Stabilisasi Harga Minyak Goreng

Rabu, 22 Desember 2021 - 14:51 WIB
loading...
Stabilisasi Harga Minyak...
Khudori (Ist)
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

BISAKAH harga minyak goreng distabilkan? Lebih jauh, mungkinkah harga minyak goreng kembali turun? Tidak mudah memberikan jawaban memuaskan pertanyaan ini. Tapi dua hal ini yang selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan jadi pertanyaan banyak orang. Terutama ibu rumah tangga, pedagang kecil penjual makanan, terutama pedagang gorengan. Seperti layangan putus tali, harga minyak goreng bergerak bagai roller coaster. Konsumen tak berdaya dan cuma ngedumel. Mereka meminta pemerintah turun tangan. Karena harga minyak goreng sudah jauh dari toleransi daya beli mereka.

Per 21 Desember 2021, merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga minyak goreng curah mencapai Rp18.150/kg atau naik 33,4% dari awal tahun. Pada periode yang sama, harga minyak goreng kemasan bermerk I menjadi Rp20.050/kg (naik 32,3%) dan minyak goreng kemasan jadi Rp19.550/kg (naik 34,8%). Harga minyak goreng sudah berlangsung sejak tahun lalu. Jika dikalkulasi dari Januari 2020 hingga 21 Desember 2021, kenaikan 3 jenis minyak goreng itu bergerak dari 37,4% hingga 42,6%.

Merujuk hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2021, pengeluaran penduduk untuk minyak goreng sebesar Rp 16.111/kapita/bulan. Dari sisi belanja rumah tangga, porsi pengeluaran buat membeli minyak goreng sebenarnya tidak besar, hanya 1,27% dari total pengeluaran sebesar Rp 1.264.590/kapita/bulan. Dari sisi persentase, kenaikan itu cukup kecil. Akan tetapi, dari sisi nominal cukup besar. Bagi warga miskin/rentan, ini masalah krusial: mereka harus merealokasi pengeluaran.

Warga miskin, juga mereka yang masuk 40% berpenghasilan terbawah dan terkategori hampir/rentan miskin, mayoritas pengeluaran untuk pangan. Ini terpotret dari sumbangan garis kemiskinan makanan, yang per Maret 2021, porsinya sebesar 73,96% dari pengeluaran rumah tangga. Hanya 26,04% pengeluan non-makanan. Implikasi kondisi ini, stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses terjaga. Harga pangan naik atau turun bakal berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin.

Kalau harga minyak goreng naik pasti menekan daya beli warga miskin. Jika pada saat yang sama harga pangan selain minyak goreng juga naik, tekanan terhadap daya beli kian tinggi. Bila ini terjadi, bisa dipastikan mereka yang hanya sejengkal di atas garis kemiskinan akan jatuh jadi warga miskin. Betapa harga minyak goreng menekan daya beli warga miskin tecermin dari sumbangan komoditas ini pada inflasi pada Oktober dan November. Pada November 2021, misalnya, inflasi nasional 0,37%. Kelompok makanan menjadi penyumbang superior dengan kontributor terbesar dari minyak goreng.

Saat ini kenaikan inflasi di Indonesia lebih karena kenaikan biaya produksi dan distribusi. Cost-push inflation ini harus dikendalikan agar tidak semakin menggerus daya beli warga. Kenaikan inflasi yang positif seharusnya berasal dari lonjakan permintaan, bukan dari melonjaknya biaya distribusi dan produksi. Dalam konteks ini, untuk kesekian kalinya, amat penting untuk menstabilkan harga-harga pangan, termasuk minyak goreng. Bukan hanya untuk menjamin akses warga, tapi juga untuk menyehatkan perekonomian.

Urgensi stabilisasi harga minyak goreng didasari oleh kenyataan bahwa Indonesia adalah produsen sawit nomor satu di dunia. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, pada 2020 produksi CPO mencapai 46 juta ton, 43% di antaranya untuk konsumsi dalam negeri, sisanya diekspor. Dari angka ini, 8,6 juta ton untuk pangan dalam negeri (termasuk untuk minyak goreng) dan 18,4 juta ton untuk pangan ekspor. Sementara untuk energi (biodiesel), 10,5 juta ton buat dalam negeri dan 0,5 juta ton ekspor. Sisanya untuk industri lain, seperti oleochemical. Artinya, produksi melimpah.

Instabilitas harga terjadi karena tak ada instrumen stabilisasi, baik harga maupun pasokan. Sampai saat ini pemerintah menyerahkan harga minyak goreng pada mekanisme pasar. Memang ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Di beleid ini, minyak goreng kemasan sederhana di level konsumen dibanderol Rp11.000/liter. Masalahnya, ini sekadar acuan. Jika tidak diacu tidak ada sanksi. Permendag tentang harga acuan ini tidak lebih dari macan kertas: keberadaan dan ketiadaannya sama saja.

Untuk menstabilkan harga minyak goreng dimulai dari stok yang harus dikuasai pemerintah (untuk melakukan intervensi pasar) dan harganya. Menurut data Kementerian Perdagangan, kebutuhan minyak goreng curah rumah tangga, industri kecil menengah dan usaha mikro, kecil, dan menengah sekitar 2,1 juta liter. Mereka selama ini membeli di pasar tradisional. Mereka inilah yang akan jadi sasaran stabilisasi. Caranya, pemerintah memberikan subsidi harga tertentu dari tiap liter minyak goreng curah dari produsen. Kemudian produsen harus memastikan harga di hilir pada rentang harga yang ditentukan.

Anggaran subsidi bisa diambilkan dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dari sisi regulasi, seperti diatur di Perpres No. 66/2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dana bisa digunakan untuk kebutuhan pangan. Yang krusial adalah berapa alokasi subsidi per liter minyak goreng. Karena ini menentukan besar-kecilnya dana dari BPDPKS. Selama ini, selain untuk membantu peremajaan sawit dan promosi, dana ini dipakai untuk mensubsidi proyek biodiesel dari sawit, yakni B-30.

Subsidi diberikan kala harga minyak goreng tinggi. Ketika harga minyak goreng turun pada keseimbangan baru, subsidi dihentikan. Langkah ini harus dibarengi upaya, pertama, mengintegrasikan industri minyak goreng dengan produsen CPO. Harga minyak goreng saat ini terpantik tinggi karena harus membeli CPO sebagai bahan baku sesuai harga pasar lelang yang terhubung dengan harga internasional. Di saat harga CPO dunia naik, harga lelang pun naik. Kedua, mengefisienkan rantai pasok. Saat ini, 45 (60,8%) dari 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit ada di Jawa. Sementara Jawa bukan penghasil sawit. Akibatnya, margin perdagangan dan pengangkutan tinggi: 17,41%. Jika dua masalah struktural ini bisa diurai, instabilitas harga minyak goreng bisa diredam.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1121 seconds (0.1#10.140)