Kehamilan Ibu dan Kelahiran Bayi pada saat Covid-19
loading...
A
A
A
Seto MulyadiKetua Umum LPAI, Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma UU Perlindungan Anak memberikan batasan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan. Dengan demikian, bayi yang masih berada di rahim ibunda juga berada pada kategori usia anak.Kali ini saya ingin memberikan catatan khusus mengenai anak-anak yang belum dilahirkan itu, tetapi saya kaitkan dengan masalah virus korona yang masih merajalela. Menjadi harapan bersama bahwa wabah Covid-19 dapat secepatnya teratasi. Sebagai bagian untuk mencapai harapan itu, masyarakat di Tanah Air, bahkan di banyak negara lain, diharuskan melakukan swakarantina di rumah masing-masing.Swakarantina dapat mengakibatkan berbagai dinamika lahir dan batin. Psikolog sosial dari Michigan's School of Public Health, Daniel Kruger, menunjukkan sejumlah studi yang menyimpulkan adanya hubungan antara tingkat kelahiran dan bencana. Pasangan suami istri (pasutri) menjadi lebih sering melakukan hubungan intim dalam situasi ketika mereka terkarantina.Begitu dekatnya hubungan antara seks dan bencana, Profesor Pepper Schwartz, sosiolog sekaligus seksolog dari The University of Washington, bahkan menjuluki fenomena seks dalam situasi bencana sebagai dorongan instingtif yang terwariskan dalam proses evolusi manusia.Teori Profesor Schwartz tersebut menarik untuk dibandingkan dengan situasi saat ini. Survei yang dilakukan SoFi dan Modern Fertility, misalnya, menemukan adanya perspektif baru pada masyarakat luas tentang kehamilan pada era Covid-19. Sepertiga responden mengaku, Covid-19 telah memaksa mereka untuk mengubah rencana kehamilan. Hampir separuhnya memilih menunda program kehamilan karena khawatir Covid-19 akan mempersulit mereka saat membutuhkan layanan dan persalinan di rumah sakit.
Mereka membayangkan bahwa sumber daya rumah sakit difokuskan untuk menolong pasien yang positif tertular virus Korona. Sebanyak 25% responden menyatakan takut terkena Covid-19, tetapi jauh lebih banyak (40%) pasutri yang menunda punya anak karena ketakutan mereka terkait menurunnya kemampuan finansial. Apa boleh buat,social distancingternyata juga memiliki dampak serius bagi mewabahnyaeconomic lockdown.Bagaimana sikap para pasutri di Indonesia terkait rencana kehamilan mereka? Masih patut dikaji. Namun, sejumlah indikasi dapat dibaca, antara lain dua program inisiatif Klinik Fertilitas Bocah Indonesia, yaitutelehealth jconsultationsebagai tempat bagi pasien untuk memeriksakan kehamilan mereka, serta forum diskusi virtual PINTeR, Chat LIST, dan Fun FIGHT bagi masyarakat umum yang ingin belajar tentang infertilitas (gangguan kesuburan).
Animo masyarakat untuk mengikuti program-programtersebut ternyata tergolong tinggi. Ini semua boleh jadi mengindikasikan sikapmasyarakat di Tanah Air yang tetap terbuka untuk menjalani program kehamilan pada masa sekarang. Sikap positif itu pun direspons Klinik Bocah dengan membangun protokol Siaga Covid-19 sebagai standar operasi pelayanan bagi pasien di tengah pandemi virus korona ini.
Pelajaran yang dapat diambil dari situasi di atas, memahami keinginan pasutri untuk mempunyai anak sebagai keinginan yang begitu istimewa, maka --tiada lain-- pendekatan positif untuk menjawab keinginan itu pun harus disusun dengan istimewa pula.Temuan-temuan di atas dapat ditafsirkan secara sehat bahwa meskipun mengurung diri di rumah menghambat masyarakat beraktivitas, masa pandemi ini sekaligus dapat menjadi kesempatan emas bagi para calon ayah bunda. Namun, ini bukanlah kesempatan emas tanpa “biaya ekstra”.Tidak menurun, bahkan justru meningkatnya hasrat pasutri untuk melakukan hubungan intim di tengah badai Covid-19, apalagi yang dilakukan tanpa alat kontrasepsi, berpeluang besar meningkatkan kelahiran bayi terhitung sembilan bulan sejak ketentuan swakarantina diberlakukan. Kita tentu berharap virus korona cukup memiliki rasa kemanusiaan untuk tidak menyerang para ibu hamil dan janin di rahim mereka.
Namun pada sisi lain, sebagai antisipasi, sungguh mulia apabila para ilmuwan juga dapat lebih gencar mengkaji kemungkinan adanya pengaruh virus korona terhadap kehamilan dan risiko tertularnya bayi-bayi yang dilahirkan para ibu yang positif mengidap Covid-19. Hingga saat saya menulis naskah ini, Badan Kesehatan Dunia PBB di situs resminya masih belum menyajikan simpulan solid tentang seluk-beluk Covid-19 dan kehamilan.Seiring dengan itu, praktisi medis pun perlu terus membangun cara-cara terbaik bagi proses persalinan para ibu serta pemeliharaan kesehatan bayi mereka. Masyarakat, khususnya pasutri yang baru memiliki momongan, juga perlu terus meningkatkan upaya untuk senantiasa memutakhirkan imunisasi dan memberikan ASI eksklusif bagi bayi mereka. Pemerintah pun pada saat yang sama sepatutnya memberikan perhatian ekstra kepada para ibu hamil dan bayi yang baru dilahirkan, mengingat mereka memiliki kebutuhan yang berbeda dengan kebanyakan warga.Akhirnya, patut menjadi keinsafan bersama bahwa bayi-bayi yang dikandung dan anak-anak yang dilahirkan saat Covid-19 ini adalah generasi yang muncul pada masa penuh tantangan. Kesiapan kolektif kita dalam menyambut serta menjamin sehat sejahteranya proses tumbuh kembang para bayi mungil itu akan memuluskan perjalanan mereka ke masa depan. Masa ketika mereka kelak akan menjelma sebagai generasi emas yangmembanggakan. Semoga.
Universitas Gunadarma UU Perlindungan Anak memberikan batasan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan. Dengan demikian, bayi yang masih berada di rahim ibunda juga berada pada kategori usia anak.Kali ini saya ingin memberikan catatan khusus mengenai anak-anak yang belum dilahirkan itu, tetapi saya kaitkan dengan masalah virus korona yang masih merajalela. Menjadi harapan bersama bahwa wabah Covid-19 dapat secepatnya teratasi. Sebagai bagian untuk mencapai harapan itu, masyarakat di Tanah Air, bahkan di banyak negara lain, diharuskan melakukan swakarantina di rumah masing-masing.Swakarantina dapat mengakibatkan berbagai dinamika lahir dan batin. Psikolog sosial dari Michigan's School of Public Health, Daniel Kruger, menunjukkan sejumlah studi yang menyimpulkan adanya hubungan antara tingkat kelahiran dan bencana. Pasangan suami istri (pasutri) menjadi lebih sering melakukan hubungan intim dalam situasi ketika mereka terkarantina.Begitu dekatnya hubungan antara seks dan bencana, Profesor Pepper Schwartz, sosiolog sekaligus seksolog dari The University of Washington, bahkan menjuluki fenomena seks dalam situasi bencana sebagai dorongan instingtif yang terwariskan dalam proses evolusi manusia.Teori Profesor Schwartz tersebut menarik untuk dibandingkan dengan situasi saat ini. Survei yang dilakukan SoFi dan Modern Fertility, misalnya, menemukan adanya perspektif baru pada masyarakat luas tentang kehamilan pada era Covid-19. Sepertiga responden mengaku, Covid-19 telah memaksa mereka untuk mengubah rencana kehamilan. Hampir separuhnya memilih menunda program kehamilan karena khawatir Covid-19 akan mempersulit mereka saat membutuhkan layanan dan persalinan di rumah sakit.
Mereka membayangkan bahwa sumber daya rumah sakit difokuskan untuk menolong pasien yang positif tertular virus Korona. Sebanyak 25% responden menyatakan takut terkena Covid-19, tetapi jauh lebih banyak (40%) pasutri yang menunda punya anak karena ketakutan mereka terkait menurunnya kemampuan finansial. Apa boleh buat,social distancingternyata juga memiliki dampak serius bagi mewabahnyaeconomic lockdown.Bagaimana sikap para pasutri di Indonesia terkait rencana kehamilan mereka? Masih patut dikaji. Namun, sejumlah indikasi dapat dibaca, antara lain dua program inisiatif Klinik Fertilitas Bocah Indonesia, yaitutelehealth jconsultationsebagai tempat bagi pasien untuk memeriksakan kehamilan mereka, serta forum diskusi virtual PINTeR, Chat LIST, dan Fun FIGHT bagi masyarakat umum yang ingin belajar tentang infertilitas (gangguan kesuburan).
Animo masyarakat untuk mengikuti program-programtersebut ternyata tergolong tinggi. Ini semua boleh jadi mengindikasikan sikapmasyarakat di Tanah Air yang tetap terbuka untuk menjalani program kehamilan pada masa sekarang. Sikap positif itu pun direspons Klinik Bocah dengan membangun protokol Siaga Covid-19 sebagai standar operasi pelayanan bagi pasien di tengah pandemi virus korona ini.
Pelajaran yang dapat diambil dari situasi di atas, memahami keinginan pasutri untuk mempunyai anak sebagai keinginan yang begitu istimewa, maka --tiada lain-- pendekatan positif untuk menjawab keinginan itu pun harus disusun dengan istimewa pula.Temuan-temuan di atas dapat ditafsirkan secara sehat bahwa meskipun mengurung diri di rumah menghambat masyarakat beraktivitas, masa pandemi ini sekaligus dapat menjadi kesempatan emas bagi para calon ayah bunda. Namun, ini bukanlah kesempatan emas tanpa “biaya ekstra”.Tidak menurun, bahkan justru meningkatnya hasrat pasutri untuk melakukan hubungan intim di tengah badai Covid-19, apalagi yang dilakukan tanpa alat kontrasepsi, berpeluang besar meningkatkan kelahiran bayi terhitung sembilan bulan sejak ketentuan swakarantina diberlakukan. Kita tentu berharap virus korona cukup memiliki rasa kemanusiaan untuk tidak menyerang para ibu hamil dan janin di rahim mereka.
Namun pada sisi lain, sebagai antisipasi, sungguh mulia apabila para ilmuwan juga dapat lebih gencar mengkaji kemungkinan adanya pengaruh virus korona terhadap kehamilan dan risiko tertularnya bayi-bayi yang dilahirkan para ibu yang positif mengidap Covid-19. Hingga saat saya menulis naskah ini, Badan Kesehatan Dunia PBB di situs resminya masih belum menyajikan simpulan solid tentang seluk-beluk Covid-19 dan kehamilan.Seiring dengan itu, praktisi medis pun perlu terus membangun cara-cara terbaik bagi proses persalinan para ibu serta pemeliharaan kesehatan bayi mereka. Masyarakat, khususnya pasutri yang baru memiliki momongan, juga perlu terus meningkatkan upaya untuk senantiasa memutakhirkan imunisasi dan memberikan ASI eksklusif bagi bayi mereka. Pemerintah pun pada saat yang sama sepatutnya memberikan perhatian ekstra kepada para ibu hamil dan bayi yang baru dilahirkan, mengingat mereka memiliki kebutuhan yang berbeda dengan kebanyakan warga.Akhirnya, patut menjadi keinsafan bersama bahwa bayi-bayi yang dikandung dan anak-anak yang dilahirkan saat Covid-19 ini adalah generasi yang muncul pada masa penuh tantangan. Kesiapan kolektif kita dalam menyambut serta menjamin sehat sejahteranya proses tumbuh kembang para bayi mungil itu akan memuluskan perjalanan mereka ke masa depan. Masa ketika mereka kelak akan menjelma sebagai generasi emas yangmembanggakan. Semoga.
(nag)