Dinamika Profesi Guru, antara Honorer, PPPK, dan ASN

Selasa, 19 Oktober 2021 - 11:49 WIB
loading...
Dinamika Profesi Guru, antara Honorer, PPPK, dan ASN
Muslimin, Praktisi Pendidikan Salah Satu Sekolah Swasta di Jakarta Barat. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Muslimin
Praktisi Pendidikan Salah Satu Sekolah Swasta di Jakarta Barat

PENGABDIAN menjadi seorang guru memang penuh sejuta cerita. Ada cerita bahagia di balik panggilan hati serta adanya rentetan tunjangan yang mereka terima. Tentu hal ini identik bagi mereka yang sudah menyandang status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sebut saja guru PNS yang mengabdikan diri di lingkungan Pemprov DKI Jakarta yang diberikan Tunjangan Kesejahteraan Daerah (TKD) hampir 2 kali lipat gaji pokok yang ia terima. Tunjangan tersebut belum termasuk tunjangan lain, salah satunya adalah tunjangan profesi bagi mereka yang sudah memiliki sertifikat pendidik (serdik).

Guru PNS di daerah selain DKI Jakarta meski TKD yang mereka terima mungkin tidak sebesar di provinsi tersebut, namun soal kesejahteraan hidup nampaknya sudah lebih dari kata cukup.

Berdasarkan berita di media online Kontan.co.id (10 Februari 2021), disebutkan bahwa besaran gaji pokok PNS Golongan IIIa adalah antara Rp2.579.400-4.236.400 per bulan. Bergantung pada Masa Kerja Golongan (MKG) masing-masing guru. Besaran tunjangan guru PNS DKI Jakarta diatur dalam Pergub DKI Jakarta Nomor 409/2017 tentang Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang terakhir diubah Gubernur Anies Baswedan.

Ada pun untuk rincian TKD PNS DKI Jakarta yang akan diterima tiap bulannya adalah sebagai berikut: (a) PNS golongan IVc sampai IVe menerima TKD Rp6.521.250; (b) PNS golongan IVa sampai IVb menerima TKD Rp6.174.375; (c) PNS golongan IIIc sampai IIId menerima TKD Rp5.827.500; (d) PNS golongan IIIa sampai IIIb menerima TKD Rp5.480.625; (e) PNS golongan IIa sampai IId menerima TKD Rp4.370.625, dan (f) Calon PNS (CPNS) menerima TKD Rp3.100.000.

Guru Honorer
Lantas bagaimana ceritanya bagi mereka yang statusnya masih sebagai guru honor di sekolah-sekolah milik pemerintah (sekolah negeri)? Jawaban cukup singkat, "memprihatinkan".

Memang di beberapa provinsi sudah mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih manusiawi untuk mengapresiasi pengabdian dan loyalitas guru-guru honor tersebut.

Sebut saja Pemprov DKI, besaran gaji yang diterima guru honor adalah sesuai dengan UMR yang berlaku. Dilansir dari https://www.99.co/blog/indonesia/gaji-guru-honorer-indonesia-2021/ , bahwa gaji guru honor SMA di DKI Jakarta tiap bulannya adalah sebesar Rp4.590.000 dengan tunjangan Rp229.500 per bulan. Tentu besaran tersebut cukup realistis untuk mendukung kelayakan hidup di Kota Jakarta yang relatif tinggi biaya hidupnya.

Namun masih banyak daerah khususnya daerah kabupaten kota yang menaungi sekolah dasar dan menengah (SMP) negeri di daerahnya. Gaji yang diberikan atas keringat yang dikeluarkan para pejuang pencerdas generasi bangsa berstatus guru honor tersebut besarnya kisaran Rp300.000-500.000 per bulan.

Guru di sekolah sekolah swasta yang kategori bukan sekolah bonafit pun punya cerita yang tidak terlalu jauh berbeda. Honor mereka dihitung per jam mengaja. Salah satu sekolah swasta di Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang misalnya, menetapkan honor gurunya sebesar Rp35.000 per jam pelajaran (JP) per minggu.

Hitungan tersebut tidak dikalikan banyaknya pertemuan dalam satu bulan. Melainkan nominal akhir yang akan diterima selama satu bulan. Misal, guru A mengajar di sekolah tersebut sebanyak 20 JP per minggu. Hitungannya adalah 10 JP x Rp35.000 = Rp350.000. Nah, nominal tersebutlah yang akan diterima oleh guru A tersebut tiap bulannya dari sekolah tersebut. Ilustrasi tersebut berdasarkan pengalaman pribadi yang dirasakan penulis saat ini.

Maka tak heran bila muncul istilah "guru terbang". Guru yang masih berstatus honor tersebut harus mengajar lebih dari satu sekolah. Ada bahkan yang harus mengajar di 3-4 sekolah agar mereka punya sesi atau jam mengajar yang banyak. Sehingga bila dikalkulasi akhir nominal akhirnya bisa lebih layak untuk hidup mereka.

Hingga detik ini, menjadi seorang ASN/PNS adalah harapan besar bagi sebagian teman-teman, termasuk juga profesi guru. Mereka siap melakukan "apa saja" agar cita-cita tersebut terwujud. Nah, model seperti inilah yang mewarnai pemberitaan di media dimana ada beberapa orang yang tertipu oleh oknum yang mengaku bisa menjadikannya sebagai seorang PNS.

Perlu diakui bahwa pemerintah memang mulai menata mekanisme rekruitmen penerimaan CPNS dengan menerapkan tes berbasis komputer. Sehingga proses seleksi CPNS beberapa tahun ini terbilang cukup obyektif. Namun sistem seleksi CPNS ini tentu tidak berpihak bagi guru honorer yang usianya sudah 35 plus meski mereka sudah cukup lama mengabdi di sekolah tersebut.

Pasalnya, berdasarkan peraturan yang ada sebagaimana tertuang pada laman resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN), bahwa salah satu syarat mendaftar ASN/PNS yakni calon peserta harus berusia maksimal 35 tahun.

Diskriminasi Kebijakan?
Kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Mendikbudristek ), Nadiem Anwar Makarim sedikit memberikan angin segar bagi guru honorer yang sudah berusia 35 tahun plus. Pasalnya, beliau melalui streaming Youtube channel Kemendikbudristek RI, edisi 22 November 2020, mengumumkan akan membuka seleksi ASN guru lebih dari 1 juta formasi. Tentu kebijakan tersebut dibarengi dengan "catatan-catatan khusus".

Meski berstatus ASN, namun kategori mereka nanti adalah sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (4) UU No 5/2014, menjelaskan bahwa PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.

Serupa tapi tak sama. PNS maupun PPPK, keduanya adalah sama-sama sebagai ASN. Hak-hak yang akan diterima pun sama, dari gaji pokok hingga tunjangan-tunjangan yang akan diterima kedua status ASN tersebut tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan jabatan. Sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam penjelasan yang tertulis di dalam Perpres No 98/2020 tentang Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Bedanya jelas bahwa PNS punya kedudukan dan posisi yang lebih "aman" dibanding PPPK. Ya namanya juga dikontrak, tinggal dilihat berapa lama dikontraknya serta mekanisme untuk kelanjutan kontrak nya seperti apa.

Ini bukan persoalan keluhan atau pun ketidakikhlasan menjalani sebuah profesi. Namun ini adalah bisa dianggap sebagai sebuah "alarm" bagi para pemangku dan pembuatan kebijakan agar tidak semakin memperparah dikotomi profesi guru.

Jangan sampai negara justru menciptakan jurang pemisah yang kian dalam antara guru honorer, PPPK, dan PNS melalui diskriminasi kebijakan yang jelas hanya berpihak pada mereka yang sudah berstatus sebagai PNS.

Solusi?
Dirasa akan lebih adil jika status honorer, PPPK, dan PNS adalah sebuah tahapan berurutan. Di mana setiap orang yang memulai karirnya di bidang pendidikan menjadi seorang guru, status awalnya adalah honorer dengan ketentuan masa kerja yang sudah dibuat payung hukumnya (misalnya minimal 1 tahun), maka statusnya akan naik menjadi PPPK.

Dari status PPPK nantinya status tersebut akan bisa berubah menjadi PNS, tentunya dengan ketentuan-ketentuan yang memenuhi prinsip keadilan. Nah, proses yang seperti baru bisa disebut negara menghargai loyalitas para pencerah generasi penerus bangsa.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1081 seconds (0.1#10.140)