Ketua KPU Nilai Pilkada Serentak 2020 Tidak Terburu-buru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menilai pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember tidak terburu-buru. Sebab, kata Arief, persiapan Pilkada serentak 2020 sudah dilakukan sejak jauh hari.
"Sebetulnya tidak terburu-buru. Karena pilkada ini kan sudah dipersiapkan sejak jauh hari ya," ujar Arief Budiman dalam IG Live SINDOnews Bincang Seru Bertajuk Pilkada Serentak dan New Normal, Kamis (4/6/2020) malam. (Baca juga: Fahira Idris: Pilkada Tanpa Partisipasi Masyarakat Akan Kehilangan Makna)
Arief mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah membuat tahapan sekaligus menjalankannya untuk desain pemungutan suara 23 September 2020. "Nah tetapi kan tidak ada seorang pun yang bisa menghindari ketika ada bencana pandemi Covid-19. Maka KPU merancang beberapa hal untuk menyikapi adanya Pandemi itu," ungkapnya.
Pertama, KPU meminta supaya penyelenggara pemilu menjalankan tahapan dengan protokol kesehatan yang ketat. "Setelah itu keluar tanggap darurat, ternyata enggak cukup dengan protokol yang ketat. KPU harus melakukan penundaan karena trennya kan makin naik, nah karena ditunda selama tiga bulan, maka mau tidak mau, kalau mau dilanjutkan harus tidak bisa September," ujarnya. (Baca juga: Gelar Pilkada di Masa Pandemi, KPU Tantang Risiko)
Sementara Undang-undang, kata Arief, mengharuskan pemungutan suara Pilkada Serentak pada September 2020. Maka itu, lanjut dia, diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk menunda Pilkada serentak 2020, Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
"Maka diaturlah dalam perppu itu ruang untuk menyelenggarakan Desember atau kalau Desember tidak bisa, silakan dijadwalkan lagi setelah pandeminya berakhir. Maka KPU kemudian merancang tahapan baru yang ada tiga opsi awalnya kan, Desember, Maret sama September, tapi kemudian 2020 sama Maret, September 2021," imbuhnya. (Baca juga: Serba Mepet, Pilkada Serentak 2020 Dianggap Tak Siap Dilaksanakan)
Namun, lanjut dia, perppu itu mengatur kalau mau dilanjutkan, maka harus mendapatkan persetujuan dari tiga pihak, KPU, pemerintah dan DPR. "Maka disepakati lah pilihan melanjutkannya itu di Desember. Kalau memang dilanjutkan di Desember, maka KPU punya syarat, apa syaratnya? Ya semua Pandemi ini harus selesai di bulan Juni, karena tahapannya akan dimulai bulan Juni," katanya.
Maka itu, kata Arief, KPU berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Kementerian Dalam Negeri dan berbagai pihak. Lalu, kata dia, Gugus Tugas menyampaikan bahwa tidak ada yang bisa memperkirakan kapan Pandemi Covid-19 ini berakhir. (Baca juga: Kemendagri: Tunda Pilkada Hambat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah)
"Bisa tahun depan, bisa dua tahun lagi, enggak ada yang bisa memperkirakan. Maka ketika tidak ada yang bisa memperkirakan kapan pandemi ini berakhir, Gugus Tugas memberikan rekomendasi, silakan saja menjalankan tahapan pilkadanya, tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat, yang dikawal dengan ketat," imbuhnya.
Dia melanjutkan, konsekuensi dari itu adalah perlu mendapatkan dukungan peralatan kesehatan yang lengkap. Maka KPU menyusun protokol kesehatan itu dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Karena, kata Arief, KPU ingin menjamin semua pihak, bukan hanya penyelenggara pemilu, tapi juga peserta pemilu dan pemilih bisa mengikuti tahapan dengan baik. "Maka KPU merancang semua layanan kesehatan itu harus bisa dilaksanakan dengan baik. Maka satu, kebutuhan itu harus ada masker, disinfektan, kemudian hand sanitizer, sarung tangan, termasuk vitamin supaya imun penyelenggara tetap terjaga, agar di tengah perjalanan tidak mudah terserang virus ini," tuturnya. (Baca juga: Pilkada Digelar Desember, KPU Diminta Terapkan Protokol New Normal)
Karena kebutuhan begitu banyak, termasuk alat pelindung diri (APD) berupa hazmat, pelindung wajah dan termo pengukur suhu tubuh, KPU memberikan beberapa opsi. "Termasuk teknis pelaksanaannya dimana Undang-undang mengatakan pemilih per TPS itu kan maksimal 800 orang, kalau mau agak longgar maka harus dikurangi pemilih per TPS, tapi tentu ini membawa konsekuensi bertambahnya TPS. Berarti perlu merekrut lebih banyak petugas, perlu lebih banyak mendirikan TPS, maka diperlukan tambahan anggaran yang lebih besar," katanya.
Sehingga, lanjut dia, KPU mengusulkan dua opsi, kategori a dengan 800 orang pemilih per TPS dan kategori b dengan 500 orang pemilih per TPS. Kemudian, masing-masing TPS ada dua opsi, diberikan perlengkapan sarana kesehatan yang secara lengkap, itemnya, jumlahnya.
"Atau kalau tidak bisa dikurangi jumlah peralatan kesehatannya. Kemarin sudah disepakati pemilih per TPS disepakati 500. Karena disepakati 500, maka kita memilih kategori b, sekarang kategori b mau opsi pertama atau opsi yang kedua, nah ini yang akan dibahas lagi bersama dengan Kementerian Keuangan nanti terkait kebutuhan anggarannya," katanya.
"Sebetulnya tidak terburu-buru. Karena pilkada ini kan sudah dipersiapkan sejak jauh hari ya," ujar Arief Budiman dalam IG Live SINDOnews Bincang Seru Bertajuk Pilkada Serentak dan New Normal, Kamis (4/6/2020) malam. (Baca juga: Fahira Idris: Pilkada Tanpa Partisipasi Masyarakat Akan Kehilangan Makna)
Arief mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah membuat tahapan sekaligus menjalankannya untuk desain pemungutan suara 23 September 2020. "Nah tetapi kan tidak ada seorang pun yang bisa menghindari ketika ada bencana pandemi Covid-19. Maka KPU merancang beberapa hal untuk menyikapi adanya Pandemi itu," ungkapnya.
Pertama, KPU meminta supaya penyelenggara pemilu menjalankan tahapan dengan protokol kesehatan yang ketat. "Setelah itu keluar tanggap darurat, ternyata enggak cukup dengan protokol yang ketat. KPU harus melakukan penundaan karena trennya kan makin naik, nah karena ditunda selama tiga bulan, maka mau tidak mau, kalau mau dilanjutkan harus tidak bisa September," ujarnya. (Baca juga: Gelar Pilkada di Masa Pandemi, KPU Tantang Risiko)
Sementara Undang-undang, kata Arief, mengharuskan pemungutan suara Pilkada Serentak pada September 2020. Maka itu, lanjut dia, diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk menunda Pilkada serentak 2020, Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
"Maka diaturlah dalam perppu itu ruang untuk menyelenggarakan Desember atau kalau Desember tidak bisa, silakan dijadwalkan lagi setelah pandeminya berakhir. Maka KPU kemudian merancang tahapan baru yang ada tiga opsi awalnya kan, Desember, Maret sama September, tapi kemudian 2020 sama Maret, September 2021," imbuhnya. (Baca juga: Serba Mepet, Pilkada Serentak 2020 Dianggap Tak Siap Dilaksanakan)
Namun, lanjut dia, perppu itu mengatur kalau mau dilanjutkan, maka harus mendapatkan persetujuan dari tiga pihak, KPU, pemerintah dan DPR. "Maka disepakati lah pilihan melanjutkannya itu di Desember. Kalau memang dilanjutkan di Desember, maka KPU punya syarat, apa syaratnya? Ya semua Pandemi ini harus selesai di bulan Juni, karena tahapannya akan dimulai bulan Juni," katanya.
Maka itu, kata Arief, KPU berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Kementerian Dalam Negeri dan berbagai pihak. Lalu, kata dia, Gugus Tugas menyampaikan bahwa tidak ada yang bisa memperkirakan kapan Pandemi Covid-19 ini berakhir. (Baca juga: Kemendagri: Tunda Pilkada Hambat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah)
"Bisa tahun depan, bisa dua tahun lagi, enggak ada yang bisa memperkirakan. Maka ketika tidak ada yang bisa memperkirakan kapan pandemi ini berakhir, Gugus Tugas memberikan rekomendasi, silakan saja menjalankan tahapan pilkadanya, tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat, yang dikawal dengan ketat," imbuhnya.
Dia melanjutkan, konsekuensi dari itu adalah perlu mendapatkan dukungan peralatan kesehatan yang lengkap. Maka KPU menyusun protokol kesehatan itu dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Karena, kata Arief, KPU ingin menjamin semua pihak, bukan hanya penyelenggara pemilu, tapi juga peserta pemilu dan pemilih bisa mengikuti tahapan dengan baik. "Maka KPU merancang semua layanan kesehatan itu harus bisa dilaksanakan dengan baik. Maka satu, kebutuhan itu harus ada masker, disinfektan, kemudian hand sanitizer, sarung tangan, termasuk vitamin supaya imun penyelenggara tetap terjaga, agar di tengah perjalanan tidak mudah terserang virus ini," tuturnya. (Baca juga: Pilkada Digelar Desember, KPU Diminta Terapkan Protokol New Normal)
Karena kebutuhan begitu banyak, termasuk alat pelindung diri (APD) berupa hazmat, pelindung wajah dan termo pengukur suhu tubuh, KPU memberikan beberapa opsi. "Termasuk teknis pelaksanaannya dimana Undang-undang mengatakan pemilih per TPS itu kan maksimal 800 orang, kalau mau agak longgar maka harus dikurangi pemilih per TPS, tapi tentu ini membawa konsekuensi bertambahnya TPS. Berarti perlu merekrut lebih banyak petugas, perlu lebih banyak mendirikan TPS, maka diperlukan tambahan anggaran yang lebih besar," katanya.
Sehingga, lanjut dia, KPU mengusulkan dua opsi, kategori a dengan 800 orang pemilih per TPS dan kategori b dengan 500 orang pemilih per TPS. Kemudian, masing-masing TPS ada dua opsi, diberikan perlengkapan sarana kesehatan yang secara lengkap, itemnya, jumlahnya.
"Atau kalau tidak bisa dikurangi jumlah peralatan kesehatannya. Kemarin sudah disepakati pemilih per TPS disepakati 500. Karena disepakati 500, maka kita memilih kategori b, sekarang kategori b mau opsi pertama atau opsi yang kedua, nah ini yang akan dibahas lagi bersama dengan Kementerian Keuangan nanti terkait kebutuhan anggarannya," katanya.
(cip)