Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
loading...
A
A
A
Dalam menyelesaikan pelbagai permasalahan yang kompleks, bagaimanapun, kita harus membahas konsep kebaikan yang maknanya universal. Meski pada kenyatannya, secara prinsip kita telah bergeser ke wacana kebenaran.
Mungkin bisa kita katakan, nilai 'benar' dan 'salah' yang kemudian diinterpretasi tunggal ini yang menjadi akar masalah.Dalam kondisi tersebut, pluralisme menjadi 'formula' dalam proses kesatuan. Makna pluralisme di sini yang saya maksud adalah sosio-politik yang hampir sama dengan multikulturalisme (Scott Lash, 2002) yang dapat diartikan menerima keragaman (Kymlicka, 1995).
Indonesia sebagai bangsa yang pluralistik tergambar dalam semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' untuk melihat keragaman sosial-budaya masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan heterogenitas sosial-budaya yang beragam, Indonesia telah menjadi bangsa yang memiliki masyarakat dengan kehidupan multikultural dan memiliki warna tersendiri.
Meski begitu, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum siap menerima keberagaman yang pada akhirnya berujung pada konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Selain itu, kuatnya arus pengaruh politik kelompok mayoritas telah membuat pelbagai kebijakan hanya menguntungkan beberapa kelompok saja.
Dalam hal ini, toleransi dan isu pluralisme akan selalu menjadi milik kelompok mayoritas sebagai role model; hanya kelompok mayoritas yang memiliki keistimewaan (privilege). Lemahnya penegakan hukum dan sikap oportunistik kekuasaan dalam menghadapi permasalahan yang ada hanyalah 'pelengkap' dari pelbagai permasalahan diskriminasi yang ada (Beyer, 2013)
Selanjutnya, toleransi yang diperingati setahun sekali dalam Hari Toleransi Internasional telah ‘meringsek’ lebih luas lagi, yaitu menghargai alam dan masa depan manusia. Agenda merayakan dan mengingat momen toleransi ini tertuang dalam Deklarasi Prinsip Toleransi PBB dan aksi lanjutan setiap tahunannya.
Berkaitan dengan Hari Toleransi Internasional tahun ini yang mengusung tema "Climate as a 'Wicked' Problem" merupakan momentum merefleksikan dan mengampanyekan kesadaran saling menghargai dan menghormati satu sama lain baik sesama manusia ataupun alam, menumbuhkan empati baik antar individu atau kepada semesta. Gagasan harmonisasi alam maupun kelestarian tidak lain menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai subjek atas alam ini.
Keberadaan alam ini memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi pemanfaatan yang berlebihan (eksploitasi) juga berdampak pada kerusakan alam, yang berimbas mengancam manusia itu sendiri.
Sebagai contoh dari dampak pemanfaatan yang berlebihan terhadap alam adalah meningkatnya polusi, pemanasan global, hujan asam, radiasi nuklir, ledakan sampah dan lain sebagainya. Kejadian alam semacam itu tentu perlu mendapatkan perhatian dan evaluasi dari masyarakat umum.
Perhatian dan evaluasi tersebut harus difokuskan pada level kosmik. Mengevaluasinya pada level kosmik berarti membawanya melampaui batas dari kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Mempertautkannya dengan dinamika bumi, langit, lingkungan, dan semesta luas.
Mungkin bisa kita katakan, nilai 'benar' dan 'salah' yang kemudian diinterpretasi tunggal ini yang menjadi akar masalah.Dalam kondisi tersebut, pluralisme menjadi 'formula' dalam proses kesatuan. Makna pluralisme di sini yang saya maksud adalah sosio-politik yang hampir sama dengan multikulturalisme (Scott Lash, 2002) yang dapat diartikan menerima keragaman (Kymlicka, 1995).
Indonesia sebagai bangsa yang pluralistik tergambar dalam semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' untuk melihat keragaman sosial-budaya masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan heterogenitas sosial-budaya yang beragam, Indonesia telah menjadi bangsa yang memiliki masyarakat dengan kehidupan multikultural dan memiliki warna tersendiri.
Meski begitu, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum siap menerima keberagaman yang pada akhirnya berujung pada konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Selain itu, kuatnya arus pengaruh politik kelompok mayoritas telah membuat pelbagai kebijakan hanya menguntungkan beberapa kelompok saja.
Dalam hal ini, toleransi dan isu pluralisme akan selalu menjadi milik kelompok mayoritas sebagai role model; hanya kelompok mayoritas yang memiliki keistimewaan (privilege). Lemahnya penegakan hukum dan sikap oportunistik kekuasaan dalam menghadapi permasalahan yang ada hanyalah 'pelengkap' dari pelbagai permasalahan diskriminasi yang ada (Beyer, 2013)
Selanjutnya, toleransi yang diperingati setahun sekali dalam Hari Toleransi Internasional telah ‘meringsek’ lebih luas lagi, yaitu menghargai alam dan masa depan manusia. Agenda merayakan dan mengingat momen toleransi ini tertuang dalam Deklarasi Prinsip Toleransi PBB dan aksi lanjutan setiap tahunannya.
Berkaitan dengan Hari Toleransi Internasional tahun ini yang mengusung tema "Climate as a 'Wicked' Problem" merupakan momentum merefleksikan dan mengampanyekan kesadaran saling menghargai dan menghormati satu sama lain baik sesama manusia ataupun alam, menumbuhkan empati baik antar individu atau kepada semesta. Gagasan harmonisasi alam maupun kelestarian tidak lain menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai subjek atas alam ini.
Keberadaan alam ini memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi pemanfaatan yang berlebihan (eksploitasi) juga berdampak pada kerusakan alam, yang berimbas mengancam manusia itu sendiri.
Sebagai contoh dari dampak pemanfaatan yang berlebihan terhadap alam adalah meningkatnya polusi, pemanasan global, hujan asam, radiasi nuklir, ledakan sampah dan lain sebagainya. Kejadian alam semacam itu tentu perlu mendapatkan perhatian dan evaluasi dari masyarakat umum.
Perhatian dan evaluasi tersebut harus difokuskan pada level kosmik. Mengevaluasinya pada level kosmik berarti membawanya melampaui batas dari kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Mempertautkannya dengan dinamika bumi, langit, lingkungan, dan semesta luas.