Ambang Batas Parlemen, Sistem Pemilu Diminta Dikaji Ulang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tujuh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Politik yang tergabung dalam Forum Sekjen Pro-Demokrasi mengeluhkan wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang akan disahkan oleh pemerintah dan DPR.
(Baca juga: Soal Parliamentary Threshold 7%, PKS Sebut Kenaikan Harus Bertahap)
Dalam RUU itu muncul wacana menaikan ambang batas Parlemen (parlementary threshold) menjadi 7 persen. Sedangkan, pada pemilu 2019 ambang batas parlemen dipatok 4 persen.
(Baca juga: PAN Nilai Usulan Ambang Batas Parlemen 7% Tidak Realistis)
Sekjen Pro-Demokrasi menganggap, dengan ambang batas 4 persen saja terdapat puluhan juta suara yang hangus. Para Sekjen ini juga menyayangkan penerapan ambang batas presiden atau presidential threeshold.
Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby menganggap, wacana kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen memang berpotensi menghilangkan puluhan juta suara pemilih. Terlebih pada pemilu 2019 sistem pemilu menggunakan proporsional tertutup.
"Jika ambang batas naik menjadi 7% maka banyak suara pemilih akan hilang, pada pemilu 2019 lalu terdapat 13,5 juta pemilih suaranya terbuang sia-sia," ujar Alwan saat dihubungi SINDOnews, Senin (8/6/2020).
Alwan menyadari, ketika ambang batas parlemen dipatok di angka 4 persen saja sudah cukup berat. Terbukti, banyak partai politik peserta pemilu yang gagal lolos ke Senayan.
Menurutnya, hal ini masih ditambah dengan sistem proporsional yang pada pemilu 2014 dibuat terbuka pada pemilu 2019 menjadi tertutup. Untuk itu, Awlan menyarankan agar sistem kepemiluan dan kepartaian yang menganut multi partai dikaji ulang.
"Lalu pilih proporsional tertutup, maka membangun oligarki di internal partai, pemilih boleh memilih tapi pemenangnya tergantung partai, karena harus sesuai dengan nomor urut," katanya.
(Baca juga: Soal Parliamentary Threshold 7%, PKS Sebut Kenaikan Harus Bertahap)
Dalam RUU itu muncul wacana menaikan ambang batas Parlemen (parlementary threshold) menjadi 7 persen. Sedangkan, pada pemilu 2019 ambang batas parlemen dipatok 4 persen.
(Baca juga: PAN Nilai Usulan Ambang Batas Parlemen 7% Tidak Realistis)
Sekjen Pro-Demokrasi menganggap, dengan ambang batas 4 persen saja terdapat puluhan juta suara yang hangus. Para Sekjen ini juga menyayangkan penerapan ambang batas presiden atau presidential threeshold.
Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby menganggap, wacana kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen memang berpotensi menghilangkan puluhan juta suara pemilih. Terlebih pada pemilu 2019 sistem pemilu menggunakan proporsional tertutup.
"Jika ambang batas naik menjadi 7% maka banyak suara pemilih akan hilang, pada pemilu 2019 lalu terdapat 13,5 juta pemilih suaranya terbuang sia-sia," ujar Alwan saat dihubungi SINDOnews, Senin (8/6/2020).
Alwan menyadari, ketika ambang batas parlemen dipatok di angka 4 persen saja sudah cukup berat. Terbukti, banyak partai politik peserta pemilu yang gagal lolos ke Senayan.
Menurutnya, hal ini masih ditambah dengan sistem proporsional yang pada pemilu 2014 dibuat terbuka pada pemilu 2019 menjadi tertutup. Untuk itu, Awlan menyarankan agar sistem kepemiluan dan kepartaian yang menganut multi partai dikaji ulang.
"Lalu pilih proporsional tertutup, maka membangun oligarki di internal partai, pemilih boleh memilih tapi pemenangnya tergantung partai, karena harus sesuai dengan nomor urut," katanya.
(maf)