Guru Terus Bergerak di Era Digital
loading...
A
A
A
Dr Adjat Wiratma
Jurnalis dan Pegiat Pendidikan
SUDAHKAH kita benar-benar masuk era digital? Pertanyaan itu muncul saat saya berada di daerah-daerah pelosok atau singgah di desa melihat dan mendengarkan pengakuan guru serta siswa yang sejak pandemi covid-19 mereka keteteran melaksanakan pembelajaran daring.
Jaringan internet masih terbatas. Gawai yang digunakan juga tak begitu pintar. Proses belajar mengajar dijalankan terkesan dipaksakan, sebisanya. Lain guru, lain sekolah, lain siswa, lain juga kondisi belajar dan mengajarnya.
Namun jika menilik secara global, saat ini dunia telah masuk di era dimana semua kegiatan kehidupan sudah dipermudah dengan adanya teknologi, itulah yang dimaksud era digital. Pandemi bahkan telah mempercepat proses digitalisasi itu, membeli makan di warung saja kini sudah dengan aplikasi.
Masa ini juga dapat kita sebut sebagai glorifikasi teknologi informasi, seperti yang diutarakan Klaus Schawb yakni Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya kecanggihan mikroprosesor tapi juga tentang kecerdasan artifisial. Masa ini adalah tantangan sekaligus kesempatan yang dapat melahirkan banyak solusi, termasuk dalam bidang pendidikan.
Pemerintah mengatakan pihaknya terus berupaya untuk mewujudkan digitalisasi pendidikan, walau yang baru terlihat lebih pada pengadaan sarana penunjangnya saja. Semisal pengalokasian 17,42 triliun rupiah untuk belanja produk teknologi seperti laptop, access point, konektor, LCD proyektor, layar proyektor dan speaker aktif, periode 2021 hingga 2024.
Di luar itu ada hal penting lain yang perlu menjadi perhatian bersama, terutama bagi guru sebagai ujung tombak pendidikan. Memiliki guru yang paham dengan kondisi zaman tentu tidak bisa diwujudkan secara instan. Diharapkan mereka yang memilih jalan hidup sebagai guru tumbuh kesadaran sejak dini, dan terus bergerak meningkatkan kompetensinya agar menjadi guru digital bagi anak-anak digital.
Mark Prensky, pemerhati pendidikan memperkenalkan istilah digital immigrants dan digital natives. Menurutnya siswa di era sekarang adalah penduduk asli dunia digital, sedangkan para gurunya adalah mereka yang baru saja pindah ke dunia digital.
Keduanya yang merupakan dua generasi berbeda ini memiliki perbedaan tajam dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memproses informasi. Tidak hanya menyoal antara guru generasi X dan murid generasi Y, kini ada yang dinamakan generasi Alpha, yakni mereka yang lahir pada tahun 2010 sampai 2025 nanti.
Otak generasi ini dibentuk oleh dunia digital. Bahkan generasi Aplha, sejak lahir mereka sudah berhadapan dengan teknologi. Mereka kini sudah belajar melalui IoToys, The Internet of Toys, mainan robot, boneka, atau jam tangan yang semuanya terhubung dengan internet.
Jurnalis dan Pegiat Pendidikan
SUDAHKAH kita benar-benar masuk era digital? Pertanyaan itu muncul saat saya berada di daerah-daerah pelosok atau singgah di desa melihat dan mendengarkan pengakuan guru serta siswa yang sejak pandemi covid-19 mereka keteteran melaksanakan pembelajaran daring.
Jaringan internet masih terbatas. Gawai yang digunakan juga tak begitu pintar. Proses belajar mengajar dijalankan terkesan dipaksakan, sebisanya. Lain guru, lain sekolah, lain siswa, lain juga kondisi belajar dan mengajarnya.
Namun jika menilik secara global, saat ini dunia telah masuk di era dimana semua kegiatan kehidupan sudah dipermudah dengan adanya teknologi, itulah yang dimaksud era digital. Pandemi bahkan telah mempercepat proses digitalisasi itu, membeli makan di warung saja kini sudah dengan aplikasi.
Masa ini juga dapat kita sebut sebagai glorifikasi teknologi informasi, seperti yang diutarakan Klaus Schawb yakni Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya kecanggihan mikroprosesor tapi juga tentang kecerdasan artifisial. Masa ini adalah tantangan sekaligus kesempatan yang dapat melahirkan banyak solusi, termasuk dalam bidang pendidikan.
Pemerintah mengatakan pihaknya terus berupaya untuk mewujudkan digitalisasi pendidikan, walau yang baru terlihat lebih pada pengadaan sarana penunjangnya saja. Semisal pengalokasian 17,42 triliun rupiah untuk belanja produk teknologi seperti laptop, access point, konektor, LCD proyektor, layar proyektor dan speaker aktif, periode 2021 hingga 2024.
Di luar itu ada hal penting lain yang perlu menjadi perhatian bersama, terutama bagi guru sebagai ujung tombak pendidikan. Memiliki guru yang paham dengan kondisi zaman tentu tidak bisa diwujudkan secara instan. Diharapkan mereka yang memilih jalan hidup sebagai guru tumbuh kesadaran sejak dini, dan terus bergerak meningkatkan kompetensinya agar menjadi guru digital bagi anak-anak digital.
Mark Prensky, pemerhati pendidikan memperkenalkan istilah digital immigrants dan digital natives. Menurutnya siswa di era sekarang adalah penduduk asli dunia digital, sedangkan para gurunya adalah mereka yang baru saja pindah ke dunia digital.
Keduanya yang merupakan dua generasi berbeda ini memiliki perbedaan tajam dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memproses informasi. Tidak hanya menyoal antara guru generasi X dan murid generasi Y, kini ada yang dinamakan generasi Alpha, yakni mereka yang lahir pada tahun 2010 sampai 2025 nanti.
Otak generasi ini dibentuk oleh dunia digital. Bahkan generasi Aplha, sejak lahir mereka sudah berhadapan dengan teknologi. Mereka kini sudah belajar melalui IoToys, The Internet of Toys, mainan robot, boneka, atau jam tangan yang semuanya terhubung dengan internet.