Refleksi 2021, DPR Tak Berdaya dan Hanya Jadi Stempel Pemerintah

Rabu, 29 Desember 2021 - 05:25 WIB
loading...
Refleksi 2021, DPR Tak...
Jelang pergantian tahun, Formappi memberikan catatan kritisnya terhadap DPR RI sepanjang 2021 kemarin.Foto/SINDOphoto/Ilustrasi.dok
A A A
JAKARTA - Jelang pergantian tahun, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memberikan catatan kritisnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ( DPR RI ) sepanjang 2021 kemarin. Selain kinerja DPR yang tidak memuaskan, fungsi pengawasan DPR juga dinilai tumpul, tak berdaya dan hanya menjadi 'stempel' bagi setiap kebijakan pemerintah.

Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, dengan keanggotaan fraksi-fraksi koalisi pemerintah yang dominan di DPR, proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan kebijakan di parlemen memang menjadi sangat efektif. Belum ada satu pun kebijakan negara yang diputuskan DPR berlangsung alot, penuh perdebatan sengit hingga deadlock.

Bahkan proses pembahasan sejumlah kebijakan seperti RUU, RAPBN maupun pertanggungjawaban APBN tidak berlangsung lama dan menegangkan.

"Hampir semua bisa dibahas secara singkat dan tanpa perdebatan seru hingga waktu pengesahan. Tentu saja ketika kebijakan yang dihasilkan menguntungkan warga, maka proses yang efektif tersebut patut diapresiasi. Dan sesungguhnya cita-cita pemilu serentak Presiden dan DPR memang dimaksudkan agar proses pembahasan dan penetapan kebijakan di DPR bisa efektif," kata Lucius kepada wartawan dikutip Rabu (29/12/2021).

Akan tetapi, lanjut Lucius, proses yang efektif sebagaimana tercermin dari mudahnya kebijakan dibahas dan diputuskan DPR itu lebih memperlihatkan wajah DPR yang tak berdaya, tumpul, tak punya sikap kritis dan tegas serta “manut” pada pemerintah. Cepatnya proses pembahasan dan mudahnya DPR menyetujui sebuah kebijakan tak selalu karena kebijakan tersebut sudah dipertimbangkan secara matang serta mempertimbangkan kepentingan publik.

Proses yang cepat itu lebih cenderung karena Pemerintah mengendalikan DPR. Kendali Pemerintah itu dilakukan melalui parpol-parpol koalisi yang selanjutnya menjadi acuan fraksi-fraksi di parlemen.

"Ketika DPR cenderung menjadi sekadar “stempel” pemerintah, maka kualitas kebijakan seperti RUU yang dihasilkan menjadi terabaikan," ujarnya.
Lucius memaparkan, kemunculan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengkonfirmasi kelemahan DPR dalam menghasilkan UU yang berkualitas. Walaupun UU Cipta Kerja merupakan hasil kerja DPR tahun 2020 lalu, tetapi kemunculan putusan MK pada tahun 2021 ini menjadi catatan penting untuk menilai kualitas kinerja legislasi DPR.

Pola kerja DPR dalam pembahasan hampir semua RUU selama tahun 2021 juga hampir sama dengan proses pembahasan UU Cipta Kerja, yakni kecenderungan untuk membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada kelompok elite.

Bahkan, sambung dia, capaian 8 RUU Prioritas dari 37 RUU yang direncanakan dalam Prolegnas Prioritas 2021 tak hanya memperlihatkan minimnya hasil kerja DPR tetapi juga membuktikan ketakpedulian DPR pada RUU-RUU yang mendesak untuk publik seperti RUU PDP, RUU TPKS, RUU Penanggulangan Bencana, dan lainnya. Sehingga, DPR semakin jauh dari rakyatnya.

"DPR makin menjauh dari rakyat," tukas Lucius. Oleh karena itu, Lucius menuturkan, penting bagi Formappi untuk memberikan sejumlah catatan terhadap kinerja DPR RI. Pertama, Formappi mengkritisi sepinya diskusi mengenai pembahasan anggaran, hal ini terjadi lantatan proses pembahasan anggaran yang tertutup antara DPR dan Pemerintah.

Rekam jejak peran Badan Anggaran (Banggar) tak terdengar sama sekali. Padahal seperti Baleg di bidang legislasi, Banggar mestinya menjadi nahkoda di parlemen untuk memastikan keberpihakan anggaran untuk rakyat. Kedua, fungsi pengawasan yang biasanya menjadi semacam instrumen penting bagi DPR untuk menunjukkan kekuasaan terhadap Pemerintah tak pernah memunculkan “ancaman” serius.

"Ancaman serius dalam hal ini misalnya diekspresikan melalui pewacanaan penggunaan hak-hak istimewa DPR seperti interpelasi, angket, dan hak menyatakan pendapat. Kritikan yang muncul sesekali dari anggota DPR lebih banyak disuarakan melalui media sosial dan media massa ketimbang di ruang rapat sehingga tak mampu memberikan pengaruh dalam perubahan kebijakan Pemerintah," bebernya.

Menurut Lucius, peran pengawasan DPR yang paling krusial yakni pengawasan pelaksanaan APBN semestinya menjadi andalan untuk memastikan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran oleh pemerintah serta penyalahgunaan anggaran atau korupsi bisa dicegah. Padahal, DPR mendapatkan hasil audit semua kementerian/lembaga dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kemudian, sambung dia, kinerja buruk DPR dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pokok di 2021 juga diperparah dengan berbagai kebijakan internal DPR. Seperti misalnya plat kendaraan khusus, tempat isolasi mandiri khusus di hotel, dan kebijakan lainnya.

Juga adanya informasi mengenai kesibukan pimpinan DPR untuk kepentingan politik pribadi lebih mendominasi di ruang publik dibandingkan mengurusi kerja-kerja parlemen. Lalu persetujuan pimpinan untuk mengesahkan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dengan mengabaikan aturan Tatib juga adalah bukti kurang profesionalnya pimpinan dalam menjalankan tugas.

"Dengan semua catatan di atas, Formappi melihat DPR meleset dari apa yang diharapkan. Kekuasaan DPR yang begitu besar menjadi tak berarti ketika hanya diabadikan untuk kepentingan mereka sendiri dan elit di partai politik," pungkasnya.
(hab)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1838 seconds (0.1#10.140)