polri.
Organisasi kepolisian pada negara kesatuan 17 Agustus 1950 berada di bawah Perdana Menteri dengan struktur pada tingkat pusat Jawatan Kepolisian berturut-turut Polisi Propinsi, Karesidenan, Kabupaten, Wilayah, Sub Wilayah dan Pos-Pos Polisi. Berkaitan dengan keluarnya UU Pokok Pemerintahan Daerah No 1 Tahun 1957 maka susunan/struktur organisasi berubah menjadi pada tingkat pusat Kepolisian Negara dan berturut-turut ke bawah Komisariat Inspeksi Kepolisian, Resort, Distrik, Sektor dan Pos Polisi.
4. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Foto/polri.go.id
Meletusnya peristiwa PRRI/Permesta membuat Presiden Soekarno menyatakan “kembali ke UUD 1945” untuk mengatasi keadaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Berdasarkan Kepres No 154 Tahun 1959 Tanggal 15 Juli 1959 dibentuk Departemen Kepolisian. Sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian, sedangkan Jawatan Kepolisian menjadi Departemen Kepolisian. Struktur organisasi berturut-turut dari tingkat pusat Kepolisian Negara, Komisariat, Inspeksi, Resort, Distrik dan Sektor.
Pada tahun 1959 keluar UU No 23 tahun 1959 tentang “keadaan bahaya” yang membagi 4 bentuk keamanan (Tertib Sipil-Darurat SipilDarurat Militer-Darurat Perang). Tanggung jawab keamanan dalam Tertib Sipil dan Darurat Sipil diserahkan kepada Polri, sedangkan dalam Darurat Militer dan Darurat Perang diserahkan kepada Angkatan Perang (AD-ALAU). Kemudian pada tahun 1961 keluar UU No 13 tahun 1961 tentang Kepolisian Negara RI yang menyatakan bahwa Polri adalah bagian dari ABRI.
5. Periode Orde Baru (1966-1998)
Foto/polri.go.id
Terjadi peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Letnan Jenderal Soeharto yang semula sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menjadi Ketua Presidium Kabinet, Pejabat Presiden dan kemudian menjadi Presiden RI melalui SP 11 Maret 1966 dan TAP MPRS tahun 1967. PKI dianggap telah berusaha memecah ABRI sehingga ABRI perlu diperkuat melalui integrasi ABRI. Kemudian dibentuk Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Markas Besar ABRI yang dipimpin oleh seorang Menhankam/Pangab. Polri berada di bawah Menhankam dan Pangab.
Struktur organisasi Polisi berubah diwarnai dengan integrasi Polisi ke dalam ABRI di mana Polisi bertanggung jawab kepada Menhankam/Pangab. Struktur organisasi berturut-turut dari tingkat pusat Angkatan Kepolisian, Daerah Angkatan Kepolisian Kota Besar, Resort, Distrik, Sektor (Peraturan Menpangab No.Pol.:5/Prt/ Menpangab/ 1967,Tanggal 1 Juli 1967). Kemudian keluar Keputusan Menhankam/ Pangab No. Kep/A/385/UU/1979 struktur organisasi mulai tingkat pusat Mabes Polri, Komdak, Komwil/Komwilko, Komdis dan Komsek/Ko. Kemudian keluar Keputusan Pangab No. Kep/II/P/M/1984 tanggal 31 Maret 1984 tentang reorganisasi Polri, struktur organisasi mulai tingkat pusat Mabes Polri, Polda, Polwil/Tabes, Polres/Ta/Tabes/Metro, Polsek/Ta/Metro, Pospol.
6. Periode Reformasi (1998-sekarang)
Kemunduran Polri selama 30 tahun di bawah Menhankam/Pangab adalah kekeliruan menerapkan integrasi ABRI dengan menyamakan Polri dengan Angkatan Perang tanpa memahami bidang kepolisian secara baik, jadi BUKAN karena pertimbangan politik melemahkan Polri. Hal ini diakui oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto pada 1 Juli 1999. Amandemen UUD 1945, TAP MPR VI dan VII tahun 2000, serta lahirnya UU No 2 tahun 2002 telah memantapkan kemandirian Polri sebagai “Kepolisian Nasional” dan berkedudukan di bawah Presiden.
Seperti diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD, diskursus soal kedudukan Polri sudah terjadi sejak sekitar 20 tahun silam. Isu soal kedudukan Polri mengemuka sejak gelombang reformasi 1998. Ada tuntutan pemisahan antara TNI dan Polri. Hal ini lalu ditindakjanjuti dengan dua ketetapan MPR yang melahirkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Tetapi bahkan setelah UU tersebut disahkan, isu soal posisi Polri dalam sistem kenegaraan juga belum mengendur. Kendati telah dipisahkan dari TNI, kedudukan Polri di bawah Presiden juga masih mengundang perdebatan.
”Kedudukan Polri di bawah Presiden juga menjadi kontroversi. Dari sudut pandang Polri kedudukan ini mendorong independensi dan otonomi Polri, yang menjamin profesionalisme Polri. Sementara organisasi masyarakat sipil, politisi dan militer melihat struktur polisi seperti itu tidak lazim di negara demokrasi. Posisi Polri dikhawatirkan mendorong institusi kepolisian memasuki wilayah politisasi Presiden,” demikian pernyataan bagian latar belakang Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Format Kepolisian RI di Masa Depan Kemenkumham pada 2011, dikutip Selasa (4/1/2022).
Polri secara kelembagaan mengalami perubahan-perubahan sejak Indonesia merdeka. Perkembangan kepolisian Indonesia itu terjadi mengikuti perubahan pemerintahan, undang-undang maupun kebutuhannya. Berikut fase perkembangan kedudukan Polri dalam sistem kenegaraan Indonesia, disarikan dalam laporan tim kajian yang diketuai Noor M Aziz, S.H., M.H., M.M
1. Periode Awal Kemerdekaan
Foto/polri.go.id
Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, Polri ditempatkan di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Pada 29 September 1945 R.S Soekanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI pertama. Soekanto mengkoordinasikan kepolisian daerah di Jawa. Ketika Belanda dan Inggris melakukan agresi militer Polri menyatakan diri sebagai “combatant”.
Ketika sistem sistem presidensial bergani menjadi parlementer, pada 25 Juni 1946 dikeluarkan Penetapan Presiden RI Soekarno dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono. Isinya menetapkan Jawatan Kepolisian dikeluarkan dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri sebagai Jawatan tersendiri, langsung di bawah pimpinan Perdana Menteri.
Dengan demikian, struktur organisasi Jawatan Kepolisian Negara 1 Juli 1946 berada di bawah Perdana Menteri. Kemudian menurut Undang-Undang No 22 Tahun 1948 struktur organisasi kepolisian tingkat pusat Kepolisian Negara, Kepolisian Propinsi, Karesidenan, Kabupaten, Wilayah, Sub Wilayah.
2. Periode Republik Indonesia Serikat (1949-Agustus 1950)
Penyelenggaraan kepolisian menjadoi tanggung jawab dari masingmasing negara bagian. Hal ini menjadi kendala bagi Jawatan Kepolisian pada waktu itu. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 negara Indonesia kembali berbentuk negara kesatuan. Dalam periode yang singkat ini R.S. Soekanto selaku Kepala Kepolisian Negara RIS bertugas menyatukan Kepolisian Negara RI (sebagai negara bagian) dengan bekas-bekas kepolisian dari negara-negara bagian bikinan Belanda. R.S. Soekanto mengutamakan profesionalisme dalam seleksi anggota.
3. Periode Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Masa ini ditandai dengan keluarnya UUDS 1950. Sistem parlementer digunakan yang mengakibatkan lahirnya banyak partai sehingga tidak ada partai mayoritas. Kondisi ini mengakibatkan pemerintah berganti hampir setiap tahun termasuk Perdana Menterinya. Dalam kondisi demikian Polri tetap mandiri dan tidak dipengaruhi partai manapun.. Pada tahun 1955 Polri pertama kali mengamankan Pemilu. Selain itu ditetapkan juga Tri Brata sebagai pedoman hidup dan catur Prasetya sebagai pedoman karya Polri.
Organisasi kepolisian pada negara kesatuan 17 Agustus 1950 berada di bawah Perdana Menteri dengan struktur pada tingkat pusat Jawatan Kepolisian berturut-turut Polisi Propinsi, Karesidenan, Kabupaten, Wilayah, Sub Wilayah dan Pos-Pos Polisi. Berkaitan dengan keluarnya UU Pokok Pemerintahan Daerah No 1 Tahun 1957 maka susunan/struktur organisasi berubah menjadi pada tingkat pusat Kepolisian Negara dan berturut-turut ke bawah Komisariat Inspeksi Kepolisian, Resort, Distrik, Sektor dan Pos Polisi.
4. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Foto/polri.go.id
Meletusnya peristiwa PRRI/Permesta membuat Presiden Soekarno menyatakan “kembali ke UUD 1945” untuk mengatasi keadaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Berdasarkan Kepres No 154 Tahun 1959 Tanggal 15 Juli 1959 dibentuk Departemen Kepolisian. Sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian, sedangkan Jawatan Kepolisian menjadi Departemen Kepolisian. Struktur organisasi berturut-turut dari tingkat pusat Kepolisian Negara, Komisariat, Inspeksi, Resort, Distrik dan Sektor.
Pada tahun 1959 keluar UU No 23 tahun 1959 tentang “keadaan bahaya” yang membagi 4 bentuk keamanan (Tertib Sipil-Darurat SipilDarurat Militer-Darurat Perang). Tanggung jawab keamanan dalam Tertib Sipil dan Darurat Sipil diserahkan kepada Polri, sedangkan dalam Darurat Militer dan Darurat Perang diserahkan kepada Angkatan Perang (AD-ALAU). Kemudian pada tahun 1961 keluar UU No 13 tahun 1961 tentang Kepolisian Negara RI yang menyatakan bahwa Polri adalah bagian dari ABRI.
5. Periode Orde Baru (1966-1998)
Foto/polri.go.id
Terjadi peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Letnan Jenderal Soeharto yang semula sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menjadi Ketua Presidium Kabinet, Pejabat Presiden dan kemudian menjadi Presiden RI melalui SP 11 Maret 1966 dan TAP MPRS tahun 1967. PKI dianggap telah berusaha memecah ABRI sehingga ABRI perlu diperkuat melalui integrasi ABRI. Kemudian dibentuk Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Markas Besar ABRI yang dipimpin oleh seorang Menhankam/Pangab. Polri berada di bawah Menhankam dan Pangab.
Struktur organisasi Polisi berubah diwarnai dengan integrasi Polisi ke dalam ABRI di mana Polisi bertanggung jawab kepada Menhankam/Pangab. Struktur organisasi berturut-turut dari tingkat pusat Angkatan Kepolisian, Daerah Angkatan Kepolisian Kota Besar, Resort, Distrik, Sektor (Peraturan Menpangab No.Pol.:5/Prt/ Menpangab/ 1967,Tanggal 1 Juli 1967). Kemudian keluar Keputusan Menhankam/ Pangab No. Kep/A/385/UU/1979 struktur organisasi mulai tingkat pusat Mabes Polri, Komdak, Komwil/Komwilko, Komdis dan Komsek/Ko. Kemudian keluar Keputusan Pangab No. Kep/II/P/M/1984 tanggal 31 Maret 1984 tentang reorganisasi Polri, struktur organisasi mulai tingkat pusat Mabes Polri, Polda, Polwil/Tabes, Polres/Ta/Tabes/Metro, Polsek/Ta/Metro, Pospol.
6. Periode Reformasi (1998-sekarang)
Kemunduran Polri selama 30 tahun di bawah Menhankam/Pangab adalah kekeliruan menerapkan integrasi ABRI dengan menyamakan Polri dengan Angkatan Perang tanpa memahami bidang kepolisian secara baik, jadi BUKAN karena pertimbangan politik melemahkan Polri. Hal ini diakui oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto pada 1 Juli 1999. Amandemen UUD 1945, TAP MPR VI dan VII tahun 2000, serta lahirnya UU No 2 tahun 2002 telah memantapkan kemandirian Polri sebagai “Kepolisian Nasional” dan berkedudukan di bawah Presiden.
(muh)