Dibahas di DPR, RUU Penyiaran Harus Dukung Industri Penyiaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah dibahas di DPR dinilai akan berdampak besar bagi industri penyiaran di Indonesia. Tidak hanya menjamin keberlangsungan usaha dari industri penyiaran, namun juga terhadap penyediaan informasi yang berkualitas bagi masyarakat.
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengatakan, prospek terhadap industri penyiaran disebut sangat besar karena selain memberikan perlindungan kepada industri, juga memberikan kesempatan dan kepastian hukum.
“Dengan adanya undang-undang yang jelas, maka ini memberikan perlindungan kepada semua pelaku industri, baik di televisi dan masyarakat penerima informasi dan para pelakunya,” katanya pada webinar HIPMI Policy Discussion bertajuk “RUU Penyiaran dan Prospek Industri Penyiaran Indonesia” kemarin.
Hadir dalam webinar ini adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, Anggota Komisi I DPR Sugiono, Anggota Komisi I DPR Dave Laksono, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) Pusat 2019-2020 Yuliandre Darwis, dan Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution. (Baca: Lawan Masa Lalu, London Pindahkan Patung Pedagang Budak)
Dave meyakini, dengan segera dirangkumnya revisi RUU Penyiaran ini akan ada dukungan besar bagi industri penyiaran untuk mengundang investasi, baik dari luar maupun dalam negeri untuk menjalankan bisnisnya. Di sisi lain, dengan peraturan yang lebih tegas dari RUU tersebut, industri pertelevisian juga bisa memberikan tayangan baik informasi maupun hiburan yang lebih baik kepada masyarakat luas.
Anggota Komisi I DPR Sugiono menjelaskan, RUU Penyiaran ini juga merupakan jaminan bagi semua pihak, baik pelaku industri maupun masyarakat sebagai penerima layanan dan konten yang lebih berkualitas, serta negara sebagai pemilik frekuensi yang bisa menerima pendapatan negara. Lebih dari itu, RUU Penyiaran juga akan menciptakan kesetaraan di industri penyiaran.
“Semakin banyak pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan semakin banyak pula industri yang berkembang dan masyarakat juga lama-kelamaan bisa lebih kritis berpikir dalam menerima tayangan yang mereka konsumsi,” katanya. (Baca juga: Kemenhub Terbitkan Surat Edaran Dalam Merespons New Normal)
Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution mengatakan, dalam kondisi jumlah lembaga penyiaran di Indonesia yang mencapai 2.271, maka ada iklim kompetisi yang sangat ketat di dalam industri pertelevisian ini. Jumlah itu pun belum termasuk izin televisi berbasis digital yang diperkirakan mencapai 120 izin yang sudah diterbitkan.
Industri televisi juga merupakan industri yang padat modal yang hanya mengandalkan pemasukan dari iklan. Karena itu, Syafril menerangkan, pihaknya berharap keberadaan RUU Penyiaran yang baru nanti akan mendukung industri pertelevisian yang eksisting saat ini karena begitu besarnya investasi yang sudah ditanamkan ini.
Begitu pula persaingan antara media televisi konvensional dengan media baru seperti aplikasi, streaming, ataupun layanan jenis over the top (OTT) juga sangat ketat. Jumlah penduduk yang melihat televisi melalui internet dari tahun ke tahun meningkat tajam. “Inilah yang perlu disampaikan bahwa pergeseran dari televisi kepada media baru yang harus didukung oleh regulasi atau aturan,” jelasnya.
Berbicara mengenai digitalisasi, ujarnya, dia tidak menampik bahwa digitalisasi di dunia pertelevisian adalah suatu yang tidak bisa dihindari. Namun, pihaknya dari ATVSI ingin memberi masukan bahwa dengan ada digitalisasi ini nanti, maka jaminan kelangsungan usaha dari penyelenggara pertelevisian ini bisa benar-benar terjamin. Syafril melanjutkan, pihaknya juga berharap akan ada equal playing field atau kesetaraan antara layanan free to air (FTA) maupun media baru tidak hanya dari segi konten, namun juga pengenaan pajak dan sebagainya. (Baca juga: Partai Baru Amien Raid Ditargetkan Deklarasi Desember, Dukungan Mengalir)
Selain itu, juga terkait dengan perubahan resolusi pertelevisian di mana resolusi kini tidak lagi ultra high definition, tetapi sudah masuk 4K, maka dia menilai perlu ada kesiapan mengenai spektrum yang ada agar teknologi tersebut bisa diserap oleh televisi di Indonesia. “Tentunya yang tidak kalah (pentingnya) adalah ada perangkat-perangkat penerima nanti bisa tersedia oleh masyarakat, bisa dijangkau oleh masyarakat,” jelasnya.
Komisioner KPI Pusat 2019-2020 Yuliandre Darwis juga berharap revisi UU Penyiaran maupun penguatan dalam sebuah peraturan pemerintah dalam penyiaran ini akan menguatkan industri. Namun, di sisi lain juga konten yang ditampilkan juga akan lebih diperkuat sebab jika konten yang disiarkan itu bagus, maka jumlah penontonnya juga akan meningkat. (Neneng Zubaidah)
Lihat Juga: Prabowo Ajukan RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas, Pengamat: Bukti Serius Lawan Korupsi
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengatakan, prospek terhadap industri penyiaran disebut sangat besar karena selain memberikan perlindungan kepada industri, juga memberikan kesempatan dan kepastian hukum.
“Dengan adanya undang-undang yang jelas, maka ini memberikan perlindungan kepada semua pelaku industri, baik di televisi dan masyarakat penerima informasi dan para pelakunya,” katanya pada webinar HIPMI Policy Discussion bertajuk “RUU Penyiaran dan Prospek Industri Penyiaran Indonesia” kemarin.
Hadir dalam webinar ini adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, Anggota Komisi I DPR Sugiono, Anggota Komisi I DPR Dave Laksono, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) Pusat 2019-2020 Yuliandre Darwis, dan Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution. (Baca: Lawan Masa Lalu, London Pindahkan Patung Pedagang Budak)
Dave meyakini, dengan segera dirangkumnya revisi RUU Penyiaran ini akan ada dukungan besar bagi industri penyiaran untuk mengundang investasi, baik dari luar maupun dalam negeri untuk menjalankan bisnisnya. Di sisi lain, dengan peraturan yang lebih tegas dari RUU tersebut, industri pertelevisian juga bisa memberikan tayangan baik informasi maupun hiburan yang lebih baik kepada masyarakat luas.
Anggota Komisi I DPR Sugiono menjelaskan, RUU Penyiaran ini juga merupakan jaminan bagi semua pihak, baik pelaku industri maupun masyarakat sebagai penerima layanan dan konten yang lebih berkualitas, serta negara sebagai pemilik frekuensi yang bisa menerima pendapatan negara. Lebih dari itu, RUU Penyiaran juga akan menciptakan kesetaraan di industri penyiaran.
“Semakin banyak pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan semakin banyak pula industri yang berkembang dan masyarakat juga lama-kelamaan bisa lebih kritis berpikir dalam menerima tayangan yang mereka konsumsi,” katanya. (Baca juga: Kemenhub Terbitkan Surat Edaran Dalam Merespons New Normal)
Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution mengatakan, dalam kondisi jumlah lembaga penyiaran di Indonesia yang mencapai 2.271, maka ada iklim kompetisi yang sangat ketat di dalam industri pertelevisian ini. Jumlah itu pun belum termasuk izin televisi berbasis digital yang diperkirakan mencapai 120 izin yang sudah diterbitkan.
Industri televisi juga merupakan industri yang padat modal yang hanya mengandalkan pemasukan dari iklan. Karena itu, Syafril menerangkan, pihaknya berharap keberadaan RUU Penyiaran yang baru nanti akan mendukung industri pertelevisian yang eksisting saat ini karena begitu besarnya investasi yang sudah ditanamkan ini.
Begitu pula persaingan antara media televisi konvensional dengan media baru seperti aplikasi, streaming, ataupun layanan jenis over the top (OTT) juga sangat ketat. Jumlah penduduk yang melihat televisi melalui internet dari tahun ke tahun meningkat tajam. “Inilah yang perlu disampaikan bahwa pergeseran dari televisi kepada media baru yang harus didukung oleh regulasi atau aturan,” jelasnya.
Berbicara mengenai digitalisasi, ujarnya, dia tidak menampik bahwa digitalisasi di dunia pertelevisian adalah suatu yang tidak bisa dihindari. Namun, pihaknya dari ATVSI ingin memberi masukan bahwa dengan ada digitalisasi ini nanti, maka jaminan kelangsungan usaha dari penyelenggara pertelevisian ini bisa benar-benar terjamin. Syafril melanjutkan, pihaknya juga berharap akan ada equal playing field atau kesetaraan antara layanan free to air (FTA) maupun media baru tidak hanya dari segi konten, namun juga pengenaan pajak dan sebagainya. (Baca juga: Partai Baru Amien Raid Ditargetkan Deklarasi Desember, Dukungan Mengalir)
Selain itu, juga terkait dengan perubahan resolusi pertelevisian di mana resolusi kini tidak lagi ultra high definition, tetapi sudah masuk 4K, maka dia menilai perlu ada kesiapan mengenai spektrum yang ada agar teknologi tersebut bisa diserap oleh televisi di Indonesia. “Tentunya yang tidak kalah (pentingnya) adalah ada perangkat-perangkat penerima nanti bisa tersedia oleh masyarakat, bisa dijangkau oleh masyarakat,” jelasnya.
Komisioner KPI Pusat 2019-2020 Yuliandre Darwis juga berharap revisi UU Penyiaran maupun penguatan dalam sebuah peraturan pemerintah dalam penyiaran ini akan menguatkan industri. Namun, di sisi lain juga konten yang ditampilkan juga akan lebih diperkuat sebab jika konten yang disiarkan itu bagus, maka jumlah penontonnya juga akan meningkat. (Neneng Zubaidah)
Lihat Juga: Prabowo Ajukan RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas, Pengamat: Bukti Serius Lawan Korupsi
(ysw)