Rupiah Berotot Lagi, Ibarat Seberkas Cahaya
loading...
A
A
A
SAAT pembukaan perdagangan, indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama menunjukkan taring, namun harus melemah ketika penutupan perdagangan kemarin. Mengawali perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (9/6) IHSG bertengger di zona hijau pada level 5.131,97 atau melonjak sebesar 61,41 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya pada level 5.070,56. Tercatat sebanyak 253 saham meluncur di zona hijau, 44 saham masih terseok di zona merah dan sebanyak 111 saham dalam kondisi stagnan.
Zona hijau berganti zona merah, IHSG pada sesi penutupan perdagangan kedua melemah sebesar 35 poin (0,7%) ke level 5.035. Begitu pula aktivitas perdagangan di pasar uang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah sebesar lima poin atau 0,04% dari Rp13.885 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya menjadi Rp13.890 per USD pada penutupan perdagangan di pasar spot kemarin.
Walau nilai kurs rupiah terhadap dolar AS sedikit kendur, namun tetap setia di level Rp13.000-an. Posisi rupiah yang menguat signifikan itu ibarat seberkas cahaya yang telah menembus dalam kegelapan. Sebelumnya Bank Indonesia (BI) hanya berani memprediksi rupiah bakal kembali di level Rp15.000 per USD. Selama sepekan terakhir, rupiah terus memperlihatkan taji, padahal sejumlah ekonom hanya memprediksi kurs rupiah akan berputar-putar pada kisaran Rp14.000 per USD hingga Rp15.000 per USD.
Namun, faktanya sejak akhir pekan lalu rupiah telah meninggalkan level Rp14.000-an. Kini timbul pertanyaan kira-kira seberapa lama rupiah yang bakal bertengger di level Rp13.000-an dan berapa nilai ideal nilai tukar rupiah yang seharusnya dalam kondisi perekonomian yang baru mulai bangkit lagi?
Lalu, apa yang membuat mata uang Garuda berotot terhadap mata uang Paman Sam? Analisis sejumlah ekonom seragam bahwa rupiah bisa "melawan" dolar AS karena dipicu pembukaan kegiatan ekonomi sejumlah negara di berbagai belahan bumi ini setelah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mulai mereda, aliran modal asing yang meninggalkan India dan memilih parkir di Indonesia, dan situasi perekonomian AS yang juga sedang redup menyusul muncul puluhan juta penganggur sebagai faktor eksternal. Penguatan nilai tukar rupiah juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang secara bertahap melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menuju tatanan kehidupan normal baru alias new normal.
Pembukaan aktivitas ekonomi sejumlah negara setelah terkurung pandemi Covid-19 selama tiga bulan lebih, terutama di kawasan Asia, telah memberi sentimen positif tidak hanya pada pasar keuangan, tetapi juga bursa saham. Terbukti di pasar keuangan Asia sebagian besar mata uang negara-negara kawasan Asia menguat, termasuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sempat menyentuh level Rp13.700 per USD yang sebelumnya bertengger di level Rp16.000-an. Pembukaan aktivitas perekonomian telah memberi ekspektasi yang optimistis terhadap para investor dan pelaku bisnis.
Faktor eksternal lain yang juga berpengaruh signifikan terhadap penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah pengalihan aset investor dari India ke Indonesia. Tentu menimbulkan pertanyaan kira-kira kaitannya di mana sehingga rupiah sepanjang awal tahun ini terus keok terhadap mata uang dunia, terutama dolar AS, tiba-tiba bangkit menuju level Rp13.000-an per USD.
Selama ini pertumbuhan ekonomi India yang selalu perkasa ternyata goyah juga diterjang pandemi Covid-19. Berdasarkan publikasi sebuah lembaga pemeringkat internasional menyebut peringkat India mengalami penurunan dari BAA2 menjadi BAA3, dan posisi outlook dari "stable" menjadi "negative" . Selain itu, kondisi internal perekonomian AS juga memang sedang tidak sehat. Angka pengangguran terus meningkat membuat ekspektasi investor menurun dan berpengaruh pada pelemahan dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara lainnya, termasuk Indonesia.
Sementara itu, berototnya nilai tukar rupiah juga tidak bisa dilepaskan dari faktor internal terkait dengan pelonggaran kebijakan PSBB menuju new normal . Sebelumnya roda perekonomian sempat berhenti berputar dan "melahirkan" jutaan pengangguran baru menyusul badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang bergejolak tanpa ampun sebagai dampak dari wabah virus korona yang mematikan itu.
Pemerintah meyakini apabila implementasi kebijakan PSBB terbatas atau disebut juga PSBB transisi menuju new normal, terutama di bidang ekonomi, itu berjalan baik dan diiringi angka kasus baru Covid-19 semakin melandai, maka aktivitas perekonomian pada triwulan ketiga tahun ini bisa lebih baik dari dua kuartal sebelumnya. Karena itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu ibarat seberkas cahaya yang memberi harapan. Sebuah pertanda baik bagi sektor bisnis untuk memulai tatanan kehidupan new normal.
Zona hijau berganti zona merah, IHSG pada sesi penutupan perdagangan kedua melemah sebesar 35 poin (0,7%) ke level 5.035. Begitu pula aktivitas perdagangan di pasar uang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah sebesar lima poin atau 0,04% dari Rp13.885 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya menjadi Rp13.890 per USD pada penutupan perdagangan di pasar spot kemarin.
Walau nilai kurs rupiah terhadap dolar AS sedikit kendur, namun tetap setia di level Rp13.000-an. Posisi rupiah yang menguat signifikan itu ibarat seberkas cahaya yang telah menembus dalam kegelapan. Sebelumnya Bank Indonesia (BI) hanya berani memprediksi rupiah bakal kembali di level Rp15.000 per USD. Selama sepekan terakhir, rupiah terus memperlihatkan taji, padahal sejumlah ekonom hanya memprediksi kurs rupiah akan berputar-putar pada kisaran Rp14.000 per USD hingga Rp15.000 per USD.
Namun, faktanya sejak akhir pekan lalu rupiah telah meninggalkan level Rp14.000-an. Kini timbul pertanyaan kira-kira seberapa lama rupiah yang bakal bertengger di level Rp13.000-an dan berapa nilai ideal nilai tukar rupiah yang seharusnya dalam kondisi perekonomian yang baru mulai bangkit lagi?
Lalu, apa yang membuat mata uang Garuda berotot terhadap mata uang Paman Sam? Analisis sejumlah ekonom seragam bahwa rupiah bisa "melawan" dolar AS karena dipicu pembukaan kegiatan ekonomi sejumlah negara di berbagai belahan bumi ini setelah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mulai mereda, aliran modal asing yang meninggalkan India dan memilih parkir di Indonesia, dan situasi perekonomian AS yang juga sedang redup menyusul muncul puluhan juta penganggur sebagai faktor eksternal. Penguatan nilai tukar rupiah juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang secara bertahap melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menuju tatanan kehidupan normal baru alias new normal.
Pembukaan aktivitas ekonomi sejumlah negara setelah terkurung pandemi Covid-19 selama tiga bulan lebih, terutama di kawasan Asia, telah memberi sentimen positif tidak hanya pada pasar keuangan, tetapi juga bursa saham. Terbukti di pasar keuangan Asia sebagian besar mata uang negara-negara kawasan Asia menguat, termasuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sempat menyentuh level Rp13.700 per USD yang sebelumnya bertengger di level Rp16.000-an. Pembukaan aktivitas perekonomian telah memberi ekspektasi yang optimistis terhadap para investor dan pelaku bisnis.
Faktor eksternal lain yang juga berpengaruh signifikan terhadap penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah pengalihan aset investor dari India ke Indonesia. Tentu menimbulkan pertanyaan kira-kira kaitannya di mana sehingga rupiah sepanjang awal tahun ini terus keok terhadap mata uang dunia, terutama dolar AS, tiba-tiba bangkit menuju level Rp13.000-an per USD.
Selama ini pertumbuhan ekonomi India yang selalu perkasa ternyata goyah juga diterjang pandemi Covid-19. Berdasarkan publikasi sebuah lembaga pemeringkat internasional menyebut peringkat India mengalami penurunan dari BAA2 menjadi BAA3, dan posisi outlook dari "stable" menjadi "negative" . Selain itu, kondisi internal perekonomian AS juga memang sedang tidak sehat. Angka pengangguran terus meningkat membuat ekspektasi investor menurun dan berpengaruh pada pelemahan dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara lainnya, termasuk Indonesia.
Sementara itu, berototnya nilai tukar rupiah juga tidak bisa dilepaskan dari faktor internal terkait dengan pelonggaran kebijakan PSBB menuju new normal . Sebelumnya roda perekonomian sempat berhenti berputar dan "melahirkan" jutaan pengangguran baru menyusul badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang bergejolak tanpa ampun sebagai dampak dari wabah virus korona yang mematikan itu.
Pemerintah meyakini apabila implementasi kebijakan PSBB terbatas atau disebut juga PSBB transisi menuju new normal, terutama di bidang ekonomi, itu berjalan baik dan diiringi angka kasus baru Covid-19 semakin melandai, maka aktivitas perekonomian pada triwulan ketiga tahun ini bisa lebih baik dari dua kuartal sebelumnya. Karena itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu ibarat seberkas cahaya yang memberi harapan. Sebuah pertanda baik bagi sektor bisnis untuk memulai tatanan kehidupan new normal.
(maf)