Menuju Pendidikan Islam Transformatif (Refleksi dan Proyeksi Arah Pendidikan Islam)
loading...
A
A
A
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur Dit PAI Kementerian Agama
DENGAN beragam perkembangan saat ini, pendidikan Islam harus menyesuaikan diri dengan target dan arah pembangunan pada tantangan terkini, jarak antara (2025) dan momen krusial (2045). Dua tahun kondisi pandemi menghadirkan beragam tantangan sekaligus keharusan bagi kalangan pendidikan Islam untuk bangkit dan bertumbuh.
Tantangan terkini di antaranya merujuk pada isu kebangsaan dan keindonesiaan sebagaimana tercermin dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020- 2024 yang menekankan perlunya moderasi beragama sebagai salah satu prioritas. Sosialisasi dan insersi moderasi beragama pada berbagai kalangan dan lapisan masyarakat telah cukup masif dan dilakukan belakangan ini.
Tantangan terkini juga berupa respons terhadap situasi kebencanaan pandemi Covid-19 beserta semua dampaknya dalam konteks pendidikan Islam. Titik penting pendidikan Islam adalah upaya membangun karakter berpendidikan dengan nilai islami yang mengedepankan akhlakul karimah (budi pekerti mulia). Kondisi ideal ini, sayangnya, terkait dengan praktik langsung dan keteladanan yang dibangun bersama antara pengajar dan peserta didik. Jika tidak menemukan solusi yang tepat, situasi ini akan menghadapi risiko loss generation dalam konteks karakter pendidikan Islam pada siswa.
Dampak pandemi juga menjadi hantaman kuat bagi sektor perekonomian nasional hingga internasional. Berbagai pembatasan aktivitas sosial dan prioritas penanganan dampak kesehatan dan sosial pandemik menjadikan aktivitas ekonomi menurun drastis. Seiring dengan kondisi pandemi, problem lingkungan, ketersediaan pekerjaan, dan melimpahnya tenaga kerja pendidikan Islam juga menjadi tantangan yang patut dicermati. Pasalnya, kondisi pandemik tidak menghalangi tingkat kelulusan siswa dan angkatan kerja pendidikan Islam. Sementara pada saat yang bersamaan dunia kerja sedang tidak berjalan dengan normal.
Tahun 2025 menjadi penting untuk dicermati karena merupakan momen persiapan menuju apa yang secara luas dikenal sebagai bonus demografi pada 2045. Dengan harapan dan asumsi pandemi segera berakhir, tahun 2025 merupakan titik pemulihan, konsolidasi, dan akselerasi nyata berbagai upaya pembangunan kualitas pendidikan Islam dapat terwujud.
Ekosistem Ekonomi Syariah
Dalam upaya pemulihan tersebut, ranah pendidikan Islam harus menggenjot kesiapan mengelola ekonomi syariah sebagai kesempatan besar. Berdasarkan data State of Global Islamic Economic Report 2020-2021, belanja konsumsi ekonomi Islam secara global di berbagai sektor diperkirakan lebih dari USD3 triliun pada 2024. Dengan jumlah demikian, tidak heran jika ekonomi syariah akan menjadi primadona pertumbuhan ekonomi baru yang menjadi perhatian besar berbagai negara, banyak di antaranya adalah negara non-muslim. “Halal style” telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat global karena distingsi dan potensi ekonomi di dalamnya.
Dalam kaitan demikian, sudah selayaknya pendidikan Islam berada di garis terdepan dalam mengelola kesempatan baik ini. Penyesuaian terhadap langkah dan arah kebijakan ekonomi syariah telah terbangun setidaknya pada roadmap pengembangan ekonomi syariah dan industri halal nasional.
Penyiapan ekosistem ekonomi syariah terkait erat dengan modal halal (capital halal) yang terentang dari faktor religiusitas, demografis, sosial, dan kultural. Dengan fakta demikian, sesungguhnya pendidikan Islam memiliki tugas besar untuk menjadi “tuan rumah” bagi urusannya sendiri, agar terhindar dari kemungkinan sebaliknya. Sebabnya, negara-negara lain telah masif dan sangat aktif bergerak dalam menyiapkan ekosistem ekonomi syariah dari hilir ke hulu.
Transformatif dan Berkelanjutan
Kondisi pandemi Covid-19 mempercepat pergeseran dan perubahan menuju masyarakat digital. Namun, tranformasi ini membawa konsekuensi kebutuhan sumber daya yang memiliki kompetensi terkait, berpikiran kritis, serta keterampilan sosial dan emosional. Mau tidak mau, kecenderungan dan tuntutan ini harus menjadi titik perhatian ranah pendidikan Islam dalam penyesuaian kurikulum pendidikannya secara tepat dan cepat.
Kecenderungan transformatif lainnya adalah adaptasi terhadap isu dan kebijakan ekologi, terutama dalam isu lingkungan dan perubahan iklim. Covid-19 sebagai wabah zoologis telah mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap lingkungan. Bersamaan dengan itu, problem perubahan iklim juga telah menjadi isu nasional dan internasional yang terus menguat dan memengaruhi berbagai kebijakan, termasuk pendidikan.
Dalam pemahaman demikian, pendidikan Islam dapat memberi warna distingtif dengan menekankan konteks besar mengenai Islam rahmatan lil ‘alamin, bahwa sikap moderat bukan hanya penting dibangun untuk sesama manusia, tetapi juga kepada semesta alam. Sikap ini akan menjadi fondasi bagi karakter insan pendidikan Islam yang menghargai alam dan lingkungan, serta menghindari kecenderungan eksploitatif.
Inklusif - Berkeadilan
Inklusivitas pendidikan Islam, sebagaimana tercermin dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa, bukan hanya terletak pada penyediaan sarana, prasarana, dan dukungan yang dibutuhkan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi, namun juga mengarah pada perlunya kesetaraan hak, gender, dan disabilitas pada layanan pendidikan Islam.
Dalam konteks perkembangan terkini, pendidikan Islam juga terkait dengan perlunya perlindungan terhadap peserta didik dari tindak pidana kekerasan seksual. Dukungan Kementerian Agama terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) patut diapresiasi tinggi.
Pasalnya, Permendikbudristek PPKS memerinci bentuk tindakan dengan konsekuensi sanksi administratif, mengakui kemungkinan bentuk kekerasan seksual tersebut berkembang, dan mengatur langkah-langkah pencegahan guna mengurangi kerugian akibat kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Dukungan dan pengakuan Permendikbudristek PPKS atas potensi dan data kekerasan seksual ini eloknya mendorong langkah lebih jauh untuk membuat landasan dan fondasi regulasi terkait. Beberapa kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terungkap dan menjadi perhatian publik yang terjadi di lingkup Pendidikan Islam (pondok pesantren) harus diakui sebagai realitas dan dilihat dalam bingkai regulasi pencegahan tindakan kekerasan seksual.
Dengan menekankan sistem pembelajaran boarding, konteks dan habitus intreraksi insan pondok pesantren dan sejenisnya dapat menjadi faktor yang diselewengkan dari semangat dan nilai dasar yang hendak dikembangkan.
Pada akhirnya, beragam tantangan dan kelindan problem sebagai dampak langsung kondisi pandemik dan tantangan terkini memerlukan penilaian dan pendalaman (assessment) menyeluruh terkait aspek materiil dan non-materiil dukungan pendidikan Islam. Langkah ini penting untuk memotret masalah secara komprehensif dan menemukan solusi yang tepat ke depannya.
Asesor SDM Aparatur Dit PAI Kementerian Agama
DENGAN beragam perkembangan saat ini, pendidikan Islam harus menyesuaikan diri dengan target dan arah pembangunan pada tantangan terkini, jarak antara (2025) dan momen krusial (2045). Dua tahun kondisi pandemi menghadirkan beragam tantangan sekaligus keharusan bagi kalangan pendidikan Islam untuk bangkit dan bertumbuh.
Tantangan terkini di antaranya merujuk pada isu kebangsaan dan keindonesiaan sebagaimana tercermin dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020- 2024 yang menekankan perlunya moderasi beragama sebagai salah satu prioritas. Sosialisasi dan insersi moderasi beragama pada berbagai kalangan dan lapisan masyarakat telah cukup masif dan dilakukan belakangan ini.
Tantangan terkini juga berupa respons terhadap situasi kebencanaan pandemi Covid-19 beserta semua dampaknya dalam konteks pendidikan Islam. Titik penting pendidikan Islam adalah upaya membangun karakter berpendidikan dengan nilai islami yang mengedepankan akhlakul karimah (budi pekerti mulia). Kondisi ideal ini, sayangnya, terkait dengan praktik langsung dan keteladanan yang dibangun bersama antara pengajar dan peserta didik. Jika tidak menemukan solusi yang tepat, situasi ini akan menghadapi risiko loss generation dalam konteks karakter pendidikan Islam pada siswa.
Dampak pandemi juga menjadi hantaman kuat bagi sektor perekonomian nasional hingga internasional. Berbagai pembatasan aktivitas sosial dan prioritas penanganan dampak kesehatan dan sosial pandemik menjadikan aktivitas ekonomi menurun drastis. Seiring dengan kondisi pandemi, problem lingkungan, ketersediaan pekerjaan, dan melimpahnya tenaga kerja pendidikan Islam juga menjadi tantangan yang patut dicermati. Pasalnya, kondisi pandemik tidak menghalangi tingkat kelulusan siswa dan angkatan kerja pendidikan Islam. Sementara pada saat yang bersamaan dunia kerja sedang tidak berjalan dengan normal.
Tahun 2025 menjadi penting untuk dicermati karena merupakan momen persiapan menuju apa yang secara luas dikenal sebagai bonus demografi pada 2045. Dengan harapan dan asumsi pandemi segera berakhir, tahun 2025 merupakan titik pemulihan, konsolidasi, dan akselerasi nyata berbagai upaya pembangunan kualitas pendidikan Islam dapat terwujud.
Ekosistem Ekonomi Syariah
Dalam upaya pemulihan tersebut, ranah pendidikan Islam harus menggenjot kesiapan mengelola ekonomi syariah sebagai kesempatan besar. Berdasarkan data State of Global Islamic Economic Report 2020-2021, belanja konsumsi ekonomi Islam secara global di berbagai sektor diperkirakan lebih dari USD3 triliun pada 2024. Dengan jumlah demikian, tidak heran jika ekonomi syariah akan menjadi primadona pertumbuhan ekonomi baru yang menjadi perhatian besar berbagai negara, banyak di antaranya adalah negara non-muslim. “Halal style” telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat global karena distingsi dan potensi ekonomi di dalamnya.
Dalam kaitan demikian, sudah selayaknya pendidikan Islam berada di garis terdepan dalam mengelola kesempatan baik ini. Penyesuaian terhadap langkah dan arah kebijakan ekonomi syariah telah terbangun setidaknya pada roadmap pengembangan ekonomi syariah dan industri halal nasional.
Penyiapan ekosistem ekonomi syariah terkait erat dengan modal halal (capital halal) yang terentang dari faktor religiusitas, demografis, sosial, dan kultural. Dengan fakta demikian, sesungguhnya pendidikan Islam memiliki tugas besar untuk menjadi “tuan rumah” bagi urusannya sendiri, agar terhindar dari kemungkinan sebaliknya. Sebabnya, negara-negara lain telah masif dan sangat aktif bergerak dalam menyiapkan ekosistem ekonomi syariah dari hilir ke hulu.
Transformatif dan Berkelanjutan
Kondisi pandemi Covid-19 mempercepat pergeseran dan perubahan menuju masyarakat digital. Namun, tranformasi ini membawa konsekuensi kebutuhan sumber daya yang memiliki kompetensi terkait, berpikiran kritis, serta keterampilan sosial dan emosional. Mau tidak mau, kecenderungan dan tuntutan ini harus menjadi titik perhatian ranah pendidikan Islam dalam penyesuaian kurikulum pendidikannya secara tepat dan cepat.
Kecenderungan transformatif lainnya adalah adaptasi terhadap isu dan kebijakan ekologi, terutama dalam isu lingkungan dan perubahan iklim. Covid-19 sebagai wabah zoologis telah mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap lingkungan. Bersamaan dengan itu, problem perubahan iklim juga telah menjadi isu nasional dan internasional yang terus menguat dan memengaruhi berbagai kebijakan, termasuk pendidikan.
Dalam pemahaman demikian, pendidikan Islam dapat memberi warna distingtif dengan menekankan konteks besar mengenai Islam rahmatan lil ‘alamin, bahwa sikap moderat bukan hanya penting dibangun untuk sesama manusia, tetapi juga kepada semesta alam. Sikap ini akan menjadi fondasi bagi karakter insan pendidikan Islam yang menghargai alam dan lingkungan, serta menghindari kecenderungan eksploitatif.
Inklusif - Berkeadilan
Inklusivitas pendidikan Islam, sebagaimana tercermin dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa, bukan hanya terletak pada penyediaan sarana, prasarana, dan dukungan yang dibutuhkan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi, namun juga mengarah pada perlunya kesetaraan hak, gender, dan disabilitas pada layanan pendidikan Islam.
Dalam konteks perkembangan terkini, pendidikan Islam juga terkait dengan perlunya perlindungan terhadap peserta didik dari tindak pidana kekerasan seksual. Dukungan Kementerian Agama terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) patut diapresiasi tinggi.
Pasalnya, Permendikbudristek PPKS memerinci bentuk tindakan dengan konsekuensi sanksi administratif, mengakui kemungkinan bentuk kekerasan seksual tersebut berkembang, dan mengatur langkah-langkah pencegahan guna mengurangi kerugian akibat kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Dukungan dan pengakuan Permendikbudristek PPKS atas potensi dan data kekerasan seksual ini eloknya mendorong langkah lebih jauh untuk membuat landasan dan fondasi regulasi terkait. Beberapa kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terungkap dan menjadi perhatian publik yang terjadi di lingkup Pendidikan Islam (pondok pesantren) harus diakui sebagai realitas dan dilihat dalam bingkai regulasi pencegahan tindakan kekerasan seksual.
Dengan menekankan sistem pembelajaran boarding, konteks dan habitus intreraksi insan pondok pesantren dan sejenisnya dapat menjadi faktor yang diselewengkan dari semangat dan nilai dasar yang hendak dikembangkan.
Pada akhirnya, beragam tantangan dan kelindan problem sebagai dampak langsung kondisi pandemik dan tantangan terkini memerlukan penilaian dan pendalaman (assessment) menyeluruh terkait aspek materiil dan non-materiil dukungan pendidikan Islam. Langkah ini penting untuk memotret masalah secara komprehensif dan menemukan solusi yang tepat ke depannya.
(bmm)