Sejarah Pendirian Banser, dari Baris-berbaris hingga Menangkal Kekerasan Atas Nama Agama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banser NU atau Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama kerap terlihat di acara-acara atau lokasi bencana alam membantu orang-orang yang membutuhkan. Dalam perayaan Natal seperti saat ini, Banser juga banyak terlibat dalam pengamanan gereja untuk memastikan ibadah berjalan lancar tanpa gangguan.
Sesuai namanya, Banser merupakan bagian dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor, badan otonom kepemudaan milik NU. Anggota Banser mudah dikenali karena berseragam khas saat bertugas. Penampilannya, dari sepatu, pakaian, topi, dan atribut lainnya mirip-mirip militer.
Menukil dari situs resmi NU, Banser menjalankan fungsi sebagaimana polisi. Misalnya, pengaturan lalu lintas, pengamanan kegiatan, dan penanganan bencana alam. Lalu seperti apa sejarah berdirinya Banser NU ini?
Baca juga: Kisah Riyanto, Anggota Banser yang Mati Syahid saat Menjaga Gereja di Malam Natal
Banser NU tidak dibentuk langsung jadi. Cikal bakal Banser adalah organisasi gerakan kepanduan yang dikembangkan oleh Ansoru Nahdlatul Oelama (ANO) Cabang Malang. Organisasi ini disebut sebagai Barisan Ansor Nahdlatul Oelama (Banoe).
Banoe untuk pertama kalinya tampil pada Kongres II ANO di Malang pada 1937. Berseragam, para anggota Banoe unjuk kebolehan dalam hal baris-berbaris. Sebagai komandannya adalah Moh Syamsul Islam, Ketua ANO Cabang Malang. Keterampilan baris-berbaris Banoe Malang diperoleh dari hasil latihan di bawah instruktur Mayor TNI Hamid Ryusdi. Tokoh ini belakangan diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kota Malang.
Keberadaan Banoe memperoleh lampu hijau dengan adanya pengakuan NU pada Muktamar Ke-14 di Magelang, Jawa Tengah. Pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, NU bahkan mengesahkan AD/ART Banoe, seragam, mars resmi Al-Iqdam, atribut-atribut, dan yang paling penting adalah diperbolehkannya memainkan terompet dan genderang.
Seperti organisasi kepanduan, kegiatan Banoe adalah pendidikan baris-berbaris, latihan lompat dan lari, latihan angkat-mengangkat, latihan ikat-mengikat (pioner), fluit tanzim (belajar kode atau isyarat suara), isyarat dengan bendera (morse), perkampungan dan perkemahan, belajar menolong kecelakaan (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau PPPK), musabaqoh fil kholi (pacuan kuda), dan muromat (melempar lembing dan cakram).
Baca juga: Sukseskan Pelaksanaan Muktamar ke-34 NU, 450 Banser Ikuti Diklatsus
Seiring berjalannya waktu, Banoe kemudian bermetamorfosa menjadi Banser pada 1962 atau 32 tahun setelah GP Ansor ada. Pelembagaan menjadi Banser sebagai respons atas semakin kerasnya persaingan politik waktu itu, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Namun tujuan utamanya adalah mengamankan kegiatan-kegiatan yang digelar oleh Partai NU.
Mengutip situs resmi NU, nama Banser mencuat ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berujung pada pemakzulan Presiden Soekarno. Banser diyakini berperan dalam penangkapan dan penumpasan para aktivis PKI dan berbagai onderbouw-nya, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat.
Peristiwa G30S PKI didahului oleh insiden-insiden kecil yang disebabkan konflik kepentingan dan ideologi antara kalangan kiri yang diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI) dan golongan kanan yang berisi partai nasional dan keagamaan termasuk Partai NU. Konflik semakin memanas akibat pengaruh Perang Dingin di antara dua kekuatan adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sesuai namanya, Banser merupakan bagian dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor, badan otonom kepemudaan milik NU. Anggota Banser mudah dikenali karena berseragam khas saat bertugas. Penampilannya, dari sepatu, pakaian, topi, dan atribut lainnya mirip-mirip militer.
Menukil dari situs resmi NU, Banser menjalankan fungsi sebagaimana polisi. Misalnya, pengaturan lalu lintas, pengamanan kegiatan, dan penanganan bencana alam. Lalu seperti apa sejarah berdirinya Banser NU ini?
Baca juga: Kisah Riyanto, Anggota Banser yang Mati Syahid saat Menjaga Gereja di Malam Natal
Banser NU tidak dibentuk langsung jadi. Cikal bakal Banser adalah organisasi gerakan kepanduan yang dikembangkan oleh Ansoru Nahdlatul Oelama (ANO) Cabang Malang. Organisasi ini disebut sebagai Barisan Ansor Nahdlatul Oelama (Banoe).
Banoe untuk pertama kalinya tampil pada Kongres II ANO di Malang pada 1937. Berseragam, para anggota Banoe unjuk kebolehan dalam hal baris-berbaris. Sebagai komandannya adalah Moh Syamsul Islam, Ketua ANO Cabang Malang. Keterampilan baris-berbaris Banoe Malang diperoleh dari hasil latihan di bawah instruktur Mayor TNI Hamid Ryusdi. Tokoh ini belakangan diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kota Malang.
Keberadaan Banoe memperoleh lampu hijau dengan adanya pengakuan NU pada Muktamar Ke-14 di Magelang, Jawa Tengah. Pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, NU bahkan mengesahkan AD/ART Banoe, seragam, mars resmi Al-Iqdam, atribut-atribut, dan yang paling penting adalah diperbolehkannya memainkan terompet dan genderang.
Seperti organisasi kepanduan, kegiatan Banoe adalah pendidikan baris-berbaris, latihan lompat dan lari, latihan angkat-mengangkat, latihan ikat-mengikat (pioner), fluit tanzim (belajar kode atau isyarat suara), isyarat dengan bendera (morse), perkampungan dan perkemahan, belajar menolong kecelakaan (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau PPPK), musabaqoh fil kholi (pacuan kuda), dan muromat (melempar lembing dan cakram).
Baca juga: Sukseskan Pelaksanaan Muktamar ke-34 NU, 450 Banser Ikuti Diklatsus
Seiring berjalannya waktu, Banoe kemudian bermetamorfosa menjadi Banser pada 1962 atau 32 tahun setelah GP Ansor ada. Pelembagaan menjadi Banser sebagai respons atas semakin kerasnya persaingan politik waktu itu, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Namun tujuan utamanya adalah mengamankan kegiatan-kegiatan yang digelar oleh Partai NU.
Mengutip situs resmi NU, nama Banser mencuat ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berujung pada pemakzulan Presiden Soekarno. Banser diyakini berperan dalam penangkapan dan penumpasan para aktivis PKI dan berbagai onderbouw-nya, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat.
Peristiwa G30S PKI didahului oleh insiden-insiden kecil yang disebabkan konflik kepentingan dan ideologi antara kalangan kiri yang diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI) dan golongan kanan yang berisi partai nasional dan keagamaan termasuk Partai NU. Konflik semakin memanas akibat pengaruh Perang Dingin di antara dua kekuatan adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet.