Bergerak: Jawa dan Suriname
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Penulis buku Persembahan (2021) dan Terbaca: Sejenak Bertema Anak (2021)
Suguhan cerita bergerak jauh. Para tokoh menanggungkan nasib di Jawa. Mereka memutuskan pergi ke Suriname. Perjalanan dalam babak sejarah pernah menjadi berita-berita dan dipercakapkan sambil berimajinasi. Di hadapan kita, Jawa dan Suriname itu terbaca sebagai novel berjudul Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname gubahan Koko Hendri Lubis. Latar memang jauh tapi jarang terpilih para pengarang Indonesia ingin “mengangkut” sejarah dalam fiksi.
baca juga: Nalar Sains untuk Kemajuan Indonesia
Keluarga di Jogjakarta diceritakan mengalami gejolak nasib. Kematian, keributan, dan nafkah menjadi perkara gampang dilema. Keluarga tanpa janji keselamatan. Si bapak mencari nafkah tapi mengerti judi. Ibu berlaku tabah. Anak-anak bernasib tak keruan. Keluarga itu bermalapetakan mendapat pengesahan-pengesahan berbau mistik dan terpengaruhi latar sosial-politik.
Keluarga itu meninggalkan Jogjakarta, berharap berubah nasib. Perhitungan terjadi dengan kebijakan kolonial saat kebutuhan-kebutuhan hidup sulit terpenuhi dan nestapa belum sirna. Koko Hendri Lubis memberi penerangan dalam novel untuk mengubah nasib para tokoh: “Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi tingginya angka kemiskinan di Pulau Jawa, maka diputuskanlah untuk mengirim tenaga kerja ke Suriname yang masih merupakan wilayah koloninya.” Halaman-halaman dalam novel lekas berpindah latar Suriname. Di negeri jauh, orang-orang Jawa dibujuk bekerja dan mendapat nafkah mencukupi. Mereka bakal ditempatkan di perkebunan dan pertambangan. Keluarga itu “mengangguk”, bergerak ke Suriname: naik kapal bertanggal 21 Mei 1980.
baca juga: Kemewahan Bukan Jaminan Kebahagiaan
Kita membuka buku berjudul “Indonesia” Pada Pantai Lautan Atlantik (1955) garapan Yusuf Ismael. Buku “wajib” terbaca bagi orang-orang ingin mengenali Suriname masa lalu. Kita simak: “Pada tanggal 9 Agustus datanglah rombongan pertama imigran-imigran Indonesia di Suriname untuk keperluan perkebunan Marienburg. Pengiriman pertama itu oleh pengusaha maupun oleh pemerintah dianggap sebagai suatu pertjobaan.” Kesangsian untuk kesanggupan orang-orang asal Jawa bekerja di Suriname. Tahun demi tahun, imigran berdatangan tapi ada pula imigran dikembalikan ke Jawa. Pada 1890, tercatat ada 94 orang tiba di Suriname: 61 lelaki, 31 perempuan, 2 anak. Pada 1894, jumlah bertambah: 402 lelaki, 155 perempuan, dan 25 anak. Keluarga-keluarga asal Jawa ingin mengubah nasib di Suriname. Pada 1897, tercatat pengembalian para imigran ke Indonesia dengan beragam dalih.
baca juga: Eksistensi Manusia di Era Digital
Di Suriname, masalah-masalah mulai dihadapi dalam bekerja, bahasa, makanan, busana, dan lain-lain. Tokoh si bocah menginsafi faedah bahasa Belanda bila ingin betah dan mendapat keberuntungan selama di Suriname. Pengakuan tokoh: “Masalah paling menonjol adalah rasa malu. Jangan coba-coba anak Jawa mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda, dia pasti akan diejek dan dianggap sok oleh kawannya sendiri.” Keputusan belajar bahasa Belanda secara tekun di sekolah atau merawat keminderan sebagai manusia Jawa.
Perubahan terus terjadi saat keluarga itu pindah ke kota. Di sana, ada kota bernama Paramaribo. Kota memiliki kejutan-kejutan dan pelbagai kemungkinan. Pengarang bercerita: “Ayah tidak pernah memperhitungkan bagaimana cara hidup di kota yang sama sekali asing baginya. Keluar dari lingkungan masyarakat pertambangan yang bertahun-tahun hanya hidup di tengah masyarakat Jawa. Corak pemikirannya tentu tradisional. Sekarang mau tidak mau, setelah pindah, ia harus beradaptasi dengan masyarakat kota yang bukan orang-orang Jawa dan memiliki pola hidup yang berlainan. Tentu saja ini adalah perubahan yang menimbulkan tantangan. Ayah tak pandai bahasa Belanda.” Hidup di tempat jauh dari tanah asal bertaruh nasib terpengaruhi penguasaan bahasa dan kecondongan sikap politik. Orang-orang Jawa belum tentu mulia.
baca juga: Sekjen INASGOC Luncurkan Buku The Art of Asian Games: Great Team, Great Leader
Pada masa berbeda, kita mendapat penjelasan orang-orang Jawa di Suriname melalui buku berjudul Suriname yang Saya Lihat (1984) susunan Max Dwipusrandito. Kita berhak membandingkan antara fiksi gubahan Koko Hendri Lubis dengan pengamatan Max Dwipusrandito: “Sayangnya, masyarakat Jawa menduduki lapisan terendah dalam susunan kemasyarakatan di Suriname. Misalnya sebagai petani kecil, pedagang kecil atau lazim disebut pedagang kaki lima, mendorong gerobagnya berisi kue-kue Jawa, guru-guru sekolah dasar, dan sebagainya. Ada beberapa yang menjabat menteri dan beberapa intelektual seperti insinyur, dokter, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan kita. Tak sebanding dengan jumlah kaum intelektual di kalangan orang India dan Negro yang kebanyakan memandang orang-orang Jawa sebagai ‘De domme Javaan’, orang Jawa yang bodoh dan lugu.”
baca juga: Launching Buku 'Refleksi Dakwah Realitas' Seruan Mahasiswa Penantang Zaman
Si bocah dalam novel sudah menjadi dewasa. Ia menantang nasib di Suriname. Koko Hendri Lubis menceritakan si tokoh menekuni pers. Profesi agak mengejutkan untuk menguatkan konflik dalam cerita. Kita membaca pengisahan: “Aku malu. Hati ini mendongkol karena masih saja dianggap anak ingusan. Aku mencoba meningkatkan popularitas agar tidak dianggap pemuda Jawa melempem dengan cara mengajukan diri untuk sepenuhnya jadi wartawan politik. Sikap pun harus diubah. Rasa malu dan ragu dikubur dalam-dalam. Pola hidup yang berlaku di kota sebaiknya diikuti saja.” Si tokoh mulai mengalami peristiwa-peristiwa besar dalam pekerjaan, politik, kriminalitas, agama, dan lain-lain. Pata tokoh beragam bangsa terlibat dalam pelbagai masalah. Novel memuat ketegangan-ketegangan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Suriname menjadi tempat bergejolak. Para tokoh mulai berdilema. Kangen kampung halaman berpengaruh dalam penentuan sikap selama di Suriname. Tuturan si tokoh: “Ayah khawatir aku kecantol dengan wanita non-Jawa. Memang sejak dari bangku sekolah, pergaulanku bukan dengan orang Jawa. Bukan ayah tidak senang punya menantu lain bangsa. Tetapi dia takut hal itu akan menjadi penghalang bagi cita-citanya. Ayah bercita-cita suatu saat akan kembali pulang ke tanah air bersama segenap anggota keluarganya.” Pembaca perlahan mengetaui debar-debar dan pengharapan orang-orang Jawa kembali ke Indonesia gara-gara politik dan perubahan situasi dunia.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
Situasi setelah Perang Dunia II disampaikan Koko Hendri Lubis: “Tahun 1949, santer terdengar keinginan mulih njowo ke seluruh Suriname. Banyak orang Indonesia mendukung gerakan karena sejak lama punya keinginan untuk pulang ke tanah air. Kalangan muda tampil menjadi pelopor. Mereka beralasan bahwa orang Jawa selalu menjadi anak tiri di Suriname.” Babak akhir perlahan terbaca agak melegakan bagi orang-orang ingin kembali ke Jawa, kembali ke rahim sejarah-kultural.
baca juga: Portal A Gama, 'Menggagahi Warisan, Menggilai Siborg'
Kita membuka buku berjudul Bunga Rampai: Dari Suriname ke Tongar (1989) susunan SM Hardjo. Di situ, terbaca: “Laporan secara lisan menyatakan bahwa tanggal 4 Januari 1954, dengan penghormatan oleh beribu-ribu bangsa Indonesia di Suriname, yang berdatangan dari segala penjuru serta penduduk Paramaribo, yang berjubel-jubel di pinggiran jalan dekat dermaga, berangkatlah KM Langkuas membawa penumpangnya yang terdiri dari 1000 itu, perlahan-lahan meninggalkan demarga Paramaribo.” Belasan hari, orang-orang itu sulit menahan kangen untuk lekas tiba di Indonesia. “Tanggal 5 Februari 1954, tibalah rombongan repatrian dari Suriname itu di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang,” tulis SM Hardjo.
baca juga: Mencari Makna Kebahagiaan dari Novel 'I Saw the Same Dream Again'
Adegan agak sedih tercantum dalam novel Koko Hendri Lubis: “Aku teringat semua orang yang kukenal di Suriname. Aku memandang ke seberang Plata Broki, apakah masih ada yang bisa kukenal. Terutama pada tahun-tahun terakhir sebelum 5 Januari 1954.” Perjalanan menuju tanah asal setelah memiliki lakon-lakon di Suriname. Begitu.
Judul : Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname
Penulis : Koko Hendri Lubis
Penerbit : Diva Press
Cetak : 2021
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978 602 3918 838 6
Penulis buku Persembahan (2021) dan Terbaca: Sejenak Bertema Anak (2021)
Suguhan cerita bergerak jauh. Para tokoh menanggungkan nasib di Jawa. Mereka memutuskan pergi ke Suriname. Perjalanan dalam babak sejarah pernah menjadi berita-berita dan dipercakapkan sambil berimajinasi. Di hadapan kita, Jawa dan Suriname itu terbaca sebagai novel berjudul Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname gubahan Koko Hendri Lubis. Latar memang jauh tapi jarang terpilih para pengarang Indonesia ingin “mengangkut” sejarah dalam fiksi.
baca juga: Nalar Sains untuk Kemajuan Indonesia
Keluarga di Jogjakarta diceritakan mengalami gejolak nasib. Kematian, keributan, dan nafkah menjadi perkara gampang dilema. Keluarga tanpa janji keselamatan. Si bapak mencari nafkah tapi mengerti judi. Ibu berlaku tabah. Anak-anak bernasib tak keruan. Keluarga itu bermalapetakan mendapat pengesahan-pengesahan berbau mistik dan terpengaruhi latar sosial-politik.
Keluarga itu meninggalkan Jogjakarta, berharap berubah nasib. Perhitungan terjadi dengan kebijakan kolonial saat kebutuhan-kebutuhan hidup sulit terpenuhi dan nestapa belum sirna. Koko Hendri Lubis memberi penerangan dalam novel untuk mengubah nasib para tokoh: “Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi tingginya angka kemiskinan di Pulau Jawa, maka diputuskanlah untuk mengirim tenaga kerja ke Suriname yang masih merupakan wilayah koloninya.” Halaman-halaman dalam novel lekas berpindah latar Suriname. Di negeri jauh, orang-orang Jawa dibujuk bekerja dan mendapat nafkah mencukupi. Mereka bakal ditempatkan di perkebunan dan pertambangan. Keluarga itu “mengangguk”, bergerak ke Suriname: naik kapal bertanggal 21 Mei 1980.
baca juga: Kemewahan Bukan Jaminan Kebahagiaan
Kita membuka buku berjudul “Indonesia” Pada Pantai Lautan Atlantik (1955) garapan Yusuf Ismael. Buku “wajib” terbaca bagi orang-orang ingin mengenali Suriname masa lalu. Kita simak: “Pada tanggal 9 Agustus datanglah rombongan pertama imigran-imigran Indonesia di Suriname untuk keperluan perkebunan Marienburg. Pengiriman pertama itu oleh pengusaha maupun oleh pemerintah dianggap sebagai suatu pertjobaan.” Kesangsian untuk kesanggupan orang-orang asal Jawa bekerja di Suriname. Tahun demi tahun, imigran berdatangan tapi ada pula imigran dikembalikan ke Jawa. Pada 1890, tercatat ada 94 orang tiba di Suriname: 61 lelaki, 31 perempuan, 2 anak. Pada 1894, jumlah bertambah: 402 lelaki, 155 perempuan, dan 25 anak. Keluarga-keluarga asal Jawa ingin mengubah nasib di Suriname. Pada 1897, tercatat pengembalian para imigran ke Indonesia dengan beragam dalih.
baca juga: Eksistensi Manusia di Era Digital
Di Suriname, masalah-masalah mulai dihadapi dalam bekerja, bahasa, makanan, busana, dan lain-lain. Tokoh si bocah menginsafi faedah bahasa Belanda bila ingin betah dan mendapat keberuntungan selama di Suriname. Pengakuan tokoh: “Masalah paling menonjol adalah rasa malu. Jangan coba-coba anak Jawa mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda, dia pasti akan diejek dan dianggap sok oleh kawannya sendiri.” Keputusan belajar bahasa Belanda secara tekun di sekolah atau merawat keminderan sebagai manusia Jawa.
Perubahan terus terjadi saat keluarga itu pindah ke kota. Di sana, ada kota bernama Paramaribo. Kota memiliki kejutan-kejutan dan pelbagai kemungkinan. Pengarang bercerita: “Ayah tidak pernah memperhitungkan bagaimana cara hidup di kota yang sama sekali asing baginya. Keluar dari lingkungan masyarakat pertambangan yang bertahun-tahun hanya hidup di tengah masyarakat Jawa. Corak pemikirannya tentu tradisional. Sekarang mau tidak mau, setelah pindah, ia harus beradaptasi dengan masyarakat kota yang bukan orang-orang Jawa dan memiliki pola hidup yang berlainan. Tentu saja ini adalah perubahan yang menimbulkan tantangan. Ayah tak pandai bahasa Belanda.” Hidup di tempat jauh dari tanah asal bertaruh nasib terpengaruhi penguasaan bahasa dan kecondongan sikap politik. Orang-orang Jawa belum tentu mulia.
baca juga: Sekjen INASGOC Luncurkan Buku The Art of Asian Games: Great Team, Great Leader
Pada masa berbeda, kita mendapat penjelasan orang-orang Jawa di Suriname melalui buku berjudul Suriname yang Saya Lihat (1984) susunan Max Dwipusrandito. Kita berhak membandingkan antara fiksi gubahan Koko Hendri Lubis dengan pengamatan Max Dwipusrandito: “Sayangnya, masyarakat Jawa menduduki lapisan terendah dalam susunan kemasyarakatan di Suriname. Misalnya sebagai petani kecil, pedagang kecil atau lazim disebut pedagang kaki lima, mendorong gerobagnya berisi kue-kue Jawa, guru-guru sekolah dasar, dan sebagainya. Ada beberapa yang menjabat menteri dan beberapa intelektual seperti insinyur, dokter, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan kita. Tak sebanding dengan jumlah kaum intelektual di kalangan orang India dan Negro yang kebanyakan memandang orang-orang Jawa sebagai ‘De domme Javaan’, orang Jawa yang bodoh dan lugu.”
baca juga: Launching Buku 'Refleksi Dakwah Realitas' Seruan Mahasiswa Penantang Zaman
Si bocah dalam novel sudah menjadi dewasa. Ia menantang nasib di Suriname. Koko Hendri Lubis menceritakan si tokoh menekuni pers. Profesi agak mengejutkan untuk menguatkan konflik dalam cerita. Kita membaca pengisahan: “Aku malu. Hati ini mendongkol karena masih saja dianggap anak ingusan. Aku mencoba meningkatkan popularitas agar tidak dianggap pemuda Jawa melempem dengan cara mengajukan diri untuk sepenuhnya jadi wartawan politik. Sikap pun harus diubah. Rasa malu dan ragu dikubur dalam-dalam. Pola hidup yang berlaku di kota sebaiknya diikuti saja.” Si tokoh mulai mengalami peristiwa-peristiwa besar dalam pekerjaan, politik, kriminalitas, agama, dan lain-lain. Pata tokoh beragam bangsa terlibat dalam pelbagai masalah. Novel memuat ketegangan-ketegangan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Suriname menjadi tempat bergejolak. Para tokoh mulai berdilema. Kangen kampung halaman berpengaruh dalam penentuan sikap selama di Suriname. Tuturan si tokoh: “Ayah khawatir aku kecantol dengan wanita non-Jawa. Memang sejak dari bangku sekolah, pergaulanku bukan dengan orang Jawa. Bukan ayah tidak senang punya menantu lain bangsa. Tetapi dia takut hal itu akan menjadi penghalang bagi cita-citanya. Ayah bercita-cita suatu saat akan kembali pulang ke tanah air bersama segenap anggota keluarganya.” Pembaca perlahan mengetaui debar-debar dan pengharapan orang-orang Jawa kembali ke Indonesia gara-gara politik dan perubahan situasi dunia.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
Situasi setelah Perang Dunia II disampaikan Koko Hendri Lubis: “Tahun 1949, santer terdengar keinginan mulih njowo ke seluruh Suriname. Banyak orang Indonesia mendukung gerakan karena sejak lama punya keinginan untuk pulang ke tanah air. Kalangan muda tampil menjadi pelopor. Mereka beralasan bahwa orang Jawa selalu menjadi anak tiri di Suriname.” Babak akhir perlahan terbaca agak melegakan bagi orang-orang ingin kembali ke Jawa, kembali ke rahim sejarah-kultural.
baca juga: Portal A Gama, 'Menggagahi Warisan, Menggilai Siborg'
Kita membuka buku berjudul Bunga Rampai: Dari Suriname ke Tongar (1989) susunan SM Hardjo. Di situ, terbaca: “Laporan secara lisan menyatakan bahwa tanggal 4 Januari 1954, dengan penghormatan oleh beribu-ribu bangsa Indonesia di Suriname, yang berdatangan dari segala penjuru serta penduduk Paramaribo, yang berjubel-jubel di pinggiran jalan dekat dermaga, berangkatlah KM Langkuas membawa penumpangnya yang terdiri dari 1000 itu, perlahan-lahan meninggalkan demarga Paramaribo.” Belasan hari, orang-orang itu sulit menahan kangen untuk lekas tiba di Indonesia. “Tanggal 5 Februari 1954, tibalah rombongan repatrian dari Suriname itu di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang,” tulis SM Hardjo.
baca juga: Mencari Makna Kebahagiaan dari Novel 'I Saw the Same Dream Again'
Adegan agak sedih tercantum dalam novel Koko Hendri Lubis: “Aku teringat semua orang yang kukenal di Suriname. Aku memandang ke seberang Plata Broki, apakah masih ada yang bisa kukenal. Terutama pada tahun-tahun terakhir sebelum 5 Januari 1954.” Perjalanan menuju tanah asal setelah memiliki lakon-lakon di Suriname. Begitu.
Judul : Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname
Penulis : Koko Hendri Lubis
Penerbit : Diva Press
Cetak : 2021
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978 602 3918 838 6
(ymn)