Utang dalam Membangun Negeri
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Pada sistem anggaran defisit seperti yang dianut Indonesia saat ini, utang merupakan sumber pembiayaan yang tidak dapat dihindari karena sumber penerimaan negara belum dapat menutupi pengeluaran. Secara teoritis, utang dapat digunakan untuk menutup kekurangan dana pembangunan domestik yang diharapkan pengelolaannya dilakukan secara hati-hati (prudent) dan terarah dapat digunakan untuk pembangunan negara.
Hampir semua negara di dunia memiliki utang, baik yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Dalam sistem anggaran defisit seperti yang dianut Indonesia, utang sangat dibutuhkan untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dilakukan karena pendapatan atau penerimaan yang telah dianggarkan tidak mencukupi untuk membiayai belanja pembangunan atau pengeluaran negara. Akan tetapi penerbitan atau penarikan utang ini haruslah mempertimbangkan cost and benefit dan perhitungan yang matang.
Berbagai pro dan kontra yang mewarnai keyakinan setiap ekonom dalam menilai efektivitas utang negara untuk pembangunan masih terus terjadi. Utang diharapkan dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjawab ketertinggalan pembangunan ekonomi di tingkat domestik.
Di sisi lain utang dapat memberikan masalah yang berkepanjangan karena implikasi dari ketentuan dan aturan yang patut dipatuhi di tingkat struktural sebagai konsekuensi logis dari utang yang diluncurkan. Tak sedikit masyarakat yang masih mempertanyakan dampak positif utang terhadap perekonomian. Pihak yang pro akan mengatakan bahwa utang merupakan faktor pengungkit (leverage) yang akan mampu melipatgandakan aset negara. Di sisi lain pihak yang kontra mengatakan bahwa utang hanya akan menjerat negara pada kubangan utang yang akhirnya berujung pada kebangkrutan.
Sejatinya kunci dari efektivitas penggunaan utang adalah pengelolaan dana pinjaman yang diterima. Pengelolaan utang yang tidak prudent dapat menimbulkan permasalahan yang berat bagi keuangan negara.
Indonesia harus mengambil pelajaran penting dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Krisis ekonomi yang terjadi di kedua kawasan tersebut berakar dari penggunaan dan pengelolaan utang yang tidak hati-hati. Banyak ekonom yang telah memperingatkan AS dan beberapa negara di Uni Eropa akan dampak buruk dari penggunaan utang yang tidak tepat sasaran.
Seperti halnya di AS, kawasan UE juga memiliki tingkat utang pemerintah yang cukup tinggi. Sehingga pemerintah di kawasan UE harus mengeluarkan dana cukup besar untuk menalangi perbankan dan lembaga keuangannya agar tidak terjadi pembekuan terhadap sistem kredit secara masif. Indonesia pun juga pernah mengalami kejadian serupa, di mana utang pemerintah juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan utang yang tidak prudent yang telah menjadi pemicu krisis moneter 1998 yang berkepanjangan.
Salah satu jalan yang dapat digunakan untuk menjaga kehati-hatian dalam pengelolaan utang negara di antaranya adalah debt service ratio (DSR) atau rasio aset terhadap utang. DSR merupakan indikator kemampuan membayar utang luar negeri. Rasio ini mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas. Data BI menunjukkan bahwa DSR per Mei 2021 sebesar 23,5%. Angka tersebut telah lebih baik, bahkan sebelum pandemi Covid-19, yakni 26,9% pada 2019 dan 25,1% pada 2018. Di sisi lain, terkait dengan perbandingan jumlah aset terhadap utang, data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa aset negara yang dimiliki Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan kewajiban (utang). Aset negara pada 2020 mengalami peningkatan Rp631,14 triliun, di mana pada 2019 sebesar Rp10.460,5 triliun menjadi Rp11.098,67 triliun pada tahun 2020.
Sementara itu, kewajiban atau utang negara berdasarkan laporan yang sama mencapai Rp6.626,4 triliun yang didominasi kewajiban jangka panjang. Oleh sebab itu, meski saat ini stok utang pemerintah mengalami tren peningkatan sejak 2018, terutama ketika pandemi Covid-19 menyerang, namun rasio utang pemerintah masih berada dalam kondisi aman. Bahkan, utang Indonesia masih berada jauh di bawah 60% dari PDB sebagaimana batas yang dimandatkan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Fokus Bisnis Produktif
Konsep kapitalisme menjelaskan bahwa utang berperan dalam penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan memperluas atau ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu, perusahaan, maupun pemerintah untuk pembangunan. Artinya, utang negara akan menjadi efektif bagi pembangunan apabila pembiayaan yang diperoleh melalui utang ditujukan pada berbagai proyek yang dapat menghasilkan penerimaan (cost recovery) atau mendorong munculnya aktivitas ekonomi yang baru (investment). Untuk itu, penggunaan utang perlu kehati-hatian dan terencana dengan jelas dan terukur.
Dalam menjaga pengelolaan utang agar dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan, maka pemerintah harus tetap berorientasi pada output yang sesuai target untuk bisa mencapai rencana bisnis yang telah disusun. Pada prinsipnya, pemanfaatan dana yang berasal dari utang harus dimanfaatkan untuk membiayai investasi pada usaha yang produktif yang memberikan nilai tambah terhadap output yang dihasilkan.
Selain itu, penggunaan utang harus dirancang berdasarkan aturan yang ada secara hati-hati dan bertanggung jawab agar pembayaran utang tidak menjadi beban generasi yang akan datang. Oleh karena itu, reformasi perpajakan dan mendorong transformasi perekonomian menjadi kunci penting untuk pengelolaan utang dan pembangunan Indonesia di masa mendatang.
GCG dalam Pengelolaan Utang
Berdasarkan hasil pemantauan terhadap kinerja 238 kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman aktif (dalam negeri dan luar negeri) pada triwulan IV/2020, pinjaman dengan status on and ahead schedule sebanyak 81 kegiatan (34%), kategori behind schedule 118 kegiatan (50%) dan kategori at-risk 39 kegiatan (16%). Dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, terdapat penurunan rasio kegiatan dengan status on /ahead schedule dari sebelumnya 41% menjadi 34%.
Beberapa kendala pada saat pelaksanaan kegiatan antara lain kesiapan pelaksanaan proyek, kendala dalam pembebasan lahan, keterlambatan proses pengadaan/lelang atas barang/jasa, kinerja kontraktor yang rendah, kondisi cuaca yang buruk dan pembatasan kegiatan bisnis selama masa pandemi. Hal ini menyebabkan keterlambatan penyerapan pinjaman yang ironisnya pada akhirnya bermuara pada high cost.
Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman sejatinya dapat ditingkatkan melalui peningkatan tata kelola dalam proses realisasi proyek melalui tata kelola yang baik, good corporate governance (GCG). GCG adalah seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan organisasi untuk menciptakan nilai tambah bagi pemangku kepentingan (stakeholder).
GCG memacu terbentuknya pola manajemen yang profesional, transparan, bersih dan berkelanjutan. Pedoman umum GCG Indonesia tahun 2006 yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG) menyebutkan bahwa terdapat 5 asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.
GCG merupakan kunci yang dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dalam pengelolaan utang. Pemerintah akan terus berupaya menjaga kebijakan fiskal kredibel dan defisit APBN sesuai aturan perundang-undangan. Dengan kata lain, pemerintah akan berupaya mengelola utang negara secara prudent dan profesional demi kesejahteraan masyarakat. Semoga.
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Pada sistem anggaran defisit seperti yang dianut Indonesia saat ini, utang merupakan sumber pembiayaan yang tidak dapat dihindari karena sumber penerimaan negara belum dapat menutupi pengeluaran. Secara teoritis, utang dapat digunakan untuk menutup kekurangan dana pembangunan domestik yang diharapkan pengelolaannya dilakukan secara hati-hati (prudent) dan terarah dapat digunakan untuk pembangunan negara.
Hampir semua negara di dunia memiliki utang, baik yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Dalam sistem anggaran defisit seperti yang dianut Indonesia, utang sangat dibutuhkan untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dilakukan karena pendapatan atau penerimaan yang telah dianggarkan tidak mencukupi untuk membiayai belanja pembangunan atau pengeluaran negara. Akan tetapi penerbitan atau penarikan utang ini haruslah mempertimbangkan cost and benefit dan perhitungan yang matang.
Berbagai pro dan kontra yang mewarnai keyakinan setiap ekonom dalam menilai efektivitas utang negara untuk pembangunan masih terus terjadi. Utang diharapkan dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjawab ketertinggalan pembangunan ekonomi di tingkat domestik.
Di sisi lain utang dapat memberikan masalah yang berkepanjangan karena implikasi dari ketentuan dan aturan yang patut dipatuhi di tingkat struktural sebagai konsekuensi logis dari utang yang diluncurkan. Tak sedikit masyarakat yang masih mempertanyakan dampak positif utang terhadap perekonomian. Pihak yang pro akan mengatakan bahwa utang merupakan faktor pengungkit (leverage) yang akan mampu melipatgandakan aset negara. Di sisi lain pihak yang kontra mengatakan bahwa utang hanya akan menjerat negara pada kubangan utang yang akhirnya berujung pada kebangkrutan.
Sejatinya kunci dari efektivitas penggunaan utang adalah pengelolaan dana pinjaman yang diterima. Pengelolaan utang yang tidak prudent dapat menimbulkan permasalahan yang berat bagi keuangan negara.
Indonesia harus mengambil pelajaran penting dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Krisis ekonomi yang terjadi di kedua kawasan tersebut berakar dari penggunaan dan pengelolaan utang yang tidak hati-hati. Banyak ekonom yang telah memperingatkan AS dan beberapa negara di Uni Eropa akan dampak buruk dari penggunaan utang yang tidak tepat sasaran.
Seperti halnya di AS, kawasan UE juga memiliki tingkat utang pemerintah yang cukup tinggi. Sehingga pemerintah di kawasan UE harus mengeluarkan dana cukup besar untuk menalangi perbankan dan lembaga keuangannya agar tidak terjadi pembekuan terhadap sistem kredit secara masif. Indonesia pun juga pernah mengalami kejadian serupa, di mana utang pemerintah juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan utang yang tidak prudent yang telah menjadi pemicu krisis moneter 1998 yang berkepanjangan.
Salah satu jalan yang dapat digunakan untuk menjaga kehati-hatian dalam pengelolaan utang negara di antaranya adalah debt service ratio (DSR) atau rasio aset terhadap utang. DSR merupakan indikator kemampuan membayar utang luar negeri. Rasio ini mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas. Data BI menunjukkan bahwa DSR per Mei 2021 sebesar 23,5%. Angka tersebut telah lebih baik, bahkan sebelum pandemi Covid-19, yakni 26,9% pada 2019 dan 25,1% pada 2018. Di sisi lain, terkait dengan perbandingan jumlah aset terhadap utang, data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa aset negara yang dimiliki Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan kewajiban (utang). Aset negara pada 2020 mengalami peningkatan Rp631,14 triliun, di mana pada 2019 sebesar Rp10.460,5 triliun menjadi Rp11.098,67 triliun pada tahun 2020.
Sementara itu, kewajiban atau utang negara berdasarkan laporan yang sama mencapai Rp6.626,4 triliun yang didominasi kewajiban jangka panjang. Oleh sebab itu, meski saat ini stok utang pemerintah mengalami tren peningkatan sejak 2018, terutama ketika pandemi Covid-19 menyerang, namun rasio utang pemerintah masih berada dalam kondisi aman. Bahkan, utang Indonesia masih berada jauh di bawah 60% dari PDB sebagaimana batas yang dimandatkan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Fokus Bisnis Produktif
Konsep kapitalisme menjelaskan bahwa utang berperan dalam penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan memperluas atau ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu, perusahaan, maupun pemerintah untuk pembangunan. Artinya, utang negara akan menjadi efektif bagi pembangunan apabila pembiayaan yang diperoleh melalui utang ditujukan pada berbagai proyek yang dapat menghasilkan penerimaan (cost recovery) atau mendorong munculnya aktivitas ekonomi yang baru (investment). Untuk itu, penggunaan utang perlu kehati-hatian dan terencana dengan jelas dan terukur.
Dalam menjaga pengelolaan utang agar dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan, maka pemerintah harus tetap berorientasi pada output yang sesuai target untuk bisa mencapai rencana bisnis yang telah disusun. Pada prinsipnya, pemanfaatan dana yang berasal dari utang harus dimanfaatkan untuk membiayai investasi pada usaha yang produktif yang memberikan nilai tambah terhadap output yang dihasilkan.
Selain itu, penggunaan utang harus dirancang berdasarkan aturan yang ada secara hati-hati dan bertanggung jawab agar pembayaran utang tidak menjadi beban generasi yang akan datang. Oleh karena itu, reformasi perpajakan dan mendorong transformasi perekonomian menjadi kunci penting untuk pengelolaan utang dan pembangunan Indonesia di masa mendatang.
GCG dalam Pengelolaan Utang
Berdasarkan hasil pemantauan terhadap kinerja 238 kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman aktif (dalam negeri dan luar negeri) pada triwulan IV/2020, pinjaman dengan status on and ahead schedule sebanyak 81 kegiatan (34%), kategori behind schedule 118 kegiatan (50%) dan kategori at-risk 39 kegiatan (16%). Dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, terdapat penurunan rasio kegiatan dengan status on /ahead schedule dari sebelumnya 41% menjadi 34%.
Beberapa kendala pada saat pelaksanaan kegiatan antara lain kesiapan pelaksanaan proyek, kendala dalam pembebasan lahan, keterlambatan proses pengadaan/lelang atas barang/jasa, kinerja kontraktor yang rendah, kondisi cuaca yang buruk dan pembatasan kegiatan bisnis selama masa pandemi. Hal ini menyebabkan keterlambatan penyerapan pinjaman yang ironisnya pada akhirnya bermuara pada high cost.
Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman sejatinya dapat ditingkatkan melalui peningkatan tata kelola dalam proses realisasi proyek melalui tata kelola yang baik, good corporate governance (GCG). GCG adalah seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan organisasi untuk menciptakan nilai tambah bagi pemangku kepentingan (stakeholder).
GCG memacu terbentuknya pola manajemen yang profesional, transparan, bersih dan berkelanjutan. Pedoman umum GCG Indonesia tahun 2006 yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG) menyebutkan bahwa terdapat 5 asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.
GCG merupakan kunci yang dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dalam pengelolaan utang. Pemerintah akan terus berupaya menjaga kebijakan fiskal kredibel dan defisit APBN sesuai aturan perundang-undangan. Dengan kata lain, pemerintah akan berupaya mengelola utang negara secara prudent dan profesional demi kesejahteraan masyarakat. Semoga.
(ynt)