Ketum PP Muhammadiyah: Demokrasi Mati di Tangan Sipil dengan Kekuasaan Oligarki

Senin, 15 November 2021 - 20:41 WIB
loading...
Ketum PP Muhammadiyah:...
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan demokrasi akan mati di tangan sipil dengan kekuasan yang oligarki. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan Indonesia menjadi negara demokratis ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, khususnya pascareformasi. Namun demikian, Indonesia sering tidak mempunyai kemampuan mengonsolidasi pada titik yang moderat.

Sedangkan dalam kancah global muncul isu tentang kematian demokrasi (democracies die) sebagaimana diperkenalkan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. "Ada hal yang menarik, misalkan ketika perkembangan demokrasi di dunia begitu masif dan luas, tapi asumsi kematian demokrasi itu muncul. Bahwa kematian demokrasi tidak lagi berada di tangan rezim militer seperti pada era beberapa dekade sebelum ini, justru kematian demokrasi berada di tangan non militer tapi membajak demokrasi," kata Haedar, Senin (15/11/2021).



Haedar berbicara tentang kematian demokrasi di tangan kekuatan sipil yang dibangun di atas oligarki. Menurutnya, kekuatan sipil model seperti ini tidak kalah otoriternya dengan rezim militer. Kemudian, Haedar mengucapkan selamat kepada Indonesia yang telah memperoleh mandat untuk memimpin Presidensi G20 untuk satu tahun ke depan. "Baginya, capaian ini sangat positif dan konstruktif bagi usaha membangun optimisme pascacovid-19. Kepemimpinan Indonesia pada Presidensi G20 juga membangun optimisme untuk berperan di kancah global," ujarnya.



Haedar ingin Indonesia dapat memanfaatkan Presidensi G20 untuk penguatan dan mobilisasi kekuatan domestik di dalam negeri terkait peranan di kancah global. Indonesia, lanjut Haedar juga perlu memainkan peran yang signifikan dalam dunia internsional, baik di tingkat regional maupun global.

"Di mana dulu kita punya peran sejarah yang penting ketika kita berada di lingkaran negara-negara non blok, saat itu di bawah kepemipinan Soekarno kita punya peran sangat besar. Saya pikir peluang itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia," tuturnya.

Lebih lanjut, Haedar menilai proses kematian demokrasi di tangan kekuatan sipil yang dibangun di atas oligarki ini ditandai dengan adanya demokrasi semu yang membawa pada proses ekstremitas. "Ya saya pikir isu yang terakhir di Indonesia soal Permendikbud itu bagian dari ekstremitas demokrasi dan hak asasi manusia, jika tak dikelola dengan baik itu akan menjadi problem baru. Ternyata kekuatan-kekuatan sipil tak kalah otoriternya dengan kekuatan militer ketika dia dibagun di atas oligarki. Oligarki ekonomi, oligarki politik, bahkan saya menambahkan satu istilah, oligarki keagamaan, di mana ada kelompok-kelompok agama yang merasa paling berkuasa di negara di mana agama itu hidup. Ini bisa jadi proses kematian demokrasi," tandasnya.

Sebagai informasi, banyak ahli menyebut pada 2030 mendatang Indonesia bakal jadi negara dengan perekonomian terbesar setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Prediksi ini tak perlu disambut dengan euforia, tetapi harus ditindaklanjuti dengan konsolidasi berbagai isu global yang mau tak mau berkaitan dengan pernanan Indonesia di kancah internasional.

Beberapa isu global yang muncul saat ini yakni recovery pascapandemi Covid-19. Kemudian isu demokrasi, baik di tingkatan regional maupun domestik (dalam negeri). Lalu isu globalisasi dalam hal ini terkait dengan rezim World Trade Organization (WTO) yang nantinya berdampak besar pada relasi antarnegara. Selanjutnya adalah isu revolusi saintifik berkaitan dengan disrupsi dan digitalisasi, SDGs, serta isu perubahan iklim.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1643 seconds (0.1#10.140)