Bergerak: Jawa dan Suriname
loading...
A
A
A
baca juga: Sekjen INASGOC Luncurkan Buku The Art of Asian Games: Great Team, Great Leader
Pada masa berbeda, kita mendapat penjelasan orang-orang Jawa di Suriname melalui buku berjudul Suriname yang Saya Lihat (1984) susunan Max Dwipusrandito. Kita berhak membandingkan antara fiksi gubahan Koko Hendri Lubis dengan pengamatan Max Dwipusrandito: “Sayangnya, masyarakat Jawa menduduki lapisan terendah dalam susunan kemasyarakatan di Suriname. Misalnya sebagai petani kecil, pedagang kecil atau lazim disebut pedagang kaki lima, mendorong gerobagnya berisi kue-kue Jawa, guru-guru sekolah dasar, dan sebagainya. Ada beberapa yang menjabat menteri dan beberapa intelektual seperti insinyur, dokter, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan kita. Tak sebanding dengan jumlah kaum intelektual di kalangan orang India dan Negro yang kebanyakan memandang orang-orang Jawa sebagai ‘De domme Javaan’, orang Jawa yang bodoh dan lugu.”
baca juga: Launching Buku 'Refleksi Dakwah Realitas' Seruan Mahasiswa Penantang Zaman
Si bocah dalam novel sudah menjadi dewasa. Ia menantang nasib di Suriname. Koko Hendri Lubis menceritakan si tokoh menekuni pers. Profesi agak mengejutkan untuk menguatkan konflik dalam cerita. Kita membaca pengisahan: “Aku malu. Hati ini mendongkol karena masih saja dianggap anak ingusan. Aku mencoba meningkatkan popularitas agar tidak dianggap pemuda Jawa melempem dengan cara mengajukan diri untuk sepenuhnya jadi wartawan politik. Sikap pun harus diubah. Rasa malu dan ragu dikubur dalam-dalam. Pola hidup yang berlaku di kota sebaiknya diikuti saja.” Si tokoh mulai mengalami peristiwa-peristiwa besar dalam pekerjaan, politik, kriminalitas, agama, dan lain-lain. Pata tokoh beragam bangsa terlibat dalam pelbagai masalah. Novel memuat ketegangan-ketegangan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Suriname menjadi tempat bergejolak. Para tokoh mulai berdilema. Kangen kampung halaman berpengaruh dalam penentuan sikap selama di Suriname. Tuturan si tokoh: “Ayah khawatir aku kecantol dengan wanita non-Jawa. Memang sejak dari bangku sekolah, pergaulanku bukan dengan orang Jawa. Bukan ayah tidak senang punya menantu lain bangsa. Tetapi dia takut hal itu akan menjadi penghalang bagi cita-citanya. Ayah bercita-cita suatu saat akan kembali pulang ke tanah air bersama segenap anggota keluarganya.” Pembaca perlahan mengetaui debar-debar dan pengharapan orang-orang Jawa kembali ke Indonesia gara-gara politik dan perubahan situasi dunia.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
Situasi setelah Perang Dunia II disampaikan Koko Hendri Lubis: “Tahun 1949, santer terdengar keinginan mulih njowo ke seluruh Suriname. Banyak orang Indonesia mendukung gerakan karena sejak lama punya keinginan untuk pulang ke tanah air. Kalangan muda tampil menjadi pelopor. Mereka beralasan bahwa orang Jawa selalu menjadi anak tiri di Suriname.” Babak akhir perlahan terbaca agak melegakan bagi orang-orang ingin kembali ke Jawa, kembali ke rahim sejarah-kultural.
baca juga: Portal A Gama, 'Menggagahi Warisan, Menggilai Siborg'
Kita membuka buku berjudul Bunga Rampai: Dari Suriname ke Tongar (1989) susunan SM Hardjo. Di situ, terbaca: “Laporan secara lisan menyatakan bahwa tanggal 4 Januari 1954, dengan penghormatan oleh beribu-ribu bangsa Indonesia di Suriname, yang berdatangan dari segala penjuru serta penduduk Paramaribo, yang berjubel-jubel di pinggiran jalan dekat dermaga, berangkatlah KM Langkuas membawa penumpangnya yang terdiri dari 1000 itu, perlahan-lahan meninggalkan demarga Paramaribo.” Belasan hari, orang-orang itu sulit menahan kangen untuk lekas tiba di Indonesia. “Tanggal 5 Februari 1954, tibalah rombongan repatrian dari Suriname itu di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang,” tulis SM Hardjo.
baca juga: Mencari Makna Kebahagiaan dari Novel 'I Saw the Same Dream Again'
Pada masa berbeda, kita mendapat penjelasan orang-orang Jawa di Suriname melalui buku berjudul Suriname yang Saya Lihat (1984) susunan Max Dwipusrandito. Kita berhak membandingkan antara fiksi gubahan Koko Hendri Lubis dengan pengamatan Max Dwipusrandito: “Sayangnya, masyarakat Jawa menduduki lapisan terendah dalam susunan kemasyarakatan di Suriname. Misalnya sebagai petani kecil, pedagang kecil atau lazim disebut pedagang kaki lima, mendorong gerobagnya berisi kue-kue Jawa, guru-guru sekolah dasar, dan sebagainya. Ada beberapa yang menjabat menteri dan beberapa intelektual seperti insinyur, dokter, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan kita. Tak sebanding dengan jumlah kaum intelektual di kalangan orang India dan Negro yang kebanyakan memandang orang-orang Jawa sebagai ‘De domme Javaan’, orang Jawa yang bodoh dan lugu.”
baca juga: Launching Buku 'Refleksi Dakwah Realitas' Seruan Mahasiswa Penantang Zaman
Si bocah dalam novel sudah menjadi dewasa. Ia menantang nasib di Suriname. Koko Hendri Lubis menceritakan si tokoh menekuni pers. Profesi agak mengejutkan untuk menguatkan konflik dalam cerita. Kita membaca pengisahan: “Aku malu. Hati ini mendongkol karena masih saja dianggap anak ingusan. Aku mencoba meningkatkan popularitas agar tidak dianggap pemuda Jawa melempem dengan cara mengajukan diri untuk sepenuhnya jadi wartawan politik. Sikap pun harus diubah. Rasa malu dan ragu dikubur dalam-dalam. Pola hidup yang berlaku di kota sebaiknya diikuti saja.” Si tokoh mulai mengalami peristiwa-peristiwa besar dalam pekerjaan, politik, kriminalitas, agama, dan lain-lain. Pata tokoh beragam bangsa terlibat dalam pelbagai masalah. Novel memuat ketegangan-ketegangan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Suriname menjadi tempat bergejolak. Para tokoh mulai berdilema. Kangen kampung halaman berpengaruh dalam penentuan sikap selama di Suriname. Tuturan si tokoh: “Ayah khawatir aku kecantol dengan wanita non-Jawa. Memang sejak dari bangku sekolah, pergaulanku bukan dengan orang Jawa. Bukan ayah tidak senang punya menantu lain bangsa. Tetapi dia takut hal itu akan menjadi penghalang bagi cita-citanya. Ayah bercita-cita suatu saat akan kembali pulang ke tanah air bersama segenap anggota keluarganya.” Pembaca perlahan mengetaui debar-debar dan pengharapan orang-orang Jawa kembali ke Indonesia gara-gara politik dan perubahan situasi dunia.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
Situasi setelah Perang Dunia II disampaikan Koko Hendri Lubis: “Tahun 1949, santer terdengar keinginan mulih njowo ke seluruh Suriname. Banyak orang Indonesia mendukung gerakan karena sejak lama punya keinginan untuk pulang ke tanah air. Kalangan muda tampil menjadi pelopor. Mereka beralasan bahwa orang Jawa selalu menjadi anak tiri di Suriname.” Babak akhir perlahan terbaca agak melegakan bagi orang-orang ingin kembali ke Jawa, kembali ke rahim sejarah-kultural.
baca juga: Portal A Gama, 'Menggagahi Warisan, Menggilai Siborg'
Kita membuka buku berjudul Bunga Rampai: Dari Suriname ke Tongar (1989) susunan SM Hardjo. Di situ, terbaca: “Laporan secara lisan menyatakan bahwa tanggal 4 Januari 1954, dengan penghormatan oleh beribu-ribu bangsa Indonesia di Suriname, yang berdatangan dari segala penjuru serta penduduk Paramaribo, yang berjubel-jubel di pinggiran jalan dekat dermaga, berangkatlah KM Langkuas membawa penumpangnya yang terdiri dari 1000 itu, perlahan-lahan meninggalkan demarga Paramaribo.” Belasan hari, orang-orang itu sulit menahan kangen untuk lekas tiba di Indonesia. “Tanggal 5 Februari 1954, tibalah rombongan repatrian dari Suriname itu di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang,” tulis SM Hardjo.
baca juga: Mencari Makna Kebahagiaan dari Novel 'I Saw the Same Dream Again'