Ilmu sebagai Kekalahan

Senin, 08 Juni 2020 - 16:10 WIB
loading...
A A A
Nasib para ilmuan juga tidak mendapat tempat selayaknya, karena tidak popular. Mereka juga tidak mempunyai daya kekuatan yang layak untuk ditawarkan baik pada masyakat maupun orang-orang politik. Sama seperti gambaran kontradiktif kereta kuda dan telefon genggam, para politikus kita juga sebenarnya percaya pada sains dalam pemenangan pesta demokrasi mereka: survei, statistik, polling, angka, dan prediksi. Tetapi dalam bargaining selanjutnya, pengetahuan tempatnya hanya bangku-bangku sekolah dasar. Kebijakan-kebijkan berbau saintis yang merugikan popularitas akan segera dipotong.

Selama masa Corona ini, berapa versi penyebaran, korban, dan kematian selalu dinamis. Angka resmi, angka informal, prediksi asal, rumor, teori konspirasi, dan hal-hal tak masuk akal seringkali lebih diterima khalayak. Kebijakan demi kebijakan dari berbagai daerah dan pusat tidak semuanya didahului oleh penelitian.

Keputusan publik banyak pertimbangan. Ilmu dan produknya jika menyangkut massa mendapatkan ruang tidak leluasa. Pemimpin dan masyarakat jarang berbeda, karena keduanya saling memproduksi.

Masyakarat akan melahirkan pemimpin yang seselera, begitu juga pemimpin akan mengaturnya sesuai dengan musimnya. Harapan kita akan terobosan, masih terus didoakan dan diupayakan semoga kelak suatu saat ada perubahan ideologi, kebijakan, dan sikap terhadap sains dan pengetahuan.

Di dunia global ini, ilmu dan kapitalisme kawin-mawin, dan itulah yang melahirkan banyak perubahan di negara adidaya Amerika. Sejarah penemuan dan paten selalu berkelindan dengan modal besar. Modal kecil akan dilindas oleh modal besar: seperti cerita persaingan Nocholas Tesla lawan Thomas Alfa Edison, serta Wright bersaudara lawan Glen Curtis.

Hingga kini, pasar global telah menyaksikan kiprah usaha raksasa perpaduan pengetahuan dan kapitalisme di Amerika, seperti Microsoft, Apple, Facebook, Google, dan lain-lain. Namun, karena politik identitas dan konservatisme sedang naik daun, banyak keputusan-keputusan politik di negeri adidaya itu justru menjadi bahan tertawaan, seperti respons terhadap virus corona yang lamban yang berakibat fatal dan anjuran sang presiden untuk menyuntik pasien dengan antiseptik.

Pertarungan Demokrat dan Republikan dalam pesta demokrasi pilihan presiden mendatang akan berkelindan pada pertarungan populisme dan keterbukaan. Sikap moral saintifik sedang dipertaruhkan.

Di Indonesia, sejak kebangkitan ekonomi dan investasi modal pasca runtuhnya Orde Baru, pasar telah menggaet sentimen keagamaan. Modal besar di pasar dan tren publik menyatu dengan kebangkitan konservatisme. Bisnis dan popularitas selalu terkait dengan sentimen publik pada penampilan kesalehan di muka umum. Semua berbau agama layak dibisniskan dan ternyata membawa profit.

Faktor agama telah mendongkrak politik dan juga sektor bisnis. Para artis dan figur publik sadar betul bahwa faktor kesalehan cukup efektif dan layak dipertimbangkan untuk menarik simpati massa.

Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan tampaknya belum serius akan kawin dengan makhluk jenis apa pun di negeri ini: politik dan ekonomi tampaknya masih ogah untuk bergandengan dengan ilmu. Belum ada ilmuan yang nekat dengan modalnya. Belum ada pula sambutan modal besar yang mendanai riset yang ambisius.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1129 seconds (0.1#10.140)