Ongkos Sosio-Kultural Era New Normal
loading...
A
A
A
Fajar S Pramono
Peminat tema sosial ekonomi, alumnus UNS Surakarta
Meskipun polemik masih ramai terjadi, tampaknya pemerintah telah berbulat tekad. Era normal baru harus segera dimulai, jika kita tidak ingin kehidupan ekonomi menjadi stagnan dan semakin parah.
Tulisan ini tidak akan membahas pro kontra atas kapan waktu tertepat pembukaan gerbang era new normal itu. Yang pasti, saat itu segera tiba. Bukan semata karena keinginan pemerintah, tapi lebih karena “tuntutan” sosial dan ekonomis ketika di sekitar kita ada ancaman wabah dan potensi krisis.
Ongkos Perubahan
Sebuah perubahan pasti menuntut “ongkos”. Konsekuensi. Dan, ongkos itu tidak semata ongkos ekonomik. Tapi ada ongkos sosial, juga ongkos kultural. Ongkos sosial merupakan suatu konsekuensi logis aspek sosial kemasyarakatan dari adanya perubahan. Sementara ongkos kultural merupakan konsekuensi perubahan dalam aspek kebudayaan, adat istiadat dan tradisi. Ada banyak contoh pada kedua konsekuensi ini. Namun dari sekian banyak ongkos sosio-kultural yang ada, tulisan ini hanya akan menyoroti dua “ongkos utama” dari penetapan era kenormalan baru akibat pandemi Covid-19 ini.
Pertama, berkurangnya tingkat kepercayaan sosial (social trust). Jika merunut makna kepercayaan sosial pada ilmu psikologi, ia diartikan sebagai keyakinan atas kejujuran, integritas dan kepemilikan karakter dapat dipercaya (trusted) pada orang lain (Taylor, Funk & Clark, 2006). Namun pada konteks tulisan ini, kepercayaan sosial lebih diartikan sebagai hasil pengalaman yang senantiasa berubah dan terus-menerus memperbarui tingkat kepercayaan dan ketidakpercayaan dalam menanggapi perubahan situasi (Hardin, dalam Delhey & Newton, 2003).
Akibat pandemi, situasi jelas berubah. Orang yang semula tak merasa bermasalah dekat dengan siapa pun secara fisik, sekarang menjaga jarak karena ketidakyakinan masing-masing pihak, apakah ia atau lawan interaksinya menjadi pembawa (carrier) virus Covid-19. Bukan hanya pada orang yang tak dikenal, namun juga dengan orang-orang terdekat.
Teman bermain, rekan sekantor, kolega bisnis, tetangga rumah, bahkan di dalam keluarga kita sendiri. Itu mengapa, kita diminta mengisolasi diri jika ada potensi tertulari. Itu sebabnya, ketika datang dari luar kota berzona merah Covid-19, kita tak diizinkan langsung menyentuh anak, istri, suami, terlebih orang berusia lanjut, kendati mereka orang tua kita sendiri.
Sehingga muncul istilah baru dari Emha Ainun Nadjib dalam bukunya Lockdown 309 Tahun (2020) bahwa hari-hari ini, “Kita terpaksa me-“lepra”-kan satu sama lain, di antara sesama famili, tetangga, sahabat dan siapa pun karena manusia adalah penular Covid-19.”
Perlu waktu dan bukti untuk saling percaya (lagi) secara physically antarmanusia. Karena jangankan dalam situasi wabah penyakit menular; dalam situasi normal pun, percaya pada orang lain bisa membawa konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Selalu ada risiko. Begitu setidaknya pernyataan Morton Deutsch –psikolog dan peneliti sosial Amerika Serikat– mengenai elemen dasar kepercayaan. Padahal kepercayaan merupakan modal dasar yang sangat penting bagi kolaborasi serta terciptanya partisipasi sosial. Tanpa kepercayaan sosial yang tinggi, kolaborasi dan partisipasi sosial tidak akan menampakkan kontribusi yang signifikan. Kedua, tereduksinya kesakralan-kesakralan tradisi (adat istiadat), bahkan kesakralan religi. Contoh yang masih hangat dalam reduksi laku tradisi sekaligus religi, jelas sunyinya suasana Ramadhan dan lebaran tahun ini. Ramadhan tak diwarnai dengan kajian bersama di “ruang-ruang nyata” majelis taklim. Masjid tak dizinkan menggelar salat tarawih berjamaah. Mudik ke kampung halaman menjadi aktivitas terlarang.
Halal bihalal dengan kebersamaan yang membahagiakan hanya bisa dilakukan secara virtual. Di Banyuwangi, masyarakat Desa Olehsari, Kecamatan Glagah terpaksa hanya menggelar Ritual Seblang secara terbatas dan tanpa pengunjung. Padahal, tradisi ritual Bulan Syawal yang bertujuan untuk menjauhkan warga dari pagebluk itu biasa ditonton oleh ribuan orang. Tahun ini, ritual hanya disaksikan 28 orang perangkat pemerintahan dan tokoh masyarakat, serta hanya melakukan tradisi intinya saja. Tarian oleh gadis terpilih yang dirasuki roh leluhur hingga trance (kesurupan) dengan iringan 28 gending pun ditiadakan (Jawapos, 31/05).
Dalam hal tata krama, sudah menjadi kelaziman bahwa jabat tangan adalah wujud kedekatan (intimacy) dan penghormatan (respect) manakala satu orang bertemu dengan orang yang lain. Kebiasaan seorang anak yang mencium tangan orang tua ketika bersalaman, bahkan sudah menjadi “ajaran” ketatasusilaan dan kesopanan dalam hubungan anak muda kepada orang dewasa, tanpa memandang suku dan agama. Namun saat ini kebiasaan itu harus “hilang”. Norma standar kesantunan pun terpaksa direduksi secara sadar.
Wujud penghormatan kepada orang lain secara simbolik seperti di atas, mungkin harus dipikirkan “substitusi”-nya. Karena meskipun kita sudah berada di jaman canggih, era millenial, abad futuristik atau apapun namanya, ada sisi-sisi sosial,moral, tata krama dan tradisi yang tak bisa dieliminasi begitu saja. Apalagi masalah religi. Penyesuaian cara beribadah tentu dimungkinkan, tapi bagaimana dengan anjuran memakmurkan tempat ibadah dan merapatkan shaf misalnya? Apakah kedaruratan yang sifatnya temporer akan menjadi permanensial? Wallahu a’lam. Tergantung pada panjang pendeknya siklus pandemi untuk sampai kembali ke taraf anggapan “normal”.
Merawat Esensi
Apa konsekuensi tak terbayarnya ongkos sosio-kultural di atas? Ketercerabutan generasi dari ikhwal asal muasal tradisi, bisa menjadi ajang pertaruhan bagi pembentukan karakter asli negeri ini. Sebab, kendati beberapa tradisi tak bisa dilepaskan dari unsur mistisisme dan kepercayaan pada dunia gaib, harus diakui bahwa maksud, tujuan dan harapan yang dipanjatkan melalui seremoni-seremoni tradisi itu adalah hal yang baik. Yang mengingatkan kita semua bahwa selalu ada entitas Yang Maha Kuasa atas segala upaya.
Berbagai tradisi sosial serta ritus kultural juga senantiasa mengingatkan kita bahwa menghormati orang tua, menghargai sesama manusia dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, merupakan hal dasar yang sangat hakiki sebagai dasar kerukunan dan kebahagiaan hidup bersama di dunia. Secanggih dan semaju apapun dunia itu. Karena kesadaran akan hal-hal di atas akan selalu mengarahkan kita kepada kemajuan yang humanis, fungsional, memudahkan, tanpa tujuan yang anarkis dan tendensi penguasaan yang eksploratif untuk kepentingan diri sendiri.
Jika kita ingat makna tradisi-tradisi “ruwat bumi” misalnya, maka sehebat apapun generasi nanti, maka unsur pelestarian alam dan semesta tetap akan menjadi “roh” dalam penciptaanpenciptaan inovasi teknologi dan strategi. Demikianlah. Semoga ongkos sosial dan kultural menuju era normal baru ini tak terlampau mahal harganya. Terjangkau oleh kemampuan kita, sehingga kita tak perlu melihat bahwa generasi masa nanti akan menjadi generasi yang saling curiga akibat minimnya kepercayaan sosial, dan menjadi generasi yang lupa akan akar tradisi serta basic religi.
Peminat tema sosial ekonomi, alumnus UNS Surakarta
Meskipun polemik masih ramai terjadi, tampaknya pemerintah telah berbulat tekad. Era normal baru harus segera dimulai, jika kita tidak ingin kehidupan ekonomi menjadi stagnan dan semakin parah.
Tulisan ini tidak akan membahas pro kontra atas kapan waktu tertepat pembukaan gerbang era new normal itu. Yang pasti, saat itu segera tiba. Bukan semata karena keinginan pemerintah, tapi lebih karena “tuntutan” sosial dan ekonomis ketika di sekitar kita ada ancaman wabah dan potensi krisis.
Ongkos Perubahan
Sebuah perubahan pasti menuntut “ongkos”. Konsekuensi. Dan, ongkos itu tidak semata ongkos ekonomik. Tapi ada ongkos sosial, juga ongkos kultural. Ongkos sosial merupakan suatu konsekuensi logis aspek sosial kemasyarakatan dari adanya perubahan. Sementara ongkos kultural merupakan konsekuensi perubahan dalam aspek kebudayaan, adat istiadat dan tradisi. Ada banyak contoh pada kedua konsekuensi ini. Namun dari sekian banyak ongkos sosio-kultural yang ada, tulisan ini hanya akan menyoroti dua “ongkos utama” dari penetapan era kenormalan baru akibat pandemi Covid-19 ini.
Pertama, berkurangnya tingkat kepercayaan sosial (social trust). Jika merunut makna kepercayaan sosial pada ilmu psikologi, ia diartikan sebagai keyakinan atas kejujuran, integritas dan kepemilikan karakter dapat dipercaya (trusted) pada orang lain (Taylor, Funk & Clark, 2006). Namun pada konteks tulisan ini, kepercayaan sosial lebih diartikan sebagai hasil pengalaman yang senantiasa berubah dan terus-menerus memperbarui tingkat kepercayaan dan ketidakpercayaan dalam menanggapi perubahan situasi (Hardin, dalam Delhey & Newton, 2003).
Akibat pandemi, situasi jelas berubah. Orang yang semula tak merasa bermasalah dekat dengan siapa pun secara fisik, sekarang menjaga jarak karena ketidakyakinan masing-masing pihak, apakah ia atau lawan interaksinya menjadi pembawa (carrier) virus Covid-19. Bukan hanya pada orang yang tak dikenal, namun juga dengan orang-orang terdekat.
Teman bermain, rekan sekantor, kolega bisnis, tetangga rumah, bahkan di dalam keluarga kita sendiri. Itu mengapa, kita diminta mengisolasi diri jika ada potensi tertulari. Itu sebabnya, ketika datang dari luar kota berzona merah Covid-19, kita tak diizinkan langsung menyentuh anak, istri, suami, terlebih orang berusia lanjut, kendati mereka orang tua kita sendiri.
Sehingga muncul istilah baru dari Emha Ainun Nadjib dalam bukunya Lockdown 309 Tahun (2020) bahwa hari-hari ini, “Kita terpaksa me-“lepra”-kan satu sama lain, di antara sesama famili, tetangga, sahabat dan siapa pun karena manusia adalah penular Covid-19.”
Perlu waktu dan bukti untuk saling percaya (lagi) secara physically antarmanusia. Karena jangankan dalam situasi wabah penyakit menular; dalam situasi normal pun, percaya pada orang lain bisa membawa konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Selalu ada risiko. Begitu setidaknya pernyataan Morton Deutsch –psikolog dan peneliti sosial Amerika Serikat– mengenai elemen dasar kepercayaan. Padahal kepercayaan merupakan modal dasar yang sangat penting bagi kolaborasi serta terciptanya partisipasi sosial. Tanpa kepercayaan sosial yang tinggi, kolaborasi dan partisipasi sosial tidak akan menampakkan kontribusi yang signifikan. Kedua, tereduksinya kesakralan-kesakralan tradisi (adat istiadat), bahkan kesakralan religi. Contoh yang masih hangat dalam reduksi laku tradisi sekaligus religi, jelas sunyinya suasana Ramadhan dan lebaran tahun ini. Ramadhan tak diwarnai dengan kajian bersama di “ruang-ruang nyata” majelis taklim. Masjid tak dizinkan menggelar salat tarawih berjamaah. Mudik ke kampung halaman menjadi aktivitas terlarang.
Halal bihalal dengan kebersamaan yang membahagiakan hanya bisa dilakukan secara virtual. Di Banyuwangi, masyarakat Desa Olehsari, Kecamatan Glagah terpaksa hanya menggelar Ritual Seblang secara terbatas dan tanpa pengunjung. Padahal, tradisi ritual Bulan Syawal yang bertujuan untuk menjauhkan warga dari pagebluk itu biasa ditonton oleh ribuan orang. Tahun ini, ritual hanya disaksikan 28 orang perangkat pemerintahan dan tokoh masyarakat, serta hanya melakukan tradisi intinya saja. Tarian oleh gadis terpilih yang dirasuki roh leluhur hingga trance (kesurupan) dengan iringan 28 gending pun ditiadakan (Jawapos, 31/05).
Dalam hal tata krama, sudah menjadi kelaziman bahwa jabat tangan adalah wujud kedekatan (intimacy) dan penghormatan (respect) manakala satu orang bertemu dengan orang yang lain. Kebiasaan seorang anak yang mencium tangan orang tua ketika bersalaman, bahkan sudah menjadi “ajaran” ketatasusilaan dan kesopanan dalam hubungan anak muda kepada orang dewasa, tanpa memandang suku dan agama. Namun saat ini kebiasaan itu harus “hilang”. Norma standar kesantunan pun terpaksa direduksi secara sadar.
Wujud penghormatan kepada orang lain secara simbolik seperti di atas, mungkin harus dipikirkan “substitusi”-nya. Karena meskipun kita sudah berada di jaman canggih, era millenial, abad futuristik atau apapun namanya, ada sisi-sisi sosial,moral, tata krama dan tradisi yang tak bisa dieliminasi begitu saja. Apalagi masalah religi. Penyesuaian cara beribadah tentu dimungkinkan, tapi bagaimana dengan anjuran memakmurkan tempat ibadah dan merapatkan shaf misalnya? Apakah kedaruratan yang sifatnya temporer akan menjadi permanensial? Wallahu a’lam. Tergantung pada panjang pendeknya siklus pandemi untuk sampai kembali ke taraf anggapan “normal”.
Merawat Esensi
Apa konsekuensi tak terbayarnya ongkos sosio-kultural di atas? Ketercerabutan generasi dari ikhwal asal muasal tradisi, bisa menjadi ajang pertaruhan bagi pembentukan karakter asli negeri ini. Sebab, kendati beberapa tradisi tak bisa dilepaskan dari unsur mistisisme dan kepercayaan pada dunia gaib, harus diakui bahwa maksud, tujuan dan harapan yang dipanjatkan melalui seremoni-seremoni tradisi itu adalah hal yang baik. Yang mengingatkan kita semua bahwa selalu ada entitas Yang Maha Kuasa atas segala upaya.
Berbagai tradisi sosial serta ritus kultural juga senantiasa mengingatkan kita bahwa menghormati orang tua, menghargai sesama manusia dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, merupakan hal dasar yang sangat hakiki sebagai dasar kerukunan dan kebahagiaan hidup bersama di dunia. Secanggih dan semaju apapun dunia itu. Karena kesadaran akan hal-hal di atas akan selalu mengarahkan kita kepada kemajuan yang humanis, fungsional, memudahkan, tanpa tujuan yang anarkis dan tendensi penguasaan yang eksploratif untuk kepentingan diri sendiri.
Jika kita ingat makna tradisi-tradisi “ruwat bumi” misalnya, maka sehebat apapun generasi nanti, maka unsur pelestarian alam dan semesta tetap akan menjadi “roh” dalam penciptaanpenciptaan inovasi teknologi dan strategi. Demikianlah. Semoga ongkos sosial dan kultural menuju era normal baru ini tak terlampau mahal harganya. Terjangkau oleh kemampuan kita, sehingga kita tak perlu melihat bahwa generasi masa nanti akan menjadi generasi yang saling curiga akibat minimnya kepercayaan sosial, dan menjadi generasi yang lupa akan akar tradisi serta basic religi.
(ysw)