Guru Terus Bergerak di Era Digital
loading...
A
A
A
Guru harus tahu dengan media sosial, sesuatu yang digemari generasi sekarang. Guru dapat membiasakan menggunakan sarana blog yang menarik di internet, juga membuat vlog.
Pengalaman saya mengajar vlog dengan peserta para guru, masih banyak yang “menyerah” di tengah jalan menganggap bahwa itu bukan dunia mereka. Tapi guru perlu sadar jika itu dibutuhkan hari ini, dan kedepan. Intinya guru harus mau belajar kembali, ada banyak sarana berbasis digital yang bisa digunakan untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Di tengah glorifikasi teknologi informasi dalam proses belajar mengajar, perlu diingat bahwa bagian otak anak, terutama usia dini yang sering terpapar gawai menunjukan adanya perubahan struktur otak. Alih menyebut penggunaan gawai yang berlebihan juga dapat mengganggu perkembangan kemampuan kognitif anak, seperti daya ingat, daya tangkap, memori, juga kemampuan motorik, serta sensoris anak.
Terlalu sering belajar online juga dampak negatif, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga faktor psikologis dan emosi anak. Maka harus diseimbangkan cara mengajar digital, dengan cara mengajar anak manusia yang menyenangkan.
Guru di era sekarang diharapkan mampu menjadi jembatan antara literasi konvensional dan digital. Seorang guru tidak harus menjadi ahli dalam pengoperasian perangkat digital, namun bisa menjadi pengarah bagi muridnya dalam mendapatkan dan mengelola informasi menggunakan perangkat yang ada.
Murid yang lebih pandai dalam menggunakan teknologi bukanlah ancaman bagi guru. Murid saat ini bisa jadi lebih pandai dalam mengoperasikan gawai, namun guru dapat memberikan referensi mengenai nilai, manfaat dan tujuan penggunaannya.
Ke depan sistem pembelajaran berbasis proyek juga harus digalakkan. Caranya dengan menekankan pada kreatifitas, merangsang munculnya inovasi, kepercayaan diri, dan semangat kolaborasi antarsiswa, siswa dan lingkungan, serta siswa dan guru, yang akan terus terbangun melalui proyek pembelajaran.
Tidak Melupakan Pendidikan Karakter
Penggunaan teknologi digital tanpa disadari juga menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Orang-orang menjadi semakin individualis, rasa kepedulian antarsesama menipis dan perjumpaan antarmanusia lebih banyak dimediasi gawai.
Situasi bertambah tidak humanis ketika penggunaanya tanpa kontrol, menggunakan teknologi digital untuk menyebarkan kebencian, sikap intoleransi, dan informasi bohong. Dalam kondisi seperti itu perlu diingatkan kembali nilai dasar manusia. Dalam konteks Indonesia adalah terwujudnya insan yang cerdas, berwawasan global, namun mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.
Tidak ada satu hal apapun dapat dianggap sebagai pendidikan tanpa nilai moral. Apapun yang dilakukan sekolah, melalui para gurunya, tentunya harus menyisipkan makna nilai didalamnya, termasuk bagaimana guru memperlakukan murid, serta sikap murid terhadap guru.
Pengalaman saya mengajar vlog dengan peserta para guru, masih banyak yang “menyerah” di tengah jalan menganggap bahwa itu bukan dunia mereka. Tapi guru perlu sadar jika itu dibutuhkan hari ini, dan kedepan. Intinya guru harus mau belajar kembali, ada banyak sarana berbasis digital yang bisa digunakan untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Di tengah glorifikasi teknologi informasi dalam proses belajar mengajar, perlu diingat bahwa bagian otak anak, terutama usia dini yang sering terpapar gawai menunjukan adanya perubahan struktur otak. Alih menyebut penggunaan gawai yang berlebihan juga dapat mengganggu perkembangan kemampuan kognitif anak, seperti daya ingat, daya tangkap, memori, juga kemampuan motorik, serta sensoris anak.
Terlalu sering belajar online juga dampak negatif, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga faktor psikologis dan emosi anak. Maka harus diseimbangkan cara mengajar digital, dengan cara mengajar anak manusia yang menyenangkan.
Guru di era sekarang diharapkan mampu menjadi jembatan antara literasi konvensional dan digital. Seorang guru tidak harus menjadi ahli dalam pengoperasian perangkat digital, namun bisa menjadi pengarah bagi muridnya dalam mendapatkan dan mengelola informasi menggunakan perangkat yang ada.
Murid yang lebih pandai dalam menggunakan teknologi bukanlah ancaman bagi guru. Murid saat ini bisa jadi lebih pandai dalam mengoperasikan gawai, namun guru dapat memberikan referensi mengenai nilai, manfaat dan tujuan penggunaannya.
Ke depan sistem pembelajaran berbasis proyek juga harus digalakkan. Caranya dengan menekankan pada kreatifitas, merangsang munculnya inovasi, kepercayaan diri, dan semangat kolaborasi antarsiswa, siswa dan lingkungan, serta siswa dan guru, yang akan terus terbangun melalui proyek pembelajaran.
Tidak Melupakan Pendidikan Karakter
Penggunaan teknologi digital tanpa disadari juga menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Orang-orang menjadi semakin individualis, rasa kepedulian antarsesama menipis dan perjumpaan antarmanusia lebih banyak dimediasi gawai.
Situasi bertambah tidak humanis ketika penggunaanya tanpa kontrol, menggunakan teknologi digital untuk menyebarkan kebencian, sikap intoleransi, dan informasi bohong. Dalam kondisi seperti itu perlu diingatkan kembali nilai dasar manusia. Dalam konteks Indonesia adalah terwujudnya insan yang cerdas, berwawasan global, namun mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.
Tidak ada satu hal apapun dapat dianggap sebagai pendidikan tanpa nilai moral. Apapun yang dilakukan sekolah, melalui para gurunya, tentunya harus menyisipkan makna nilai didalamnya, termasuk bagaimana guru memperlakukan murid, serta sikap murid terhadap guru.