Adaptasi Kerangka Perubahan Perilaku untuk Akselerasi Vaksinasi Lansia dan Disabilitas

Jum'at, 31 Desember 2021 - 09:46 WIB
loading...
Adaptasi Kerangka Perubahan Perilaku untuk Akselerasi Vaksinasi Lansia dan Disabilitas
Pelaksanaan vaksinasi lansia. Foto/Dok SINDOnews
A A A
dr. Yulianto Santoso Kurniawan, Sp.A
National Project Coordinator Vaccine Access and Health Security Initiatives (VAHSI) Australia-Indonesia Health Security Partnership (AIHSP)

Badan Kesehatan Dunia menargetkan negara-negara di dunia untuk mencapai dosis lengkap (2 dosis) vaksin Covid-19 sebanyak 40% pada akhir Desember 2021 dan 70% pada Juni 2022. Target ini tertuang dalam dokumen Strategy to Achieve Global Covid-19 Vaccination by mid-2022. Secara umum, saat ini Indonesia telah berhasil melampaui target tersebut dan telah menetapkan target untuk mencapai 100% pada April 2022.

Meski pencapaian Indonesia merupakan pencapaian yang layak diapresiasi, terdapat sisa pertanyaan, siapa sebenarnya yang paling terdampak dalam pandemi ini? Data Yanez, 2020 menyatakan tingkat kematian lansia >54 tahun 8 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok yang lebih muda. Selain lansia, World Report on Disability menyatakan; orang dengan disabilitas mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, mengalami diskriminasi dalam hidupnya, dan lebih berisiko untuk mengalami penyakit penyerta yang lebih berat. Data Lancet, Bosworth 2021 menyatakan kematian karena Covid-19 pada kelompok disabilitas di Inggris adalah 3 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok umum.



Vaksinasi adalah salah satu upaya untuk melindungi masyarakat, termasuk lansia dan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang paling rentan. Namun demikian, kelompok penerima vaksin terbesar di Indonesia justru adalah para tenaga kesehatan dan petugas publik. Sementara, baru 9,26% lansia di Papua yang mendapat vaksin lengkap. Vaksinasi Covid-19 pada orang dengan disabilitas baru mencapai 225.000 orang (15 Oktober 2021), sementara data BPS 2020 menyatakan jumlah orang dengan disabilitas sekitar 22,5 juta orang.

Aspek Struktural dan Personal Vaksinasi
Proses vaksinasi perlu memenuhi aspek struktural dan personal. Aspek struktural meliputi aksesibilitas dan logistik vaksin, sementara aspek personal meliputi penerimaan terhadap vaksinasi dan layanan vaksinasi. Indonesia telah berjuang dalam penyediaan akses dan logistik vaksin. Namun, aspek personal perlu kita sentuh dan intervensi.

Kita tidak bisa dengan mudah menyalahkan aspek personal bila seseorang tidak bersedia menerima vaksin. Proses penerimaan vaksin membutuhkan proses perubahan perilaku yang mencakup aspek kognitif dan emosi, yang keduanya saling mempengaruhi dalam proses seseorang mengambil keputusan. Aspek kognitif meliputi bagaimana informasi diperoleh, diproses, dan dimengerti oleh penerima pesan. Apakah sudah tersedia informasi yang ramah bagi lansia dan penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas fisik, atau intelektual, maupun sensori? Apakah layanan vaksinasi sudah ramah bagi lansia dan penyandang disabilitas?

Inggris melakukan intervensi kesehatan masyarakat menggunakan COM-B, Capability Opportunity Motivation- Behavior. Kerangka Behavior Change Wheel – BCW memilih intervensi edukasi, persuasi, insentifikasi, koersi, restriksi, pelatihan, modifikasi lingkungan, percontohan atau permudahan dalam implementasi program kesehatan masyarakat. Sementara European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) mengeluarkan panduan 5C, confidence, constraint, complacency, calculation, dan collective responsibility, sebagai upaya meningkatkan penerimaan vaksin Covid-19. Indonesia, menurut saya, perlu mengadaptasi teori perubahan perilaku untuk mendorong penerimaan vaksin dari kelompok lansia dan penyandang disabilitas.

Komunikasi Risiko bagi Perubahan Perilaku
Belajar dari metode perubahan perilaku yang disampaikan sebelumnya, kita dapat menyusun strategi yang diarahkan untuk menghilangkan hambatan akses dan pemahaman lansia dan penyandang disabilitas terhadap informasi.

Pertama, informasi dibuat dengan bahasa yang mudah dipahami orang dengan kemampuan kognitif yang rendah, disesuaikan secara khusus untuk disabilitas netra dan tuli, serta relevan dengan konteks lokal. Namun demikian, informasi tetap wajib berbasis bukti untuk mengatasi misinformasi dan disinformasi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5038 seconds (0.1#10.140)